Sudah empat tahun ini UNY telah menerapkan beberapa kurikulum yang berbeda, dari kurikulum 2009 ke kurikulum 2014. Tetapi perubahan kurikulum tersebut tidak ada yang benar-benar mencerminkan bahwa hal itu dapat mendorong kreativitas dan pembebasan sosial. Idealnya kurikulum pendidikan berbasiskan pada landasan historis, soisologi, yuridis, dan politis bangsa Indonesia. Akan tetapi aspek-aspek seperti itu seakan-akan tidak di indahkan oleh kampus UNY. Sebuah landasan kurikulum tentunya harus tidak berjauhan dengan realita masyarakat karena kurikulum merupakan gambaran umum bagaimana pendidikan itu tidak lepas dari aspek sehari-hari kegiatan masyarakat baik sosial, hukum, politik dan budaya. Akan tetapi selama ini UNY sebagai kampus pendidikan masih jauh untuk berdekatan dengan masyarakat.
Kurikulum tentunya dekat dengan siapa yang berkuasa dan mempunyai kekuasaan, disini kurikulum UNY didesain secara sistematis untuk mematikan nalar kritis dan kebebasan akademik mahasiswa. Kurikulum seperti ini tak lebih dari sekedar alat untuk memonopoli kebenaran dan menekan orang-orang yang tidak bersepakat dengan arus deras kaum positivistik di UNY. Kurikulum pembebasan yang didengungkan pleh Paulo Freire tentunya sangat relevan untuk pendidikan UNY saat ini. Pendangkalan pemikiran terjadi di dalam kelas, materi-materi kuliah sangat jauh dari nilai-nilai kritis dan realita masyarakat, padahal Bung Hatta pernah menjelaskan bahwa tanggung jawab seorang itelektual adalah moral dan politik, kalau sisi kritis mahasiswa tidak dilatih dari mulai sekarang, lalu bagaimana tanggung jawabnya sebagai kaum intelektual untuk membebaskan masyarakat dari ketertindasannya. Melihat kurikululum UNY sekarang tak lebih dari rezim pengontrolan pemikiran yang represif dan hegemonik.
Michel Foucault pernah mengupas agen wacana dan pendisplinan manusia, bahwa alat control terbaik untuk menekan intelektual yang kritisi adalah kontrol pikiran dan tindakan manusia. Penindasan terjadi didalam pemikiran mahasiswa, mahasiswa tidak dilatih mempelajari teori dan pemikiran tokoh-tokoh sosial, tetapi hanya di ajarkan untuk patuh dan manut dengan doa nujum para dosen terutama Rektor yang mempunyai wewenang dan otoritas menandatangani setiap kurikulum yang mau disahkan. Hal yang sebenarnya pernah dibahas oleh Arbi Sanit, dosen Universitas Indonesia yang menyimpulkan bahwa kurikulum dan cara pendidikan di kampus masih seperti zaman Orba yang tujuannya membentuk mahasiswa hanya menjadi keledai. Tentunya kita sekarang tidak ingin menjadi keledai seperi zaman Orba.
***
Sudah bagus ada mahasiswa FIS-UNY mau curhat atas kegelisahannya, akan tetapi mazhab colombo ini masih mengedepankan gaya agitasi dan propaganda, daripada sisi intelektualnya.
Banyak dari tulisannya yg bersifat reaksional, bukan dari permenungannya.
iya bung ini masih proses untuk belajar dalam hal analisis dan teori, terimaksih atas masukannya
Kembali bung,
Jangan jadi mazhab danang yah, kok tulisan danang aja, yg ada
bukan mazhab danang, coba bung baca artikel yang lain banyak tulisan yang menarik selain bung danang, hehe