Baru saja kita menyaksikan depat capres putaran kedua dalam rangka menyongsong pemilu 2019. Sama seperti di putaran pertama, kedua kandidat hadir dibersamai massa pendukungnya. Dari poster gambar capres sampai yel-yel dukungan memeriahkan acara. Tak lupa aksi-aksi kocak saling sindir dipertontonkan dihadapan juta-an pasang mata rakyat Indonesia.
Saat itu. Mungkin sama seperti jutaan orang di luar sana. Saya duduk bersila bersama kedua orang tua menonton acara debat capres di tv nasional. Kadang kami pun saling berdebat mempersoalkan retorika politik yang di tampilakan kedua kandidat. Dari ketidakcakapan mengintepretasi data menjadi wacana, sampai pernyataan-pernyataan kocak. Seperti;
“Pernyataan Jokowi soal tidak adanya konflik agraria dalam kurun empat setengah tahun terahir, atau kegagalan Prabowo dalam menelaah pertanyaan mengenai Unicorn. Ada-ada saja deh debat malam itu.”
Politik hari ini sangat menjemuhkan. Isu-isu yang di munculkan ke khalayak pun sangat tidak berbobot. Nuansa kompetisi sangat terlihat mencolok, sampai-sampai meruntuhkan segala rasionalitas. Parahnya lagi, ada beberapa kalangan yang masih menggunakan isu kebangkitan orde baru dalam berkampanye. Bahkan secara vulgar memunculkan hantu komunis sebagai antitesa-nya orde baru.
Sementara, pemerintah pun masih sibuk dengan berbagai agenda “pembodohan-nya”. Penyitaan buku-buku, sampai masalah konflik pembebasan lahan demi terciptanya pembangunan fisik di beberapa daerah. Anehnya, kaum muda yang seharusnya selalu berada dipersimpangan kiri jalan pun terkesan tidak peduli terkait masalah ini, atau bahkan banyak pula diantara mereka yang ikut-ikutan berkampanye ria.
Entah hanya sebatas kerinduan terhadap pencapaian masa lampau atau lebih dari pada itu? Yah, polanya memang hampir selalu sama disetiap menjelang pemilu. Untuk itu, melihat sejarah orde baru berkuasa sangat lah penting. Supaya kita dapat menentukan kemana arah bangsa ini kelak, terutama dalam hal berdemokrasi.
Dimulai tahun 1965 sampai 1967
Tiga tahun ini merupakan titik balik pergantian pemerintahaan di Indonesia dari orde lama ke masa orde baru. Secara garis besar, ada tiga peristiwa penting yang menjadi latar belakang jatuhnya legitimasi orde lama saat itu. Dari peristiwa September, Super Semar sampai berlakunya UU No. 1 Tahun 1967 tentang penanaman modal asing. Kebijakan penanaman modal asing inilah yang menjadi corong ekonomi kaptalistik Orba. Pada 1970, sudah ada sembilan perusahan asing yang membuka industrinya di Indonesia, jumlahnya terus meningkat bahkan sampai saat ini.
Selain kebijakan ekonomi yang kapitalistik, politik dalam negeri Orba cenderung bersifat otoriter. Militer sangat mendominasi dalam percaturan politik. Bahkan dalam kontrol sosial pun tindakan represif militer seperti sudah membudaya. De-demokratisasi terlihat jelas sekali pada masa ini, contohnya saja kebijakan peleburan parpol pada tahun 1973; sampai pembubaran aksi demonstrasi dengan moncong senapan pada peristiwa Malari (1974) yang menyebabkan tujuh orang tewas dan lebih dari dua ratus orang cidera berat.
Dalam permasalahan hukum, pemerintahan orde baru masih bersifat subversif. Sampai tahun 1977 ada sekitar 50.000-100.000 tahanan politik di Indonesia dieksekusi tanpa melalui proses peradilan.Tidak berhenti sampai disitu, pada 1978 terjadi demonstrasi anti Soeharto oleh mahasiswa yang berujung dengan berlakunya kebijakan “normalisasi” kampus atau NKK/BKK. Kebijakan ini bertujuan untuk membatasi gerak mahasiswa. Sepanjang tahun 1978 banyak mahasiswa, aktivis, dosen, ditahan.Organisasi mahasiswa banyak yang dibubarkan. Bahkan lembaga pers pun mengalami keterbatasan dalam pemberitaannya. Sampai tahun 80’ an banyak lembaga pers yang tidak diberikan izin penerbitan oleh pemerintah karena dianggap membahayakan stabilitas politik.
Asas Tunggal Pancasila
Pada 1983, pemerintah Orba membuat suatu rancangan undang-undang yang mengharuskan Pancasila dijadikan ideologi tunggal bagi organisasi politik dan massa. Atas kebijakan asas tunggal Pancasila ini, pada 1984 terjadi kerusuhan di Tanjung Priok. Demonstrasi massa “kalangan masjid” menyuarakan anti terhadap pemerintah sekaligus menolak asas tunggal Pancasila dalam organisasi. Demonstrasi ini berujung dengan brondongan tembakan tentara yang di arahkan ke massa.Setidaknya 28 orang meninggal serta ratusan lainnya cidera berat. Tindakan refrensif pemerintah dengan militernya ini terus berlangsung sampai reformasi 1998.
Meskipun mampu menciptakan stabilitas politik dan mudahnya menjalankan kontrol sosial, tetapi harus diingat, bahwa pada masa Orba ini banyak lidah-lidah rakyat yang dipotong rezim. Ini adalah konsekuensi logis dari rezim yang ber-orientasi membangun negara Indonesia yang kapitalistik dengan memakai Pancasila sebagai “jimat” keselamatannya.
1998; Kekacauan dalam Reformasi
1998, untuk kali pertama perjuangan rakyat mampu mematahkan 32 tahun kekuasaan orde baru. Ketika orde baru benar-benar berakhir, rakyat semakin berani. Mereka yang dulunya diperlakukan tidak adil kini mulai berusaha merebut apa yang menjadi hak mereka. Saat itu, Indonesia benar-benar berada dalam fase krisis, baik secara politik maupun ekonomi. Kekacauan terjadi di mana-mana. Rakyat yang kelaparan mulai menjarah makanan dan persedian barang kebutuhan.
Lebih buruk lagi, berbagai hal yang seharusnya tidak terjadi malah terus terjadi. Misalnya, penembakan diluar perintah yang dilakukan para tentara dan pembunuhan yang terus terjadi di beberapa provinsi. Kejahatan benar-benar meningkat.
Sementara itu, para reformis masih berkutat pada ketakutan kalau suatu saat nanti Soeharto berkuasa kembali, baik dilakukan-nya sendiri atau oleh para kroninya. Meskipun terjadi chaos dan demonstrasi masif dari mahasiswa, Suharto belum benar-benar dijatuhkan secara politik. Jaringan yang telah didirikannya selama puluhan tahun, tentu menjadi mesin politik terampuh meskipun tanpa kehadiran Suharto didalamnya. Para reformis khawatir kalau mantan presiden ini masih mengendalikan pemerintahan dibalik layar, atau setidaknya dapat mempengaruhi angin perubahan yang telah diperjuangkan. Maka, akan timbul pertanyaan dikemudian hari; Apa jadinya kalau sisa orde baru melakukan kontrak politik dengan pemerintah yang berkuasa pasca reformasi?
Satu hal yang perlu diingat, di zaman orde baru praktik pengebirian politik, disparitas ekonomi dan ketidakadilan sosial menjadi hal yang lumrah. Terlebih, krisis ekonomi-politik di periode 90-an telah melululantahkan negeri, sehingga utang pun kian membengkak. Akibatnya, beban yang harus diterima generasi mendatang sangat lah berat. Apakah masih ada yang menginginkan masa-masa suram itu dibangunkan kembali?
Seharusnya kontestasi politik pada pemilu kali ini benar-benar ditujukan untuk kepentingan bangsa. Bukan hanya saling adu gengsi dengan hal-hal yang memekakan telinga, tanpa menawarkan sesuatu kebaruan untuk proses demokrasi rakyat.
***
Leave a Reply