Pendidikan UNY yang Tidak Memanusiakan Manusia

Gelombang kemajuan peradaban terletak pada pendidikan, semakin maju dunia pendidikannya maka sumber daya manusianya akan mampu melukiskan peradaban di negerinya sendiri. Lahirnya tokoh-tokoh revolusioner, tidak terlepas dari adanya pendidikan. Meskipun goncangan pendidikan dulu tidak semasif sekarang ini. Akan tetapi mereka tetap terlahir dari lingkungan pendidikan. Semisal Soekarno, Tan Malaka, Pramodya Ananta Toer.

Pendidikan merupakan motif utama manusia untuk hidup di dunia ini. Sebagai jalan dalam menempah hidup, berkarya, dan berbudaya. Pendidikan adalah salah satu cara agar manusia mengerti tentang dunia beserta seisinya. Dengan pendidikanlah kita mengenal mana yang baik dan buruk karena pendidikan merupakan hal mutlak bagi seseorang yang ingin menjadi manusia seutuhnya.

Ki Hajar Dewantara beranggapan bahwa pendidikan merupakan proses pembudayaan yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan dan mengembangkan kebudayaan menuju kearah keluhuran hidup manusia. Nuansa pendidikan seperti ini yang perlu kita gariskan kepada generasi selanjutnya sebagai pemegang tongkat estafet kemajuan bangsa agar nilai-nilai luhur bangsa tetap terjaga, agar tidak terkontaminasi  pendidikan yang liberal.

Pendidikan yang dijalankan PTN UNY masih jauh kalau untuk mengamalkan ajaran Ki Hajar Dewantara. Visi dan misi UNY yaitu takwa, mandiri, dan cendekia belum menyentuh secara mendalam dari pembelajaran kuliah yang dilakukan oleh dosen. Kerangka dasar pemikiran tentang pendidikan masih dalam bentuk konvesional. Dari banyak metode yang digunakan dalam pembelajaran, dosen belum memberikan kebebasan berpikir yang seutuhnya kepada mahasiswa. Misalnya saja pembelajaran diruang-ruang kelas antara mahasiswa dan dosen masih terjadi ketimpangan dalam transfer keilmuan. Mahasiswa hanya dijadikan sebagai objek yang perlu di isi keilmuannya sementara dosen sebagai subyek untuk mentrasferkan pengetahuannya ke mahasiswa.

Gaya pendidikan tersebut mendapat kritikan dari konsep pendidikan Paulo Freire, menurutnya sistem tersebut adalah sistem pendidikan gaya bank. Peserta didik hanya dijadikan sebagai deposit yang harus di isi sementara pendidik sebagai penabung deposit. Sehingga kerangka pemikiran yang dibangun adalah peserta didik yang pemikirannya sangat kosong dan harus di isi semaksimal mungkin dari pendidik sebagai sumber pengetahuan. Metode gaya bank hanya akan melumpuhkan kesadaran dan kekritisan peserta didik karena peserta didik tidak mendapatkan kebebasannya untuk berpikir, dia cenderung dibelenggu oleh pendidik untuk mendapatkan asupan keilmuan.

Metode pendidikan gaya bank ini tidak memanusiakan manusia sama sekali bahkan akan melumpukan tingkat kesadaran seseorang untuk menumbuhkan pengetahuan kritisnya. Pada kenyataannya pendidikan gaya tersebut hanya menghasilkan peserta didik robotik sehingga hegemoni kekuasaan akan semakin marak. Paulo Freire memandang perlu adanya perubahan sistem untuk memberikan kesadaran kepada peserta didik dalam mengembangkan jiwa kritisnya. Salah satu metode yang di ajarkan adalah berdialog, sebab dalam berdialog yang menjadi obyek pembelajaran adalah ilmu pengetahuan sementara itu peserta didik dan pendidik merupakan subyek yang membedah ilmu pengetahuan. Dengan cara ini peserta didik akan mencapai kesadaran yang tinggi dalam menganalisis fenomena sosial.

Selain sistem pembelajaran yang masih monoton, demokrasi pendidikan di kampus UNY masih minim. Ketika memasuki tahun ajaran baru keterlibatan dosen dengan mahasiswa dalam membuat kontrak belajar belum ada. Mereka langsung disuguhkan kontrak belajar yang telah dibuat oleh dosen, dengan berbagai presentase kehadiran, perhitungan nilai, dan lain sebagainya mahasiswa tidak diikut-sertakan dalam pembuatan tersebut. Pada hakikatnya jika suatu negara menerapkan sistem demokrasi maka dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa-pun harus juga ikut menerapkannya. Apalagi dalam lembaga pendidikan sebagai cermin untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mau tidak mau harus ikut andil untuk menerapkan sistem demokrasi. Kampus yang mempunyai status legitimasi yang kuat saya kira perlu mengajarkan demokrasi dalam pendidikan.

Belum adanya sistem demokrasi yang utuh untuk diterapkan menyebabkan pendidikan di UNY seperti penjara menekan kebebasan mahasiswa. Segala produk-produk intelektual mahasiswa untuk berekspresi seperti mengeluarkan pendapat, mengusulkan ide dan gagasan serta berargumen untuk mengkritis kebijakan-kebijakan yang tidak memanusiakan manusia, malah dimatikan oleh kaum-kaum birokrasi yang tidak bertanggungjawab.

Peran mahasiswa dilumpukan dengan represif oleh birokrasi kampus, kemudian yang terjadi adalah kebebasan mahasiswa dibatasi oleh ruang kontrak kerja yang dibuat oleh birokrasi. Misalnya di kontrak kerja kehadiran mahasiswa di dalam perkuliahan harus mencapai 75 persen, dalam artian mahasiswa tidak boleh meninggalkan kuliah sebanyak 4 kali, jika lebih maka mahasiswa tidak diikut sertakan dalam ujian akhir. Sementara itu, kontrak kerja kehadiran dosen dengan mahasiswa tidak dibuat. Presentase kehadiran dosen dalam perkuliahan tidak ada kesepakatan dengan mahasiswa sehingga pihak dosen bebas untuk tidak masuk berapa kali dan sangsi yang dikenakan-pun tidak ada. Ini merupakan suatu ketidakadilan struktur yang dibangun antara mahasiswa dan dosen. Tidak adanya demokrasi di dunia pendidikan merupakan salah satu bagian dari strategi represif negara untk mengkadangkan mahasiswa melalui lembaga pendidikan. hal Ini merupakan hegemoni pendidikan untuk melanggengkan kekuasaan dan pengkerdilan intelektual.

Fahrudin Buton. Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Geografi 2014 UNY, Kepala Bidang Intelektual dan Kurikulum Mazhab Colombo.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.