Berkenalan Dengan Fransesco Petrarch: Sang Penyair Cinta Renaisans

(c) The Ashmolean Museum of Art and Archaeology; Supplied by The Public Catalogue Foundation

Malam itu, aku merasa realita telah mempecundangi ku, kopi yang kusesap tak lagi menggetarkan lidah. Udara dingin dan bising jalanan seolah tak berarti dihadapan hati yang merindu. Ya, saat itu aku memang sedang rindu kepada sesuatu. Tak begitu jelas, mungkin saja imaji ku saat itu telah memperbudak nalar, begitu banyak harap yang kupinta  dalam setiap doa munafik ku.

Soal rindu memang diri tak mampu menawar. Kadang aku merasa puyeng dibuatnya, tapi tak jarang aku tersipu karenanya. Ia hadir begitu saja dengan segala kerumitannya, mirip hujan dikala terik tanpa diselingi mendung.

Aku yakin, hampir semua orang yang hidup tahu dan pernah mengalami rindu. Mungkin yang dirindukan setiap orang berbeda, tapi setidaknya rindu dapat membuat kita sadar, bahwa hati manusia dirancang untuk meletakan harapan kepada sesuatu yang lain. Karena sesungguhnya, Dimana ada kehidupan, disitu akan selalu ada harapan, kata Cicero (106 SM-43 SM).

Dalam suasana hati yang sendu, tatapan mataku tertuju pada tumpukan buku-buku usang yang sudah dipenuhi debu karena jarang sekali ku buka. Mungkin karena aku tak pernah membeli buku lagi, memang setahun belakangan ini aku malas membaca, apalagi untuk pergi ke toko buku. Jadi ya, kubiarkan saja buku-buku itu tergeletak tak karuan di lantai kamar. 

“Ahh,, biarlah lagi pula membaca banyak pun belum tentu membuat kita kaya dikemudian hari. Alih-alih mendapatkan ilmu untuk kebaikan, justru malah di cap sesat oleh orang lain”

Ternyata kesibukanku bekerja mencari sumber penghidupan benar-benar telah menyita perhatianku terhadap dunia literasi. Jujur, agak sedikit bergidik bulu roma ku ketika harus menyusun buku-buku usang ini. Sesekali ku intip kedalam halaman buku dan mendapati beberapa coretan “sok kritis” dari ku dulu. Seperti orang gila aku tersenyum kecut sambil membacanya beberapa kali, kadang mengumpat dan berusaha melegakan diri sendiri.

“Ternyata inilah salah satu yang hilang dalam hidupku, dan aku rindu sekali. Ironi memang, ia begitu dekat bahkan tidurpun kami selalu bersama. Sekali lagi aku merasa realitas memang benar-benar telah mempecundangiku. Setiap hari!”

Berawal dari Alison Brown

Dari beberapa buku di lantai kamar, ada satu yang menarik perhatianku, judulnya Sejarah Renaisans Eropa, buah karya dari Alison Brown. Ia adalah seorang sejarawan yang menaruh perhatian kepada penulisan sejarah Eropa, khusunya Italia. Buku ini ada ditangan ku pada tahun 2012 yang kubeli di Yogyakarta. Aku masih ingat, saat itu aku membeli dua buku sekaligus, Alam Filsafat Yunani karya Bung Hatta. Entah sekarang dimana buku itu. “Aku enggak begitu peduli sih.”

Sudah lama aku menyelesaikan buku itu, yah perkara tututan materi kuliah sejarah Eropa, Dahulu aku sangat tertarik dengan periode Renaisans. Meski demikian, tak banyak hal yang bisa ku intepretasikan kembali sekarang mengenai isi buku tersebut. Lupa! Nampaknya itulah pembelaan paling logis yang dapat kuterima ketimbang “Buku itu tak begitu penting buat hidupku sekarang ini”.

Pelan-pelan aku mencoba berdamai dengan ego, dan memahami kembali isi buku Alison Brown. Barangkali ada hal menarik yang nantinya bisa ku kembangkan melalui tulisan ini.

Kembali pada Renaisans

“Jika kita menyebut zaman apa pun sebagai zaman emas, pasti zaman kitalah yang telah menghasilkan sejumlah intelektual emas. Dan semua ini ada di Florence. Dari semua citra Renaisans, zaman emas di Florence inilah yang paling menggairahkan.”

Seperti itulah pernyataan awal Alison dalam bukunya. Nampaknya, Renaisans sebagai awal kerinduan akan “kebangkitan kembali” tidak dapat dilepaskan dari realitas kehidupan masyarakat Florence, Italia. Munculnya orang-orang hebat dalam puisi, sajak, lagu, arsitektur dan kesenian bergaya Yunani-Romawi telah menjebatani peradaban Eropa baru.

Pada abad pertengahan manusia dipandang sebagai “Citra Ilahi” dimana segala pikiran, ucapan, dan perbuatannya merupakan manifestasi perwujudan Tuhan di bumi. manusia haruslah mau dan mampu menjalani hidup sesuai dengan ketentuan dan kehendak Tuhan. Celakanya, dogma agama ini di formalkan melalui institusi Gereja yang terkadang aturannya malah meneror manusia dengan doktrin (dosa dan kesesatan). Lebih dari itu, bahkan praktik-praktik penyiksaan terhadap mereka yang menyimpang dari ajaran Gereja banyak di visualkan sampai hari ini, baik berupa lukisan, film sampai teater jalanan.

Atas kondisi inilah muncul perselisihan faham diantara masyarakat dan Gereja khususnya di Italia, sebagaimana dituliskan Alison yang mengutip pernyataannya seorang sejarahwan Ingris Burckhardt;

“Orang-orang sedang menggelepar-gelepar diantara ide-ide yang macet dan lembaga-lembaga tak berguna Abad Pertengahan yang sedang ambruk bersama ketidaksadaran mereka mengenai hakikat mereka sendiri, sementara orang Italia terus menjalani kehidupan dengan tenang bersama membangun kota-kota besar dengan berani, dipenuhi rasa ingin tahu dan kritis.” (Alison Brown: 2009)

Kenyataanya, memang sulit mendamaikan ide-ide klasik dengan doktrin agama Kristen yang berkembang di abad pertengahan. Zaman dimana manusia mendapatkan porsi lebih untuk memikirkan segalanya secara rasional dipaksa untuk bersikap pasif terhadap dogma. Maka tak heran jika pada abad 14, muncul terminologi zaman kegelapan (dark ages) untuk menggambarkan suasana suram dan menyedihkannya eksistensi manusia pada periode itu. Dialah Francesco Petrarch yang memperkenalkan sebutan itu kepada orang-orang di Florence. Dia juga lah, sosok yang menginspirasi zaman baru yang lebih bercahaya dan menyenangkan.

Semangat Petrarch dan sebagian masyarakat Florence dengan cepat menular hampir ke-seluruh Eropa. Menjadikannya seruan maha dahsyat atas ketertindasan manusia. Dengan syair-syair klasik Yunani-Romawi, seruan itu menjadi gerakan kerinduan terhadap masa lampau yang lebih gemilang. Bersama dengan gagasan humanismenya, sejarah Renaisans Eropa dimulai. 

Bercengkrama Dengan Teks: Kerinduan Petrarch

Tidak banyak literasi yang aku dapatkan untuk memahami pemikiran Petrarch. Kalaupun ada, hanya tertulis di website berbahasa asing dan itu pun hanya biografi singkatnya saja. Paling tidak kalau mau di generalisir, filsafat Renaisans adalah filsafat yang berusaha melakukan pembenaran terhadap zamannya dan memberikan harapan akan masa depan manusia untuk menentukan jalannya sendiri sesuai dengan kehendak penalarannya. Artinya, belum ada landasan metodologi yang jelas, untuk memahami konteks pemikiran tokoh-tokoh Renaisans tentu kita harus melihat aspek kultural-historisnya.

“Kembali lagi ke Petrarch yang namanya sekarang jarang dibicarakan orang.”

Sebagai peletak dasar pemikiran humanisme, pandangan Petrarch dipengaruhi oleh filsafat klasik. Terutama saat ia melakukan kritik keras terhadap cara belajar Skolastik abad pertengahan dan kebiasaan untuk mempelajari teks-teks asli zaman klasik. Menurutnya cara belajar Skolastik hanya mengandalkan tulisan-tulisan filsuf klasik yang diterjemahkan kedalam bahasa Latin, bukan dari bahasa aslinya (Yunani). (Tjahyadi: 2004)

Kerinduan dan kecintaan terhadap keaslian karya klasik terlihat, ketika pada tahun 1348 Petrarch mendapatkan manuskrip asli berbahasa Yunani dari seorang penerjemah di Florence. Iliad dan Odyssey-nya Homerus, manuskrip pertama berbahasa Yunani yang diperoleh Petrarch. Dengan nada sendu dalam puisinya, Petrarch berkata “Homer, anda bisu kepadaku atau lebih tepatnya aku tuli kepadamu.” Saat itu ia memang belum sepenuhnya menguasai bahasa Yunani. Pada akhirnya dia melakukan perjalanan sampai ke selatan Italia, untuk mencari orang yang bisa mengajarinya bahasa Yunani. Tentu dia melakukan itu karena kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan yang otentik.

Berhadapan dengan manuskrip (teks, buku dan surat) kuno memang telah membuat jiwa Petrarch tersihir. Sebagaimana Alison cukup vulgar menyebutnya dengan kata “nafsu-birahi” terhadap buku. Realitanya memang begitu, mungkin bukan hanya Petrarch saja. Para intelektual jaman Renaisans memang menaruh perhatian serius dengan ilmu pengetahuan klasik. Bagi mereka, tidak ada jalan untuk kembali menuju kebebasan manusia kalau hanya mengikuti  zaman (Abad Pertengahan).

Perempuan itu Bernama Laura

Pertengahan abad ke-14 terjadi wabah maut hitam (black death) yang melanda Eropa. Lebih dari 25 juta orang mati pada periode 1347-1351. Kematian dapat dijumpai disetiap jalan-jalan pinggiran kota atau di gang-gang kumuh pemukiman penduduk. Lagi-lagi Petrarch berhadapan dengan kenyataan memilukan, dimana ia melihat kematian merenggut kerabat dan teman-teman baiknya. Begitu juga cinta terlarangnya dengan Laura de Noves.

Dibalik nama nya yang tersohor seantero Italia, kisah cintamya dengan Laura berakhir secara tragis. Ia mencintai perempuan yang sudah menikah dengan pria lain. Kisah cintanya kepada Laura ini seakan menampar ku, mengingatkan ku kepada diriku sendiri. Sudahlah, mungkin saja jalan terbaik memang tidak harus memiliki. Sial!

“Ahh,, aku tak begitu pandai dalam merangkai kata yang berkaitan dengan masalah cinta.”

Lagi pula cinta terlarangnya kepada Laura inilah yang banyak menginspirasi karya-karya Petrarch dari awal munculnya cinta sampai kematian Laura.

Sebagaimana Petrarch tulis, dalam Canzoniere-nya,

Ia katupkan mata; dan terbaring dalam tidur yang manis, rohnya berjingkat-jingkat dari tempat penginapannya.”

“Bodohlah ciut dalam ketakutan, jika inilah kematian; karena kematian tampak elok di wajahnya nan cantik.”

***

Penulis: Bima Saputra 7 Articles
Sejarawan Freelance, pengagum ide-ide gendeng. Sekarang ini bekerja serabutan sebagai penulis bebas dan tukang gali sumur. Penulis bisa dihubungi lewat email: bimo674@gmail.com

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.