“Terus terang aku tak bisa menolak pengetahuan yang sudah diwariskan secara turun – temurun di tempat asalku. Aku juga tak mampu menjelaskan dari sudut pandang lain. Akalku terhenti, aku hanya bisa mengangguk ketika orang-orang berbicara tentang si Pulung Gantung ini.”
Juni 1980
Sinar matahari pagi masuk melalui lubang-lubang jendela yang sengaja tidak aku tutup tadi malam. Cahayanya begitu lembut, membangunkan aku dari tidur. Kubuka jendela berwarna hijau beraksen kuning yang kebetulan lumayan lebar.
Kumpulan buku-buku warisan Ayahku tertata rapi di rak samping jendela kamar, tidak banyak hanya beberapa buah saja. Akan tetapi sudah sekitar 2 tahun ini aku terus membaca buku-buku itu. Mungkin bila ada orang yang bertanya apa isi buku-buku Ayahku ini? Aku dapat denag mudah menjelaskan isinya secara runtut dan minim cela. Buku-buku warisan Ayahku berisi kisah Ramayana, Mahabarata, dan kumpulan surat cintanya kepada Ibuku yang dijilid dengan rapi.
Teh tubruk sisa semalam masih ada setengah gelas. Aku cicipi sedikit, dan rasnaya masih terasa enak, aku habiskan saja teh tubruk sisa semalam untuk menenangkan pikiranku yang menyala-nyala.
Sekarang hampir pukul 6, itu artinya aku harus memulai rutinitas harianku, aku biasa memulai pagi dengan membaca buku dan meminum teh tubruk hangat. Namun, pagi ini berbeda, aku hanya minum teh tubruk dingin. Entah kenapa pagi ini aku malas untuk sekadar merebus air dan menyeduh teh. Tiap pagi aku rutin membaca beberapa halaman buku, terutama semenjak kematian Ayahku.
Ibuku telah meninggal ketika aku kecil, jadi aku tak tahu bagaimana wajah dan kasih sayang Ibuku. Kata Ayah, Ibuku meninggal karena terkena pageblug ketika aku kecil.
Hanya buku-buku ini yang membuatku merasa dekat dengan Ayah semenjak ia meninggal 2 tahun lalu. Sejak kecil, aku sering dipangku oleh Ayahku ketika ia membaca buku di pagi hari. Di malam hari, ia juga sering memangkuku, aku teringat ketika ia menceritakan cerita Mahabarata dan Ramayana. Ayah selalu mengungkapkan kesukaannya terhadap tokoh Punakawan, dan aku pun menjadi menyukai punakawan.
Ah, kenapa aku malah teringat masa-masa itu? Jumlah halaman buku yang dari tadi aku buka tak bertambah. Tak terasa waktu terbuang sia-sia karena lamunan pagi hari. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki, bau semerbak tempe goreng membelai indera pembauku, ah Mbah Karmo pasti mengantarkan sarapan pagi untukku.
“Sarapan dulu le.”
“Oh njih mbah.”
Mbah Karmo pun memberikan sepiring nasi jagung dan satu tempe goreng untukku. Semenjak Ayah meninggal Mbah Karmo selalu memberiku sarapan tiap pagi. Mbah Karmo dengan senyum kecilnya, ia selalu jadi orang pertama yang aku temui tiap pagi selama dua tahun ini. Ia sudah lama hidup sebatang kara. Ia selalu mengucap tiga kata yang sama tiap pagi, tidak ada kata lain. Tiap aku ajak bicara, Mbah Karmo tak pernah menjawab layaknya orang-orang pada umumnya, ia hanya tersenyum irit.
***
Mataku terbelalak, kakiku gemetar, dan keringat dingin mengucur dari tubuhku. Aku berkali-kali menelan air liurku, kerongkonganku tiba-tiba mengering. Aku menemukan satu jasad tergantung di depanku. Jasad itu adalah Mbah Karmo, ia tergantung kaku di kandang belakang rumahnya. Seutas tali dari selendang yang selalu ia pakai melingkar di lehernya, lidahnya menjulur keluar. Aku tidak kuat lagi berdiri, badanku ambruk melihat Mbah Karmo tak bernyawa lagi. Aku mencoba mengatur nafas, dan memalingkan pandangan agar aku bisa berdiri lagi dan segera meminta pertolongan ke warga sekitar. Aku tak tega menurunkan jasad Mbah Karmo secara langsung.
Setelah beberapa saat akhirnya aku mampu menguatkan diri untuk berlari ke tetangga terdekat, terutama ke rumah Pak Kadus. Aku menceritakan bahwa Mbah Karmo sudah tak bernyawa lagi, ia telah gantung diri.
”Pak saya terus terang tidak mampu untuk menurunkan jenazah Mbah Karmo, baru melihat saja kaki saya sudah gemetar, berdiri tegap pun saya kesusahan..”
Aku sudah tak mampu lagi berbicara, keringat dingin terus mengalir dari tubuhku. Bayangan Mbah Karmo yang tergantung kaku pada jarik kesayangannya terus menggerus akal sehatku. Setelah aku bercerita tentang keadaan Mbah Karmo, Pak Kadus dan beberapa warga mendatangi rumah Mbah Karmo untuk melihat jenazahnya.
Berita tentang kematian Mbah Karmo menyebar dari mulut ke mulut dalam waktu yang cepat. Warga berduyun-duyun mendatangi rumah mbah Karmo untuk melihat jenazah nya. Sialan! Seakan-akan kematian Mbah Karmo malah jadi semacam hIburan warga kampung! Ucapku dalam hati.
***
Setelah satu minggu kematian Mbah Karmo, hari-hariku tak lagi dihiasi senyuman iritnya itu. Tak ada lagi yang mengantar sarapan pagi ke rumahku, hidupku kini makin sengsara semenjak ditinggal olehnya. Kematian Mbah Karmo adalah pukulan kedua setelah kematian Ayahku dua tahun yang lalu.
Desas-desus kematiannya masih saja berhembus dan jadi buah bibir. Banyak yang mengatakan sebelum kematiannya ada salah seorang tetangga yang melihat ada bola api yang melintas di atas rumah Mbah Karmo. Kata mereka ia terkena pulung gantung. Kata mereka Mbah Karmo adalah korban ketiga pada bulan ini. Aku tak bisa membendung desas desus yang sudah terlanjur membanjiri telinga-telinga yang bermuara di jiwa-jiwa kami. Terus terang aku tak bisa menolak pengetahuan-pengetahuan yang sudah diwariskan secara turun- temurun di tempat asalku. Aku juga tak mampu menjelaskan dari sudut pandang lain. Akalku terhenti, aku hanya bisa mengangguk ketika orang-orang berbicara tentang si Pulung gantung ini. kata mereka pulung gantung ini akan selalu muncul, dan kemunculannya berarti ada orang yang gantung diri. Terus terang aku sendiri tak pernah melihatnya.
***
Sebulan setelah kematian Mbah Karmo, bayangan ketika ia mati menggantung diri masih saja terpaku kuat di kepalaku. Meneror hari-hariku, dan malam-malamku, aku sudah tidak kuat lagi untuk hidup sendiri dengan kenangan buruk yang menghantuiku setiap hari.
Sudah seminggu aku berpikir untuk bekerja di Jakarta, aku tak peduli pekerjaan apa yang nanti kujalani. Aku hanya ingin melupakan kenangan buruk tentang Mbah Karmo. Aku ingin terbebas dari sepinya desa, aku berharap hiruk pikuk kota dapat membuatku keluar dari kesepian dan bayangan kematian yang terus menerus menyekapku. Aku akan meninggalkan rumah warisan Ayah!
Leave a Reply