Malam itu, hujan menahan saya untuk berpulang ke kampung halaman di Gunungkidul. Ah, senang rasanya menghirup wangi tanah yang tersiram air hujan. Sejuknya angin sepoi membawa kabar dari langit “tanahmu juga sedang melepas dahaganya”. Beberapa kertas uang seribuan saya keluarkan untuk membeli secangkir kopi di warung ibu kos yang baik hati. Kenapa pula saya sebut baik hati? Di kondisi kota Yogya yang sudah digempur kapitalisme, bagaimanapun saya sudah zalim dengan menunggak uang kos beberapa bulan, ia tetap tidak menunjukan gestur kekecewaan. Mungkin benar kata Romo Frans Magnis Suseno -seorang pemuka agama dari mancanegara- yang pernah menelisik etika orang Jawa. Seingat saya, beliau pernah berpendapat jikalau orang Jawa lebih senang menghindari konflik. Entah bagaimana caranya orang Jawa senantiasa menuju pada nilai keselarasan. Ia berpendapat pula jika orang Jawa meyakini jika dunia ini sudahlah indah, dan selaras. Maka secara tidak sadar maupun sadar mereka (orang-orang Jawa) selalu menuju titik keselarasan itu.
“Ah sudah lah tentang beliau. Semoga beliau dan keluarganya dikaruniai kesehatan serta mendapat kebaikan dunia dan akhirat. Aamiin.”
Malam itu, saya pikir bolehlah memanjakan mata dan otak dengan bacaan buku. Saya pilih karya milik Frans Husken yang berjudul “Masyarakat Desa dalam Perubaha Zaman”, seorang professor Anropologi Sosial dan Budaya Universitas Nijmegen, Nederland. Karena gaya penyampaian beliau yang mengalun perlahan cocok dengan kondisi malam itu, saya pun larut di halaman demi halamannya. Hingga sampailah saya pada bab ke-2, penjelasan beliau mengenai perihal egalitarisme dan diferensiasi desa di Jawa. Di awal bab ini pula saya seperti dikenalkan dengan seorang tokoh bernama Du Bus de Gisignies.
Begini ceritanya.
Pada tahun 1819-1825, sebelum Du Bus de Gisignies diutus Kerajaan Belanda untuk memegang Hindia Belanda, Van der Capellen adalah Gubernur Jendral pada saat itu. Tetapi di bawah kepemimpinannya, kondisi pemerintahan kolonial kian memburuk. Selain faktor pemberontakan Diponegoro yang tidak kurang-kurang memberikan dampak merugikan bagi pihak kolonial, Pemerintah Hindia Belanda kala itu juga sedang mengalami kemunduran ekonomi -defisit anggaran- yang disebabkan dari dalam diri kolonial itu sendiri. Ini mengakibatkan Belanda sebagai negeri induk pada saat itu mau tidak mau harus bertindak cepat, salah satunya dengan menyediakan pinjaman sebesar 20 juta gulden dengan harapan agar Hindia Belanda lepas dari kesulitan itu. Selain sokongan kapital, Raja Belanda, Willem I juga mengambil keputusan untuk mengirim seorang pengganti. Seorang viscount yang sekaligus seorang Gubernur Jendral pula, bernama Du Bus de Gisignies, untuk menjadi Komisaris Jendral di Hindia Belanda. Raja memberikan tugas penting kepada utusannya untuk mengatur rencana yang mampu memperbaiki ekonomi kolonial yang semakin parah. Di tahun 1825 itulah, Raja Willem I mengirim Du Bus ke Batavia, Pulau Jawa.
Tanpa berlarut-larut, setibanya di Batavia, Du Bus mengambil tindakan penghematan dan menyususn rencana yang dapat dijadikan landasan pembangunan jangka agak panjang. Bersama Willem van Hogendorp (sekertarisnya), Du Bus akhirnya dapat menyelesaikan ‘Laporan Kolonialisasi Du Bus’ termasuk argumen-argumen yang sekiranya dapat diterima oleh para pejabat (dan para pelaku bisnis tentunya) di Belanda. Ia menawarkan pula langkah-langkah kebijakan yang menurutnya harus segera ditempuh, jika pihak colonial ingin lepas dari lilitan kondisi merugikan tersebut.
Ternyata tidak main-main sosok Du Bus ini. Sebagai seorang utusan kerajaan pada masa itu, tidak hanya berbekal anggur nikmat, baju yang mewah, atau sepatu boot yang mengkilap, tetapi Du Bus ternyata juga berbekal pengetahuan tentang ekonomi dan sosial. Pantaslah ia ditunjuk menangani permasalahan di bumi permai – pulau Jawa.
Titik tolak laporan yang ia buat adalah studi perbandingan mengenai pertanian Jawa dan pertanian Eropa pada waktu itu. Ia menggambarkan bahwa pertanian di Jawa tak lain adalah pertanian yang mandek. Untuk mengatasi permasalahan pelik ini Du Bus berpendapat supaya dapat merangsang pertumbuhan ekonomi Hindia Belanda haruslah ditempuh dengan suatu kebijakan politik liberal melalui bantuan dari luar. Bagi Du Bus, pertanian di Jawa sama sekali tidak dapat diharapkan berkembang menjadi pertanian yang berdiri sendiri.
Politik ini ditujukan untuk perombakan pemilikan tanah komunal menjadi milik perorangan, mengundang modal luar negeri, dan menyediakan tanah untuk dieksploitasi oleh orang-orang Eropa. Tentu -senyatanya- yang menjadi dampak kolonialisasi tidak lepas dari memiskinkan wilayah yang diduduki. Tetapi agaknya sikap skeptik sedikit diredam dahulu.
Du Bus berpendapat, kemacetan ekonomi di Jawa itu disebabkan oleh tatanan sosial masyarakat pedesaan di Jawa dan sifat kebersamaan sosial ekonomi yang berlaku umum di sana. Du Bus melihat kenyataan bahwa kaum tani Jawa adalah petani penanam padi yang terlibat dalam bermacam-macam upeti dan kerja sukarela yang harus dilakukan kepada pejabat-pejabat pribumi. Sehingga menyebabkan mereka menjadi petani pasif yang diliputi oleh sikap apatis. Dari mereka tidak bisa diharapkan peningkatan produksi, apalagi pencapaian suatu surplus hasil pertanian yang dapat memecahkan masalah defisit Hindia Belanda. Di kondisi macet tersebut, sampai-sampai Du Bus pernah membuat suatu kesimpulan tentang masa depan Jawa.
“Begitulah keadaan di Pulau Jawa sekarang dan begitu seterusnya akan berlaku, terus begitu selama sistem pemilikan tanah dan cara pertanian tetap dipertahankan dan tetap dibiarkan menyebarkan pengaruhnya. Di bawah sistem begini, maka hari depan pulau itu sudah bisa diperkirakan: Jumlah penduduknya terus bertambah, mulanya sedikit demi sedikit; tanah-tanah yang masih kosong digarap, berangsur-angsur, secara alon-alon. Dan apabila dengan berjalannya waktu, dari tahun ke tahun, semua tanah di pulau ini-termasuk tanah yang semula kosong itu – sudah seluruhnya menjadi sawah dan lading, maka pulau itu pun dihuni oleh penduduk yang nasibnya tetap sama dengan yang sekarang, yang terus berkembang menjadi berjuta-juta manusia, yang hidup berdesak-desak di ruang padat, yang saling berebut menggarap setengah sampai seperempat hektar tanah yang semakin kurus, masing-masing membanting tulang menggarap tanah seluas hanya sekadar untuk dapat makan, masing-masing menanam padi, hanya padi, bukan tanaman yang lain; masing-masing mengerjakan sendiri tanah garapannya, tanpa mampu membayar upah harian petani pekerja; masing-masing hidup dari apa yang bisa diberikan tanahnya untuk makan dan membayar upeti; penduduk pribumi, yang sudah terdesak hidupnya, yang tetap setia menyerahkan separo, dua perlima atau dua pertiga dari hasil panennya kepada gubernemen; kaum tani pribumi yang tak lagi bisa menghasilkan tanaman untuk diperdagangkan, untuk diekspor, dan yang tidak sanggup lagi membeli barang-barang kerajinan dan produk kota; yang hidup dalam lingkungan yang sempit dan padat yang mengurung mereka dalam lingkar lembaga-lembaga kemasyarakatannya, yang mengasingkan mereka dari kemajuan dan kesejahteraan, sehingga tidak mengenal limpahan kenikmatan dan kesenangan hidup, karena tidak berdaya dan tak mampu mencapainya; dan Jawa yang indah itu akan dihuni berjuta-juta manusia yang mengerjakan tanahnya dengan cara begitu rupa sehingga tidak menghasilkan apa pun bagi kepentingan dagang, industry, dan kesejahteraan negeri induk. Dan ini akan tetap terus berlaku seperti sekarang ini”.
Di Jawa saat itu, hampir seluruh penduduk jawa terdiri dari petani kecil yang hanya memiliki secuil tanah yang hasilnya sekadar bisa menutupi keperluan sehari-hari yang minimal, tanpa ada kelebihan yang memungkinkan untuk mereka memperbaiki hidup ataupun memperbaiki mutu tanah. Mereka sulit diajak menggantikan tanaman dengan tanaman lain yang lebih menguntungkan daripada padi-seperti produksi untuk pasar-karena selain tidak mempunyai syarat dan kemampuan untuk itu, mereka juga senantiasa menghindar dari produksi untuk pasar.
Tetapi Du Bus beranggapan bahwa masih ada jalan lain untuk sekedar memperbaiki kehidupan mereka (petani), yaitu dengan memanfaatkan tanah-tanah kosong yang masih tersedia di luar pedesaan untuk pertanian yang lebih maju (tahun-tahun itu Jawa belum menjadi pulau yang berpenduduk padat). Kenyataannya, mereka merasa berat meninggalkan desa, lebih senang tinggal di lingkungan yang sudah mulai bertambah penduduknya itu, dan merasa tidak perlu memperluas lahan pertanian.
Dengan kata lain, Du Bus menjelaskan bila masa depan di Jawa akan memperlihatkan, secara demografis penduduk semakin banyak dan berbanding terbalik secara ekonomi. Mereka-penduduk di Jawa- akan sulit untuk menjadi produktif. Dari analisisnya tersebut, Du Bus kemudian mengambil langkah dengan mendesak keras supaya mengundang pemodal-pemodal Eropa untuk masuk dalam rencana kolonialisasi tanah Hindia. Karena menurutnya, akan sia-sia ia dikirim ke bumi Jawa apabila tidak melakukan tindakan efektif dan radikal pada saat itu.
Dalam perhitungannya, ia menawarkan keuntungan, baik yang dapat dimanfaatkan kolonial Hindia maupun para pemodal Eropa pada saat itu. Pertama, Kaum pemilik Eropa haruslah diberi kesempatan menjadikan produktif tanah-tanah kosong yang sangat luas itu dengan mendirikan perkebunan besar dan dalam ekploitasi ini mereka dapat mempergunakan pekerja ‘bebas’ dari Jawa. Dengan cara ini dapat dihasilkan tanaman keras untuk ekspor dan hanya dengan jalan ini pula uang akan lebih banyak masuk ke kas pemerintah Hindia Belanda sehingga situasi keuangan yang sulit itu bisa diatasi. Kedua, Bukan saja para pengusaha kulit putih yang akan menarik keuntungan dari rencananya, tetapi juga penduduk pribumi di pulau Jawa. Perdagangan dan kebebasan berusaha akan membuka kesempatan kerja yang semakin besar dan ini akan memperbanyak uang dalam peredaran, dengan begitu proses diferensiasi sosial di pedesaan akan dapat berjalan dengan sendirinya.
Tambahnya –yang ketiga– ekploitasi modal Eropa akan membawa keuntungan bagi penduduk pribumi maupun pemerintah Hindia Belanda. Mereka akan terbagi menjadi kelas petani kaya, kelas petani penyewa tanah, dan kelas petani buruh harian. Keperluan hidup mereka sehari-hari dapat dibeli dengan harga yang lebih murah karena persaingan bebas dalam perdagangan. Di samping itu, para pengusaha besar perkebunan mempunyai kepentingan dengan harga kebutuhan pokok yang lebih murah bagi para pekerja pribuminya karena upah yang mereka bayar didasarkan pada tingkat harga ini, sedangkan si pedagang cenderung menaikkan harga, apalagi di daerah pedalaman di mana mereka beroprasi tanpa saingan. Jalan-jalan raya akan segera bersimpang siur di seluruh pulau itu.
Tetapi sayang seribu kali sayang. Memang bukan rejeki Du Bus bisa melanggengkan rencanannya. Gagasan Du Bus tentang program kolonialisasi kala itu belum dapat meyakinkan pihak pemerintahan Hindia Belanda. Raja Willem I pada saat itu tidak percaya jika para pemilik modal Belanda akan bersedia melakukan investasi besar di tanah Hindia yang jauh itu. Dengan kondisi ekonomi yang defisit dan carut marut, siapa sudi bekerja sama?
Di luar dugaan, ada sebab lain yang juga tidak langsung diketahui oleh Du Bus. Ternyata laporan kolonialisasi yang sudah ia rancang, jatuh pula ke tangan salah satu penasihat kerajaan pada saat itu. Siapa lagi kalau bukan sang penasihat Raja Willem I, yang kelak akan terkenal dan juga terkenang rasa perih bagi pribumi di Tanah Jawa, Jendral Van den Bosch.
Jendral Bosch mengusulkan supaya Hindia Belanda kembali memberlakukan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) dari zaman VOC, namun dalam versi baru yang diperhalus. Bosch berkata: ‘… dimana pun, paksaan adalah dasar suatu industri. Beberapa jauh perubahan yang perlu dilakukan, meupun sifat dari pemaksaan itu, akan tergantung dari situasi dan iklim suasana suatu daerah. Tanpa melakukan cara seperti ini, maka di mana pun tak mungkin bisa diciptakan industry dan peradaban, dan kehidupan akan berlaku seperti yang telah banyak ditunjukan oleh suku-suku buas dan liar’.
Bagi Van den Bosch, program kolonialisasi dengan kebijaksanaan politik liberal itu tidak memiliki manfaat sama sekali. Tetapi tidak semua gagasan Du Bus ditolaknya. Jendral tersebut hanya menyetujui gagasan bahwa masyarakat pedesaan di Jawa yang tidak terdiferensiasi yang tanpa rangsangan dari luar pertumbuhan produksi tanaman untuk ekspor tidak dimungkinkan terjadi. Dengan berbekal pengalaman selama menjalankan tugas kolonialisasi yang dimilikinya, Bosch memiliki konsepsi lain. Sebetulnya penulis merasa geram pula saat membaca terlebih menuliskan ceritera ini, tetapi mungkin saja pembaca yang lebih berbudi ini tak perlu berlebihan sebagaimana penulis rasakan.
Oleh karena dari petani di pulau Jawa itu tidak dapat diharapkan produksi untuk ekspor dan investor swasta Eropa tetap enggan menanam modal untuk membuka perkebunan dengan memakai tenaga kerja ‘sukarela pribumi’, maka Van den Bosch berpendapat bahwa instansi yang tepat untuk memegang peranan pemimpin eksploitasi pulau itu adalah justeru pemerintah. Dalam pandangannya, peningkatan produksi pertanian untuk ekspor yang dinyatakan sangat penting itu hanya bisa terlaksana jika metode tanam paksa dan kerja rodi diterapkan dengan baik. Cara ini dilakukan dengan mengikutsertakan kaum elit pribumi dan memanfaatkan kewibawaan tradisional mereka terhadap kaum tani. Pokoknya, eksploitasi kolonial itu harus dilakukan di bawah kontrol keras pemerintah pusat dan pejabat pribumi setempat.
Akhirnya Raja Willem I memberikan kuasa kepada Van den Bosch untuk mengatur tata pemerintahan di tanah Jawa. Kesuksesan jendral tersebut ketika bertugas di Suriname nampaknya meyakinkan Raja Willem I. Setelah tahun 1830 sistem tanam paksa Van den Bosch menjadi landasan kebijaksanaan kolonial Belanda. Di tahun itu yang sama, Bosch pergi ke Batavia menggantikan Du Bus dengan membawa dua juta gulden berupa tunai dan dua juta gulden lagi berupa kredit.
Inilah akhir sepak terjang sosok Du Bus. Hanya 5 tahun saja Du Bus di tanah Jawa yang kemudian berganti pada sosok Bosch yang cukup fenomenal sebagai tokoh antagonis. Emm… karena kopi masih setengah walaupun sudah dingin, saya pun ingin melanjutkan.
Setidaknya ada hal-hal yang dapat diambil dari kedua tokoh tersebut adalah, mereka sama-sama dapat melihat bahwa desa (pada masa itu) sebagai masyarakat kaum tani kecil yang pada dasarnya tidak mengandung diferensiasi, yang menutup diri sendiri dalam serba ‘cukupan’, melakukan produksi sesuai kebutuhan hidup mereka sendiri dan umumnya tidak untuk pasar yang bisa diekspor. Tetapi jauh sebelum Du Bus mengemukakan gagasan liberalism dalam kebijakan kolonial, sudah ada beberapa tokoh lain yang pernah singgah dan mengatur tata kelola di Jawa, yakni van Hogendorp dan Raffles.
Nama Raffles tentu familiar di buku-buku sejarah maupun di ingatan kita dengan sebagai nama jenis tumbuhan langka maupun kebijakan politik etis yang dilakukannya. Atau mungkin salah satu karyanya “History of Java”. Tetapi bagaimana dengan van Hogendorp? Aaaa…. Nehi-nehi, saya pun baru tahu sebetulnya. Tetapi tidak menutup kemungkinan jika para pembaca tentu lebih berwawasan luas dibanding penulis.
Van Hogendrop, Dirk van Hogendorp adalah salah satu tokoh pelopor liberalism di Belanda. Beliau pula memperjuangkan penghapusan tanah yang bersifat komunal dan kerja rodi yang dinilai sebagai penyebab utama macetnya ekonomi pedesaan di Jawa. Dalam bukunya, Husken (1998) menuliskan suatu gagasan dari Hogendorp,
“…marilah kita mempunyai keberanian seperti yang dilakukan orang-orang Inggris di daerah Benggala (india) dengan memberikan tanah kepada petani Jawa berupa pemilikan atau sewaan. Dengan begitu kita akan mendapatkan manusia, bukan hamba ataupun kuda beban seperti keadaannya sekarang ini. Mari kita berani menghapuskan kerja-paksa dan kerja-rodi, dan menggantikannya dengan penarikan cukai atas hasil tanaman dan pajak kepala yang kecil. Dengan begitu kita akan mendapatkan keuntungan berjuta-juta, ya, berjuta-juta dari pulau yang cantik itu, pulau tersubur diseluruh dunia!” (Van Hogendorp 1794, dikutip dari Sillem 1890: 58-59).
Setelah van Hogendorp, kemudian Tokoh Raffles. Tokoh ini muncul sebagai sosok pemerintah di Jawa karena konsekuensi kondisi kerajaan Belanda yang terdesak oleh Prancis dibawah pimpinan Bonaparte (tokoh yang juga dikagumi oleh Hittler, selain bapak fasisme-Benito Musholini). Ketika itu Belanda terpaksa berlindung dibawah Inggris. Untuk mengisi kekosongan tersebut, akhirnya tata pemerintahan pun dijalankan oleh Inggris. Kerajaan Inggris kemudian mengutus Raffles sebagai pelaksana pemerintahan di Jawa.
Raffles beranggapan pula bahwa kebersamaan sosial dan ekonomi penduduk pedesaan dan kehidupan mereka yang senantiasa berada di bawah kungkungan aristokrasi ‘feodal’-nya itu sebagai penghalang utama bagi kekayaan negeri kolonial. Rafles (1817) berpendapat,
‘… dalam keadaan para petani Jawa seperti sekarang ini, tidaklah mungkin timbul rangsangan untuk menanam modal dalam pertanian dan banyak tenaga kerja akan menjadi sia-sia; karena tidak ada kepastian dalam hak pemilikan tanah, maka tidak mungkin ada keinginan untuk meningkatkan produksi; karena pangan mudah didapat, maka tidak ada kebutuhan untuk bekerja keras. Sebagai akibat dari adanya sifat dasar ini dan adanya berbagai ketentuan yang berlaku, maka di antara kaum tani itu tidak pernah dijumpai orang yang hidup makmur serba berlebihan maupun yang miskin papa serba kekurangan; taka da yang kaya dan taka da pengemis.’ (dikutip dari Husken, 1998: 22).
Nampakya gagasan Raffles sedikit memihak pada pribumi. Husken (1998:22) menambahkan, apabila berbagai rintangan kebersamaan ini dapat diatasi dengan jalan diferensiasi yang dilakukan melalui kebijaksanaan yang tepat, maka tidak ada kekuatan apa pun yang bisa menghalangi perkembangan sehat wong cilik atau tiyang alit Jawa, sehingga mereka menjadi manusia-manusia ekonomi rasional (hominies economia) yang bergairah.
Husken nampaknya juga mendapat persamaan gagasan antara Hugendorp dengan Raffless. Dalam bukunya Husken menulis pula penrnyataan Hugendorp (1799), ‘ Si petani yang rajin, yang yakin semua hasil kerjanya sepenuhnya menjadi miliknya sendiri dan bebas menjual kepada siapapun, pasti tidak akan membiarkan sejengkal pun tanahnya tidak ditanami. Tidak sehari pun dia akan membolos, supaya bisa menghasilkan beras sebanyak mungkin.’ (dikutip dari Husken, 1998).
Tujuan Raffles tidak jauh berbeda. Raffles menanggap perlunya perundang-undangan yang dapat memberikan sarana untuk menghidupkan naluri alamiah manusia yaitu untuk meningkatkan penghasilan. Wacana diferensiasi pada saat itu menjadi wacana yang terus digulirkan oleh Raffles. Raffles (1817) berpendapat lagi:
‘Segera akan terjadi differensiasi dalam usaha tani dan keadaan perorangan; modal akan mudah terkumpul dan semakin bertambah, dikelola oleh mereka yang ahli dan tekun bekerja dari kalanga petani itu sendiri, sedangkan yang malas dan bersikap tak acuh akan menyerahkan tanah miliknya untuk digarap petani yang bekerja keras dan rajin’ (dikutip dari Husken 1998).
Ya ampun Tuhan! Ternyata, tanah Jawa benar-benar terkenal pada masa itu. Tetapi itu semua tidak lepas dari tindak eksploitasi (alam maupun manusia), kepentingan-kekayaan para kolonial itu sendiri. Pulau Jawa pula yang menjadi sebab, perdebatan gagasan maupun metode yag berlarut-larut antara ‘kaum konservatif dan liberal’ (Husken, 1998). Tetapi nasib di bawah penindasan adalah seburuk-buruknya nasib.
Kalau kita bersama mengingat apa yang dikatakan Du Bus mengenai Jawa, tercermin pula dalam laporan penelitian MWO (1905-1914) tentang ‘Kekurangmakmuran’-Mindere Welvaart- yang berulang-ulang menggambarkan masyarakat pedesaan Jawa sebagai masyarakat yang hampir seluruhnya terdiri dari para petani kecil yang sama sekali tidak mempunyai daya gerak, pasif, hidupnya tergantung dari hasil pengerjaan sebidang tanah kecil miliknya atau dari garapan secuil tanah kepunyaan orang lain berdasarkan bagi hasil (fenomena ekonomi subsisten). Akankah benar terjadi ucapan Du Bus, selamanya Jawa kan seperti itu? Sedangkan saat ini, di abad ke-21 ini, fenomena ini nyata adanya?
Setidaknya hampir sama, begitulah cerita dari simbah-simbah petani. Dengan gaya duduk njogang, keluarlah cerita tempo dulu. Sesekali dibarengi dengan wangi asap tembakau dan kemenyan rokok tingwe dari mulut mereka. Salam sejahtera ya Mbah, semoga mendapat tempat yang mulya di sisi-Nya. Aamiin.
Jika ada kesempatan, perjalanan ceritera ini nantinya akan menyabang pada beberapa konsepsi dari tokoh antropologis maupun pengamat ekonomi pedesaan di Asia. Di antaranya tokoh penggagas teori dualisme (ekonomi ganda), J.H Boeke dan Involusi Pertanian, C. Geertz.
Tulisan ini masih banyak kekurangan yang bersumber dari pribadi penulis sendiri. Wallohua’lam bishowwab. Maka kritik, saran atau komentar dan koreksi, sangat diharapkan dari para pembaca. Semoga bermanfaat dan Ayo baca Buku!
Refrensi:
Sumber utama:
- F. 1998. Masyarakat Desa Dalam Perubahan Zaman-Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980. Gramedia: Jakarta
Sumber yang dianjurkan:
- Perubahan Sosial di Yogyakarta-Selo Soemardjan (2009)
- Involusi Pertanian-Proses perubahan ekologi di Indonesia- Clifford Geertz (1983)
- Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian- Raharjo (2004)
Leave a Reply