Anak Rantau
Dingin hawa sejuk terasa,
dalam bayang angan jauh melayang,
terselip harap akan sebuah awal perjuangan
yang diawali dengan kisah yang disebut perpisahan.
Di sudut ruang berukuran tiga kali tiga
Aku melihat bunda meramu do’a
Lewat kedua tangannya yang mustajab.
Semlamar di mata, tapi lekat terasa.
Ada kembang yang berhamburan
Diantara jari jemarinya yang hangat.
Dari senyumnya, merekah sinar penuh harapan.
Matanya seolah mengangguk,
memberikan isyarat keiyaan.
Semerbak wangi pucuk kasturi pekat tercium
Dari punggung tangannya.
Pesannya;
Pergilah untuk pulang anakku.
Pulanglah dengan membawa seikat kebanggaan dari tanah
Perantauan,
Pun kau suguhkan untuk bunda.
Sejenak ku terawang tentang hari esok,
Pulang membawa gelar dengan sebutan sarjana.
Entah bagaimana nanti, esok, atau lusa.
Aku hanya sedang bertanya pada hening,
Tentang do’a yang telah bunda ramu diantara
Kepusingan zaman.
Di Masa Depan
Di masa depan
Pun kita hanya akan melihat burung-burung kucica
Berceloteh dari dalam sangkar megahnya.
Bukan tentang bagaimana merdu kicauannya,
Tapi tentang bagaimana cara mencari makan untuk bertahan.
Di masa sekarang,
Burung-burung itu adalah pejabat-pejabat yang terhormat.
Di masa depan,
Burung-burung itu tak lagi terhormat karena jatuh melarat.
Pejabat yang tak lagi menjabat sebagai pejabat.
Pejabat yang terkoyak pun kemudian menjelma menjadi penjahat.
Di masa depan,
Burung-burung yang katanya pejabat lupa bagaimana caranya
Malu kepada umat.
Diajarkanlah kami bagaimana cara berdusta,
Kemudian cekikikan dengan bangga karena tangan
Yang telah ternoda.
Di masa depan,
Siapakah yang sebagai pejabat?
Siapakah yang sebagai umat?
Di masa depan,
Aku sebagai apa?
***
Leave a Reply