Gerakan Kiri: Analisis Kelas Hanya Sebatas Jargon

Pilpres 2014 lalu ada yang berbeda. Berbagai kelompok gerakan sosial mendukung Jokowi untuk melawan Prabowo, sosok yang dikenal otoriter dan anti HAM. Alhasil Jokowi menang dan mengkonsolidasikan kekuasaan. Lalu pertanyaannya, adakah elemen gerakan sosial dijajaran kabinet pemerintahan Jokowi hari ini? Tentu tidak ada. Apa gunanya gerakan sosial mendukung Jokowi bila tak mendapatkan apapun? Kelihatannya, gerakan sosial saat ini mulai terjebak dengan ideologi jargonisme, apa-apa harus teoritis dan membubuhkan banyak analisa jelimet yang hasilnya kosong. Bahkan tidak ada hasilnya.

Pasca Jokowi berkuasa semakin banyak aturan yang menghancurkan gerakan sosial, macam UU ITE, dan UU Ormas. Apalagi kebijakan pembangunanisme yang menggusuri warga dengan menggunakan aparat militer. Ternyata kita salah, Jokowi lebih militeristik ketimbang SBY.

Lalu masih adakah politik kelas di negeri ini? Kemunculan gerakan Islam populer, ternyata lebih efektif untuk memobilisasi massa ketimbang gerakan kiri yang terjangkit virus ideologi. Sialnya, semua berbicara analisa marxis. Padahal, membawa marxisme ke ruang publik hanya akan membawa kemubaziran bagi gerakan. Karena nantinya gerakan dengan mudah dicap komunis oleh lawan politik. Hal itu malah menyenangkan media massa yang akan menggoreng isu komunisme dan balik memukul mundur gerakan itu sendiri. Lantas apakah analisa marxis dan ideologi kiri masih mampu menggerakan perubahan? Nampaknya kesulitan dalam mengkonkretkan ideologi dan teori ditataran taktis merupakan hal yang harus dijawab bersama.

Sementara itu, perubahan selalu datang dari situasi konkret. Seperti bagaimana cara mengorgaganisir, meradikalkan ide menjadi aktivitas sosial, dan membuat program jangka panjang di akar rumput. Adakah program gerakan kiri di desa-desa Indonesia? Apakah analisa marxis sudah kehilangan taringnya untuk merealisasikan yang ideal ke bentuk aktivitas konkret?  Ini dia masalahnya.

Berangkat dari Realita Objektif

Karl Marx tidak akan mampu membuat Internasionale kalau ia hanya menjadi orator demonstrasi. Pikiran-pikiran teoritis-nya mampu memobilisasi kaum buruh untuk berjuang menyuarakan bentuk penindasan, selain itu Marx pun sudah memikirkan bagaimana kehidupan buruh di kemudian hari.

Ada Lagi Sukarno, kalau ia tidak mengorganisir  petani dan buruh di berbagai wilayah, mustahil ia didukung oleh massa rakyat. Apapun citra negatif tentang Sukarno. Setidaknya ia telah membuktikan bahwa,ia mampu hidup bersama rakyat dan memahami kondisi ekonomi-politik bangsa Indonesia. Kalau Sukarno tidak turun ke akar rumput mustahil akan terjadi revolusi nasional 45 yang di dukung oleh rakyat. Pun juga dengan Aidit. Seorang anak muda yang membesarkan PKI hingga ke-pelosok desa. Orang Jawa yang dikenal berkepribadian kalem, lugu, dan sopan, menjadi radikal dengan ide-ide marxis dan politik kelas.

Seakan kita lupa dengan fakta lapangan yang ada sebelumnya. Saya baru sadar bahwa seseorang memilih jalan hidup bukan berdasar pada ideologi, namun pada kondisi konkret kehidupan sosial ekonomi. Amat miris kalau banyak orang bergerak atas nama ideologi. Ideologi adalah barang abstrak yang bisa di perjual belikan oleh siapapun.

“Kalau bergerak hanya dengan ideologi dan analisa politik kelas saja, maka lebih baik kita tidur nyenyak di kamar dan tidak usah melakukan kegiatan apapun. Mengorganisir komunitas memerlukan praktik dan pengalaman hidup bersama rakyat. Merencanakan aktivitas dan program bersama rakyat, hingga rakyat mampu mandiri dan memiliki.”

Kita sekarang perlu sistem alternatif dan cara pandang di luar negara. Lama-lama saya percaya juga dengan Bakunin, ia menolak kehadiran negara. Negara hanya alat kekuasaan untuk menindas. Meskipun kata-kata ini akan banyak dikritik karena terlampau romantis.

“Kalau misalnya Negara tidak bisa menghidupi rakyatnya, maka kita harus membuat sistem sendiri untuk bersaing dengan negara!”

Gerakan Kiri Hari Ini; Sebatas Jargon Saja?

Belajar dari situasi konkret saat ini, dengan kebijakan ekonomi-politik Jokowi yang semakin “ugal-ugalan” merampas tanah dan hak hidup rakyat, bagaimana langkah gerakan kiri saat ini? Masih mendiskusikan analisa politik marxis atau akan membuat program jangka panjang untuk pengorganisiran rakyat?

Menjadi pengorganisirpun tidak mudah. Paling tidak, sudah selesai dengan urusan ekonomi dan penghidupan. Kalau memaksa mengorganisir dengan uang pas-pasan apalagi masih minta pada orang tua, pada akhirnya juga akan takluk dengan kapital dan bisa disuap kapan saja bila kondisi semakin sulit. Berapa aktivis yang dulunya hidup di jalanan mengorganisir rakyat kemudian hidup mewah dan lupa diri? Banyak juga kan.

Saya bingung dengan semangat jargonisme ala mahasiswa atau orang-orang yang selalu bicara kontradiksi kelas, namun nihil dalam merancang aktivitas bersama rakyat untuk melawan sistem penindasan. Kalau misalnya Negara menaikkan harga pupuk, ya bagaimana kita membuat produk-pupuk organik agar pupuk Negara tidak laku di pasaran. Kalau misalnya Negara menaikkan harga listrik, ya kita buat saja teknologi listrik baru yang lebih murah untuk dinikmati bersama. Jika persoalan ekonomi dan ketimpangan karena harga barang di tentukan oleh kartel, bagaimana kita membuat barang dan jasa yang bisa dipertukarkan dengan harga murah dan mudah dijangkau oleh rakyat.

Mau sampai kapan kita hanya berbicara teori namun nihil dalam melalukan aktivitas konkret?

Tulisan ini adalah bentuk kemuakan atas segala jargonisme akut para aktivis gerakan sosial dan analisa kelas yang hanya menjadi desas-desus di ruang publik.

***

Penulis: Danang Pamungkas 19 Articles
Jurnalis lepas, dan Pengajar Partikelir di Sekolah Swasta. Penulis bisa dihubungi lewat email: danangpamungkas637@gmail.com

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.