Hari ini saya bangun lebih pagi ketimbang biasanya. Jam 6 Pagi di Balikpapan terasa seperti subuh di Jogja. Matahari masih malu untuk memperlihatkan dirinya. Saya beranjak dari tempat tidur untuk membuat kopi. Saya buka jendela lebih lebar, dan sungguh pemandangan indah Pantai Balikpapan terlihat dari atas hotel, tempat saya menginap.
Tepat pukul 7 pagi, saya di jemput travel untuk melanjutkan perjalanan ke Desa Liang Buaya, Muarakaman, Kutai Kartanegara. Perjalanan menuju Liang Buaya ini akan melewati Balikpapan-Samarinda- Kutai Kartanegara yang ditempuh selama 10 jam ke depan. Saya pun memulai perjalanan dengan “bismillah” semoga selamat sampai tujuan.
Jalan perbatasan Balikpapan-Samarinda yang mulus saya lewati dengan mudah, pemandangan hutan, tambang, sawit, dan pabrik menemani saya selama 5 jam. Disekitaran jalan terlihat hutan yang asri, namun ketika saya berada di jalanan yang lebih tinggi terlihat hutan itu sudah di babat habis oleh industri. 50 atau 100 meter dari jalan saya bisa melihat lubang besar menganga, hutan yang tandus, dan sedikit pohonnya.
“Pak itu waduk apa namanya?” tanyaku setelah melihat lingkaran besar mirip waduk.
“Itu bukan waduk mas, itu bekas galian tambang,” mendengar jawaban dari Pak Sopir, saya menggelengkan kepala.
Di tengah perjalanan saya berhenti di Warung Makan Tahu Sumedang yang berada di perbatasan wilayah Balikpapan-Samarinda. Sebenarnya saya ingin mencoba masakan asli Kalimantan, namun setelah di cari-cari hanya ada masakan Jawa-Sunda-Bugis, karena perut sudah berdemo saya harus berhenti untuk mengisi energi terlebih dahulu.
Saya lanjutkan perjalanan kembali. Masih 5 jam untuk sampai Ke Desa Sabintulung, desa yang menjadi transitnya warga dari luar kota apabila ingin menuju Desa Liang Buaya. Saat memasuki Sabintulung, saya merasa lega. Jalanan begitu sepi, hanya beberapa karyawan Pabrik Sawit yang lalu-lalang dengan sepeda motor-nya.
Akhirnya saya sampai di Sabintulung tepat pukul 19.00 WITA. Semua barang sudah saya turunkan dari travel, sungguh perjalanan yang panjang. Melewati debu, panas, dan pabrik sawit merupakan hal yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya.
Sepanjang Sungai Mahakam
Saya sedang beruntung karena malam itu bulan purnama. Cahaya dari atas langit menerangi perjalanan saya yang lumayan jauh. Beberapa kali Saya memeriksa ponsel, namun belum ada pesan masuk dari Agus.
“Ia adalah sahabat yang sudah merindukan kedatangan saya untuk belajar dengannya di desa. Saat itu ia memang berjanji untuk menjemput saya di dermaga Sabintulung.”
Terlihat di seberang dermaga, seorang laki-laki berambut mohawk, memakai celana training dan kaos datang ke arah saya. Itulah Agus! Ia datang dengan senyuman dan lambaian tangan.
“Nang, sudah disini dari jam berapa?” tanya Agus sambil menjabat tangan saya.
“Baru sampai 10 menitan lah,” jawabku.
Kuambil dua tas ransel besar berisi air minum, laptop, dan perkakas baju untuk tinggal di Liang Buaya selama satu minggu. Barang bawaan sudah kutaruh di perahu ces. Semua sudah lengkap tak ada yang ketinggalan di dalam travel, tinggal waktunya berangkat menuju Liang Buaya!
“Oh iya, perahu (ces) itu adalah sebutan untuk alat transportasi air berbahan bakar bensin masyarakat kampung Liang Buaya.”
Berbekal perahu ces, senter, dan pelampung, saya merasa aman untuk menyusuri sungai yang dalam. Disini saya baru menyadari, bahwa keterampilan berenang ternyata sangat penting dalam kondisi seperti ini. Bayangkan saja sungai Mahakam ini kedalamannya 40-50 meter, kalau perahu tiba-tiba karam bagaimana? Apalagi Barang bawaan saya cukup berat. Perahu ces yang saya naiki bukanlah perahu besar. Panjangnya sekitar 3 meter, sementara diameternya hanya 60 cm. Sehingga saat duduk di perahu saya harus duduk bersila dan harus fokus. Mengantuk saja adalah hal yang berbahaya bagi pengemudi ataupun penumpang.
Jarak pandang yang minim, tidak semua orang berani berkendara malam hari. Resiko macet di perjalanan, menabrak batang kayu, ataupun kecelakaan merupakan suatu hal yang bisa terjadi. Oleh sebab itu, membawa senter besar dengan jarak pandang 200 meter lebih, merupakan keharusan. Fungsinya tidak hanya untuk menghindari eceng gondok dan batangan kayu, namun untuk memberikan kode pada pengemudi perahu yang lain agar memberikan jalan dan mengurangi kecepatan saat berkendara. Saat perahu berpapasan dengan perahu yang berlawanan arah, maka pengemudi harus memberikan aba-aba dari jarak 200 meter lebih, supaya tidak saling bertabrakan.
Karena pengetahuan yang minim mengenai lalu lintas perairan, saya hanya membawa senter kecil yang jangkauannya berkisar 10 meter saja. Sehingga apabila senter ini digunakan, pasti membahayakan seluruh penumpang perahu. Kesalahan teknis bisa berakibat fatal dalam perjalanan. Untungnya Agus membawa senter besar yang ia pinjam dari tetangga rumah, sehingga amanlah kami dari peristiwa buruk.
“Selama perjalanaan pikiran neko-neko selalu datang, dan saya hanya terdiam menggigil sambil merokok untuk tetap tenang. Ketakutan ini merupakan hal yang baru saya alami, betapa ciutnya nyali seseorang berhadapan dengan sistem ekologis yang masih alami.”
Disepanjang jalan, saya melihat luasnya Anak Sungai Mahakam yang tak terlihat ujungnya. Kalau bisa saya bandingkan luasnya sungai ini 20 kali lebih besar dari luas Jembatan Janti Yogyakarta. Di sekitaran sungai, terlihat luasnya hamparan hutan gambut, daunnya memanjang keatas-kesamping tak beraturan. Pohon-pohon besar yang jumlahnya ribuan itu berdiri tegak di pinggiran sungai, beberapa pohon terlihat akan tenggelam karena tingginya permukaan air. Saat kami berpapasan dengan perahu cess yang ukuranya lebih besar, kami harus mengalah di pinggiran agar tidak terbawa gelombang air yang dibawa perahu besar. Untung saja Agus sangat mahir mengemudikan perahu.
Malam itu, saya bisa merasakan kenikmatan dunia yang sudah lama tidak saya rasakan ketika hidup di kota. Jiwa saya seperti hidup kembali. Keresahan dalam sekejap hilang, diganti dengan ketakjuban pada Sang Pencipta yang menciptakan alam raya.
Saya jadi teringat wejangan dari Kepala Desa Dlingo, Bantul. Baginya, desa memiliki 3 sumber daya yang tak dimiliki kota, yaitu air yang jernih, udara yang bersih, dan makanannya yang sehat. Saya pun mengamini pendapatnya setelah naik perahu ces di setengah perjalanan menuju Desa Liang Buaya.
Asal Nama Liang Buaya
Desa Liang Buaya terdiri dari tiga kampung sungai, yaitu Liang Buaya, Mangkuliding, dan Oridan, yang semua warganya bertempat tinggal di rumah rakit dan rumah panggung. Sebelum berangkat ke Liang Buaya, saya bertemu dengan Om Limpong, kepala BPD Liang Buaya yang pada saat itu berada di Yogyakarta untuk mengikuti pelatihan pembangunan Bumdes Desa. Ia bercerita tentang arti nama Liang Buaya yang berarti “sarang buaya.” Konon katanya dahulu ada seorang warga yang sedang mencari ikan dengan menyelam arus dalam, ia menemukan ada satu lubang besar yang kabarnya ada banyak buaya yang bersarang disana.
Namun sekarang ini sudah jarang ada buaya yang muncul di sungai. Dari kisah itu jadilah nama Liang Buaya dipakai sampai sekarang.
“Dulu saat saya masih kecil mas, tahun 1980-an ada warga yang pernah di terkam buaya. Namun itu sudah lama sekali. Kalau bagi kami, buaya itu tidak berbahaya. Ia takut dengan manusia. Apabila ada manusia yang dimakan buaya, itu berarti dia bukan manusia, tapi setan mas atau manusia yang jahat,” demikian kata Om Limpong.
Berkah Banjir: Sepenggal Cerita Desa Liang Buaya
Om limpong menceritakan bagaimana saat musim banjir warga sangat senang, karena bisa dengan mudah mendapatkan ikan disekitaran rumah. Ikannya pun besar-besar pada saat musim banjir, dan tidak perlu beli bensin untuk mencari ikan ke tempat yang jauh. Bagi warga, musim banjir adalah berkah yang dinanti-nanti untuk mengumpulkan uang sebanyak mungkin. Sungai telah memberikan kehidupan dan penghidupan bagi warga. Berbekal tamba, jaring, dan perahu ces warga bisa mengambil ikan kapanpun warga mau.
Berbeda halnya dengan makna banjir di kota yang menjadi musibah dan warganya harus mengungsi karena rumahnya tenggelam. Di Liang Buaya, banjir tidak merusak, dan tidak menenggelamkan rumah. Bahkan banjir menjadi sumber rejeki dan selalu dinanti. Karena pengetahuan dan teknologi yang dipercaya oleh lintas generasi, rumah rakit dan rumah panggung tak akan tenggelam jika banjir datang. Rumah warga terbuat dari kayu ulin yang tahan terhadap pelapukan.
Banjir antara di kota dengan di Liang Buaya pun berbeda. Apabila banjir di kota arusnya sangat deras dan terjadi tiba-tiba, maka banjir di Liang Buaya arusnya tidak deras, dan kenaikan air berangsur-angsur dalam beberapa hari sehingga warga bisa bersiap-siap meninggikan rumahnya.
*Nantikan kelanjutan cerita perjalanan saya selanjutnya mengenai Desa Liang Buaya di bagian kedua.
***
Leave a Reply