“Sebuah jebakan untuk berburu berhasil menjerat anak beruang. Anak-anak yang sudah besar berusaha membunuhnya, sekaligus menakut-nakuti induk beruang agar menjauh. Kudengar beruang itu berteriak panik, seperti suara ketakutan bercampur dengan kepiluan memanggil-manggil ibunya minta pertolongan. Aku mendengar suara sang induk berteriak marah di kejauhan, tetapi anak-anak ini balas menggertak supaya induk beruang tak berani mendekat. Anak-anak berjumlah empat orang itu terus menikam sang beruang kecil, dan dengaan beberapa tikaman, akhirnya sebuah tombak berhasil menusuk dada, beruang itu mengerang lalu mati. Kudengar suara induk beruang berteriak-teriak, mula-mula meraung marah kemudian bernada putus asa. “
Seperti itulah keseharian orang rimba mencari nafkah yang diberikan oleh sang dewa. Ini adalah cuplikan yang membuat peresensi merasa ngeri waktu membacanya, iba dan kasihan sekali pada anak beruang itu. Penulis bukunya sendiri merasakan hal yang sama, dan pernah menyarankan untuk tidak membunuhnya. Anak-anak rimba malahan tidak berani jika tidak membunuhnya, takut dewa tidak akan memberi makanan di kemudian hari. Sementara di rumah-rumah, anak-anak di “dunia terang” begitu Orang Rimba
(OR) menyebut tempat tinggal beserta peradabannya orang-orang yang hidup menetap, berumah dan bermukim di daerah-daerah, menyebut diri sendiri paling tidak dengan istilah “tidak primitif”, duduk manis melihat kartun lucu winny the pooh di Televisi, sesosok beruang madu yang menggemaskan beserta teman-teman hewannya. Kejadian yang sepintas keras itu memang layak terjadi. Dan penulis mengajak kita untuk tidak melihat persoalan dari konteksnya, tidak melulu dari sudut pandang, apalagi sudut pandang yang mungkin terbangun dari seringnya menontonton kartun seperti winny the pooh.
Butet Manurung adalah seorang antropolog, sastrawan dan lulusan Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA) yang memperjuangkan literasi dan pendampingan di tengah-tengah komunitas yang terancam modernisasi yang bisa mengubah dan “menggusur” kehidupan dengan tidak manusiawi di bawah. Awal hidupnya di rimba adalah dengan menjadi fasilitator pendidikan LSM WARSI yang berfokus pada isu konservasi. Sebuah perjuangan gigih di bawah nama pendidikan yang diwujudkannya menjadi sebuah sekolah kehidupan, LSM yang akhirnya tidak “seideologi” dengan Butet ditinggalkannya pula. Sekolah yang awalnya memberikan bekal bagi OR untuk mempersiapkan diri terhadap gempuran dari luar. Sekolah kehidupan itu bernama Sokola Rimba.
Kehidupan Orang Rimba
OR adalah masyarakat adat yang hidup di Perbukitan Dua Belas, Jambi. Pola tempat tinggalnyanya tidak menetap atau nomaden, ketika ada yang meninggal atau terkena penyakit sebuah kelompok bisa berpindah. Mereka terbagi menjadi kelompok-kelompok yang bernama Ketemenggungan dan kepala rombongnya bernama Temenggung. Populasinya tercatat 1300 jiwa menurut survey WARSI tahun 1997. Seperti masyarakat adat pada umumnya, OR tunduk pada aturan dan kepercayaan adat yang selalu bersinergis dengan alam lingkungan. Mereka adalah orang-orang yang bersahaja dan relijius, aturan dan kepercayaan dipegang teguh serta menjadi jalan hidup setiap insan anggotanya. Stakeholder dalam ajaran tersebut adalah Temenggung dan Dukun. Nilai-nilai kepercayaan disampaikan melalui budaya lisan yaitu mantra, syair dan pantun. Begitu dijunjung tingginya kepercayaan tersebut, hingga Butet sendiri sampai “dibaptis” menjadi orang rimba karena mampu menghafal kebiasaan lisan tersebut. Mata pencaharian hidupnya adalah sebagian besar dengan berburu juga dengan berdagang madu di pasar. OR pantang untuk beternak hewan seperti ayam, sapi atau kambing. Terkadang, ada juga anggota yang menjual lahan hutan kepada para penebang kayu, transmigran, untuk dijadikan ladang atau kebun sawit.
OR tidak hidup sendiri, mereka juga berhubungan dan berhadapan dengan “orang terang” atau orang luar. Ada beberapa kelompok orang terang yang menonjol di sekitar “mengepung” kehidupan mereka dan mempegaruhi kehidupan mereka, yaitu warga desa atau pendatang yang bertransmigrasi, perusahaan kayu, perusahaan sawit, lembaga-lembaga pendamping dan juga pemerintah. Orang terang adalah pelaku-pelaku modernisasi, yang memiliki dunia beserta aturan mainnya yang mainstream, dan membuat masyarakat rimba harus mengakuinya sebagai satu unsur baru pada alam. Banyak yang akhirnya mengubah OR jika diandingkan dengan sebelum-sebelumnya. Kepemilikan lahan hutan, hutan yang semakin sempit, hewan buruan yang semakin langka, agama mainstream yang akhirnya dianut oleh anggota OR, konflik dengan pembalak liar, serta perubahan-perubahan yang tidak saja mengancam keberadaan OR sebagai masyarakat adat dan pemilik hutan, juga kondisi kesiapan OR jika kemudian memutuskan menjadi orang terang. Hal itu sebenarnya wajar sebagai proses kehidupan, namun terkadang ada yang berlaku “sepihak” alias mengganggu, OR sering kehilangn hutannya hanya karena ditukar dengan bingkisan pemulus yang sok manis yang dibawa oleh perusahaan. Dibalik itu pihak perusahaan menyelipkan surat perjanjian yang tidak diketahui isinya karena OR belum bisa membaca tulisan. Mereka yang “tertipu” dan membubuhkan cap sidik jarinya akan kehilangan lahan hutannya.
Butet memperjuangkan Sokola Rimba bersama kawan-kawan dengan cara bersinergi dengan kehidupan OR. Kehidupan yang sebelumnya asing dan baru baginya yang benar-benar Ia selami, ikut serta menjadi orang rimba dengan prosesnya meski pernah ditolak dan diusir, Butet menjadi orang yang akhirnya berikatan emosional yang dalam, mencitai dan merindukan OR. Bertahun-tahun sejak tahun 90an akhir, Ia bertekad berjuang mendampingi OR. Seringkali perjungannya juga terkendala dengan aturan-aturan adat, namun hal tersebut malah menjadi sense sekaligus guide untuk menentukan langkah yang tepat ke depannya. Butet adalah pemerhati anak-anak, banyak dari murid lalu menjadi kadernya adalah anak-anak. Teman-temannya, sekaligus guru rimbanya adalah anak-anak. Didampinginya dengan penuh rasa sayang dan senang sampai anak-anak rimba tersebut menjadi kader yang benar-benar mandiri, mampu membaca situasi, membela hak serta mempertahankan dirinya sendiri di derasnya gempuran modernisasi.
Perjuangan SOKOLA
Sokola adalah istilah OR untuk menyebut sekolah/belajar. Jadi Sokola Rimba adalah tempat belajar bagi masyarakat adat Orang Rimba. SOKOLA RIMBA/ SOKOLA lahir dari kepedulian terhadap keberadaan manusia dan komunitasnya yang “terancam dan terkepung” ketidakadilan dunia yang dibawa oleh arus modernisasi. Cita-cita SOKOLA sendiri berawal dari jalan konservasi yang mana itu adalah isu utama yang menjadi objek LSM WARSI tempat para pendirinya (SOKOLA) bekerja, namun ingin melampaui hal tersebut dan terfokus dalam bidang pendidikan, pendampingan, dan pemberdayaan. Karena antara manusia dan lingkungan tidak terjadi interaksi dengan hanya satu arah. Dua-duanya perlu diperhatikan, dua-duanya saling berpengaruh. Pandangan awam selalu berkata bahwa hutan haruslah lestari, meskipun tetap saja faktanya berkurang, dan isinya harus tetap eksotis, termasuk orang adat harus tetap dengan adatnya yang unik dan eksotis. Anggapan seperti ini pasti ada diantara kita, dan buku ini mampu menjadi pencerahan baru bagi pandangan awam yang mengganjal dan naif itu. Seperti apabila dipertanyakan sebuah pendapat bagus mana, antara gadis kalimantan yang memakai pakaian adat dayak atau pakai baju mall dan jeans? Pasti kebanyakan akan mengatakan bagus dengan pakaian adatnya. Lalu juga dengan pendapat yang mengatakan bahwa kasihan orang rimba apakah tidak kedinginan di hutan hanya pakai cawat dan tidak hidup di rumah?
PBB memperkirakan bahwa komunitas adat di seluruh dunia ini berjumlah 300-500 juta komunitas, yang artinya hanya 8 % persen seluruh populasi manusia di muka bumi, yang mampu memelihara 80 persen dari seluruh kekayaan biodiversity (keaneragaman hayati) dan kekayaan budaya yang ada di bumi ini. Sisanya berjumlah 5,5 Milyar adalah orang-orang yang bisa saja disebut hidup dengan bersandar dari udara dan air yang orang-orang adat pelihara. Masyarakat adat juga merupakan masyarakat dunia pada umumnya, yaitu terdiri atas manusia-manusia. Manusia yang memiliki kesadaran untuk berkehendak dan memilih termasuk berubah. Masyarakat adat juga berhak untuk menjadi modern sekalipun. SOKOLA didirikan untuk mendampingi kesadaran masyarakat adat yang dikepung oleh modernisasi itu Pendidikan menjadi ujung tombak dari perjuangan SOKOLA, yaitu dengan baca tulis yang sebenarnya tidak begitu dibutuhkan masyarakat adat seperti Orang Rimba.
“Menjaga hutan memang sulit sekali, orang pemerintah saja tidak bisa. Apalagi saya yang baru bisa baca tulis ini”, begitu kata-kata Peniti Benang yang menjadi kata-kata awal di buku ketika merespon keadaan kota, seorang anak rimba yang menjadi murid sekaligus kader. Sebenarnya yang tidak bisa menjaga hutan itu pemerintah atau masyarakat adat yang baru belajar atau bahkan tidak bisa baca tulis? Padahal OR sudah hidup dan menjaga hutan sejak sebelum adanya pemerintah yang baru-baru ini saja “koar-koar” tentang pelestarian alam, mereka (OR) tidak bisa dan tidak butuh baca tulis. Tapi mengapa sekarang harus bisa baca tulis? Karena disebutkan dalam Sokola Rimba bahwa “kita tidak bisa menjamin kaum kita yang melek huruf dan melek duit di kota ini tidak mengganggu alam mereka, kita harus mengajari mereka aturan main dunia luar”.
Mengajarkan baca tulis itulah yang menjadi kegiatan utama yang diceritakan Butet dalam buku ini. Kegiatan pengenalan aksara atau program literasi dalam konsep besarnya itu mendampingi kegiatan keseharian anak-anak dan orang rimba. Proses pembelajaran di sekolah macam Sokola Rimba ini dilaksanakan tidak di dalam kelas, namun di alam terbuka jika tidak hujan dan pada waktu yang tidak ditentukan seperti di sekolah. Memang metode seperti itu yang cocok untuk masyarakat adat yang kegiatannya sepanjang hari dan tidak mengenal sekolah dalam adat mereka. Sokola diwujudkan seinformal mungkin, menjadi satu dengan kehidupan, bersifat praktis. Sebenarnya di dekat mereka ada sekolah formal, namun mereka kebanyakan tidak mau jika mengikuti pola yang dijalankan sekolah. Anak-anak rimba mengeluhkan jam masuk serta guru yang galak.
Butet mengeksplorasi metodenya sendiri, bukan lulusan kampus keguruan bukan alasan untuk perempuan ini tidak menjadi Ibu Guru di tengah masyarakat yang tak mengenal sekolah. Bu Guru Butet yang dengan sabar dan otodidak belajar metode pengajaran yang cocok dan sesuai. Murid-murid rimbanya itu sangat antusias dan memberikan respon-respon yang unik dan lucu. Buku ini diceritakan secara jenaka, bahasanya biasa-biasa saja, jujur dan emosional, seemosional hubungan Butet serta kawan-kawan SOKOLAnya dalam berhubungan dengan Orang Rimba. Menurut Ibu Guru, pendidikan bagi Orang Rmba memiliki syarat-syarat. Jadi beliau membuat draft kurikulum versinya sendiri:
- Pendidikan harus operasional terhadap kehidupan sehari-hari
- Pendidikan harus menguntungkan
- Pendidikan harus diorganisasikan secara lokal
- Pendidikan harus membantu menumbuhkan kesadaran dan kesiapan terhadap perubahan/proses perkembangan kebudayaan suatu masyarakat
- Tujuan sederhana dari pendidikan adalah harus mampu membuat Orang Rimba menyadari siapa dirinya, posisinya dan akan seperti apa dia kelak
Dari situ peresensi sendiri mempunyai pendapat sederhana bahwa sekolah bisa didirikan, sekolah bisa dikondisikan dan sekolah bisa diciptakan. Sokola Rimba mampu berdiri melebarkan sayap dan mencetak kader serta wadah bagi mereka yang yang memperjuangkan pendidikan berbasiskan masyarakat. Pendidikan untuk kehidupan, sekolah untuk kehidupan. Sokola Rimba memiliki misi untuk mempersiapkan masyarakat tersebut menghadapi tantangan dari dunia modern yang terus mendesak.
Titik balik Pendidikan Nasional
Dalam sistem pendidikan nasional kita, mengenal tiga macam pendidikan. Yang pertama adalah formal seperti sekolah-sekolah, non-formal seperti lembaga kursus, dan yang yang ketiga ada pendidikan informal yang dijalankan oleh masyarakat tempat naradidik hidup. Pendekatan pendidikan yang digunakan untuk kondisi masyarakat seperti pada Orang Rimba mungkin tidak akan pernah dicapai apabila pendidikan hanya direduksi pada bentuk sekolah formal. Sistem pendidikan nasional yang terintegrasi dengan sistem-sistem yang lain yang ada secara nasional itu harus bisa memperudah akses-akses terhadap masyarakat yang menjalankan pendidikan informal bagi dirinya sendiri. Seperti yang dijalankan oleh masyarakat adat-masyarakat adat yang sangat banyak di Indonesia ini. Masyarakat adat Sedulur Sikep Pati, Baduy Banten, Orang Rimba Jambi adalah contoh masyarakat adat yang menjalankan pendidikan informal bagi anggotanya serta berhubungan dengan pihak di luar mereka.
Pendidikan sudah saatnya juga tidak dipandang hanya memiliki satu bentuknya saja yaitu pendidikan formal yang berbentuk sekolah. Sekolah tidak akan mampu “menanggung” seluruh nilai-nilai yang ada di masyarakat. Sejatinya pendidikan adalah untuk menguntungkan dan dibutuhkan masyarakat sesuai dengan caranya sendiri, apalagi untuk masyarakat adat. Hal ini juga selaras dengan misi pemerataan pendidikan bagi seluruh warga negara, dan juga harus diselenggarakan secara egaliter dengan cara memberikan porsi yang tepat serta akses setelahnya. Sekolah yang baik adalah sekolah yang menjadikan muridnya dari yang bodoh menjadi pintar bukan? Butet mengatakan dalam buku ini bahwa anak-anak rimba banyak yang memiliki kecerdasan yang bahkan bisa melampaui anak-anak desa, melalui pertanyaan yang mereka ajukan yang sangt jujur tanpaa berharap mendapatkan nilai, mereka juga bisa berpendapat. Sering dijumpai anak dari daerah yang bersekolah hingga beberapa tahun dan menduduki kelas atas namun kenyatannya belum bisa baca tulis, anak-anak rimba didikan SOKOLA melalui metodenya mampu membaca hanya dengan beberapa bulan, artinya kualitas mereka adalah sama jika dengan pendekatan yang sesuai.
Pendidikan Nasional harus mampu menjadi rumah besar bagi pendidikan dengan berbagai pendekatannya dan selanjutnya menciptakan akses yang mempermudah baga insan naradidik menentukan nasibnya sendiri. Dan tentu saja juga memperhatikan kelangsungan hidup masyarakat adat sendiri. SOKOLA adalah terobosan yang sangat sesuai untuk kondisi masyarakat di Nusantara.
Hampir tidak ada kekurangan dalam Buku Sokola Rimba ini, sangat lengkap dan intim mampu menyelami beberapa aspek yang dapat dijadikan renungan bagi kita semua pemerhati pendidikan, kemanusiaan, anak-anak dan sosial masyarakat. Hanya saja perlu digaris bawahi, Sokola Rimba adalah buku yang sangat kontekstual dan subjektif, sesuai dengan pengalaman penulisnya dan kondisi masyarakat Orang Rimba yang mungkin akan sangat berbeda dengan masyarakat adat yang lain. Namun semangatnya patut dijadikan teladan dan sangat menginspirasi. Membaca buku Sokola Rimba adalah perjalanan yang sangat seru, ada senang, jenaka, sedih, tegang, dan refleksi mendalam dikemas dengan bahasa yang ringan. Sangat disarankan untuk dibaca dan diyakini akan membangkitkan semangat dan memberikan inspirasi. Bukan hanya pemerhati pendidikan, semua kalangan peresensi kira akan bisa menerima buku ini.
#nb. pliss baca aja bukunya yang banyak kurangnya malah resensinya.
Judul : Sokola Rimba
ISBN : 978-979-709-711-0
Penulis : Butet Manurung
Penerbit : Buku Kompas
Tahun Terbit : 2013
Tebal : xvi + 348 halaman; 14×21 cm
Jenis Cover : Soft
Teks Bahasa : Bahasa Indonesia
Kategori : Pendidikan
Leave a Reply