Bernostalgia Bersama Puthut EA: Dari Kegagalan Cinta Sampai Peristiwa Reformasi 1998

Cinta Tak Pernah Tepat Waktu adalah novel paling unik dan menarik yang pernah saya baca. Cerita kebahagiaan sampai kesedihan yang mendalam pada tokoh “Aku” membuat saya ingin menangis dan marah pada kenyataan yang begitu pahit di setiap babak cerita.  Garis besar novel ini mengisahkan percintaan ala muda-mudi kampus dan gerakan mahasiswa  yang melawan otoritarianisme Suharto. Setelah merasa dihianati oleh rekan seperjuangannya di gerakan mahasiswa,  tokoh “Aku” menemukan hidupnya kembali ketika menjadi  penulis dan bekerja santai sebagai editor buku.

“Aku,” adalah lelaki murung yang memiliki dunianya sendiri dan begitu nyaman dengan profesinya. Ia lebih memilih seharian di dalam kamar ketimbang berkumpul di cafe dengan teman-teman. Seolah ia merupakan orang yang tidak memiliki harapan hidup dengan jiwa yang telah mati. Pengalaman pahitnya selama perjuangan reformasi telah membentuk karakter yang pesimistis dan apatis. Novel ini begitu tragis dalam mengisahkan hubungan percintaaan sepasang kekasih. Si “Aku” bertemu dengan banyak perempuan, namun anehnya semua perempuan itu memberikan kepahitan diujung jalan.

Menurut saya, lelaki dalam novel ini sungguh tidak beruntung. Ia mudah di dekati perempuan namun sayang, ia terlalu banyak pertimbangan untuk menerka masa depan. Akhirnya perempuan yang mencari kepastian harus bersikap tegas dan realistis pada kenyataan; memilih untuk meninggalkan perasaan cinta yang masih membekas pada diri seorang lelaki yang pesimistik. Meskipun perempuan itu berkata dalam hati.

“Sebenarnya aku sangat mencintaimu, namun aku rasa kau tak serius kepadaku, aku harus mencari pasangan yang memiliki komitmen terhadap pernikahan.”

Dialog yang cukup berkesan dalam novel ini adalah ketika si lelaki dan pasangannya duduk santai di kampus untuk membahas rencana lamaran pernikahan dan pertemuan antar kedua keluarga.

“Aku sudah lulus kuliah dan akan bekerja. Sampai sekarang kamu belum lulus. Kalau kita menikah nanti, kamu mau kerja apa?

“Jadi penulis.’

“Tuh kan kamu jadi seorang pemimpi lagi. “

Pada akhirnya tokoh “Aku” ditinggalkan kekasihnya karena ketidakjelasan dalam mencari penghidupan.

Berapa banyak  lelaki yang gagal dalam menikah karena tidak memiliki pekerjaan yang jelas? atau berapa banyak pernikahan yang berujung perceraian karena alasan kesulitan ekonomi? Pernikahan tidak hanya urusan cinta, materi juga penting untuk mengarungi kehidupan. Banyak lelaki yang minder dan takut menikah karena tidak memiliki penghasilan yang besar.

Bagi saya novel ini secara konkret menggambarkan bagaimana dunia ini bekerja. Bahkan dalam persoalan cinta-pun, kemapanan, profesi pekerjaan adalah hal yang terpenting sebelum menikah.

Mas Puthut adalah salah satu penulis santai dan tidak ribet dalam mengolah kisah cinta. Alur cerita novel ini cukup sederhana, mengalir, dan realistis. Saya tidak begitu suka membaca novel cinta, namun di novel ini saya menyukai kesederhaan penulis dalam mengilustrasikan dialog di setiap adegan demi adegan.

Puthut E.A adalah aktivis SMID, organisasi yang radikal melawan rezim korup Suharto. Sekarang ini, ia aktif menjadi penulis dan pengusaha buku yang dikagumi banyak orang.  Mungkin novel ini adalah jalan pedang baginya untuk menyuarakan kelompok-kelompok yang disingkirkan dari lingkaran para aktivis reformis yang ternyata bertindak pragmatis demi jabatan kekuasaan.

Novel ini memiliki versi cerita berbeda dengan narasi besar reformasi, bagi saya hal ini adalah kekuatan terpenting dalam novel ini. Peristiwa reformasi 1998 yang sering sekali dikutip oleh gerakan mahasiswa dan para aktivis untuk menunjukaan keberhasilan reformasi, nyatanya memiliki banyak kekurangan dan lubang hitam yang mengerikan. Novel ini menceritakan sisi gelap pejuang reformasi; Para aktivis yang dulu memiliki api perlawanan dan tidak takut mati untuk membela kebenaran, ternyata gagal dalam menjalankan amanat reformasi. Meskipun pemerintahan Suharto telah jatuh dan kebebasan demokrasi terbuka lebar, pada kenyataannya situasi tidak seindah dan sebebas itu. Para aktor dan elit lama, ternyata masih berada di dalam gerbong kekuasaan. Sementara beberapa aktivis reformasi merapat kedalam kubu-kubu yang dulunya mereka lawan. Pragmatisme politik untuk mendapatkan kekuasaan menggiurkan para aktivis gerakan. Sebelumnya mereka menolak uang demi mempertahankan idealisme, tapi sekarang idealisme itu dipecundangi oleh hasrat memuaskan diri sendiri. Inilah kenyataan, dimana kekuasaan dan materi memainkan peranan dalam mereduksi segala bentuk pemikiran kritis gerakan mahasiswa hari ini, terutama para leader-nya.

Banyak mahasiswa bermimpi untuk berjuang melawan ketidakadilan, meninggalkan ruang kuliah untuk turun ke jalan, akhirnya harus menerima kenyataan bahwa tindakan itu adalah konyol. Banyak mahasiswa yang didrop-out dari kampus, mati terbunuh, dipenjara, kehilangan keluarga, diusir orang tua dan dianiya oleh aparat militer. Namun sebaliknya,  pimpinan gerakan mahasiswa dengan seenaknya membuat kerjasama-kerjasama dibalik meja dengan elit penguasa. Lalu dimana arti perjuangan dan idealisme?

Ternyata dunia yang diimpikan itu hanyalah semu, apa yang dicita-citakan untuk kebebasan manusia ternyata malah meniadakan rasa kemanusiaan. Apa yang diimpikan dalam persamaan dan kesetaraan hukum hanya dijadikan alat untuk merampok kekuasaan. Tokoh “Aku” yang kecewa dengan janji-janji manis reformasi dan bualan kosong perlawanan, kemudian mendirikan komunitas kecil di Yogyakarta untuk merawat akal sehat dan bekerja untuk masyarakat pinggiran. Dengan rasa geram, marah, dan kecewa bercampur menjadi satu.

Novel ini memberikan gambaran yang jelas, bagaimana kekuasaan itu bisa membutakan semua orang, tidak peduli ia aktivis HAM, Ekonom Handal, Profesor, atau menteri dengan kualitas intelektual yang mumpuni. Kekuasaan tidak bekerja untuk kemanusiaan, kekuasaan bekerja untuk kepentingan jangka pendek dan menguntungkan lapisan atas. Rakyat hanyalah simbol, simbol kekalahan dan ketidakberdayaan. Suara rakyat adalah suara tuhan, itu hanyalah ilusi. Fakta dilapangan, suara elit adalah suara tuhan!

Seharusnya novel ini diadaptasi menjadi film dengan latar perjuangan Reformasi. Karena menceritakan semuanya tanpa teding aling-aling, baik cita-cita gerakan mahasiswa maupun penghianatan-penghianatan selama reformasi. Mas Puthut menceritakan dengan detail setiap kejadian-kejadian penting pada masa itu.

Merobohkan pagar baja yang kuat dengan akar rotan adalah tindakan yang sia-sia, namun itulah kisah tokoh “Aku” dengan teman-temannya melawan Kekuasaan Suharto. Meskipun berakhir bahagia karena perjuangan itu mampu melengserkan Suharto, namun kekecewaan yang mendalam adalah struktur lama kekuasaan itu tidak roboh, malah semakin mengakar kuat dan berjejaring satu sama lain untuk berkuasa kembali dengan cara-cara yang demokratis. Cerita seperti ini belum pernah diangkat menjadi film, rata-rata film yang berlatar reformasi selalu dibumbui heroisme mahasiswa, dan kepahlawanannya, namun tidak menjelaskan bagaimana kegagalan dan penghianatan para aktor gerakan mahasiswa yang berkompromi dengan kekuasaan lama.

Novel ini seperti oase untuk mengisi kekosongan narasi reformasi yang cenderung mengkultuskan gerakan mahasiswa tanpa memberikan kritikan tajam tentang kegagalan peran gerakan mahasiswa setelah melengserkan Suharto. Bagi saya novel ini mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan cara yang sederhana.

Sebelumnya saya sudah membaca beberapa karya dari Mas Puthut, seperti; Kupu-Kupu Bersayap Gelap, Se-ekor Bebek Mati di Pinggir Kali,  Para Bajingan Yang Menyenangkan, dan Dua Tangisan Pada Satu Malam. Tapi dari beberapa karya itu, hal yang paling berkesan mendalam adalah membaca “Cinta Tak Pernah Tepat Waktu.”

Saya yakin novel ini akan sering dicetak ulang dan mendapatkan pembaca dari generasi ke generasi. Plot cerita, dan narasi pesan di dalam novel ini sangat kuat dan orisinil. Suatu mahakarya yang  layak dibaca berulang-ulang karena bahasanya yang mudah dipahami dan mengalir seperti air. Mengisahkan busuknya politik praktis, kekuasaan, dan segala macam berhala disekitarnya. Ini novel cinta, tapi tetap membawa unsur sosial-politik, agar pembaca tidak hanya disuguhi cerita salon, namun juga diberikan wawasan pengetahuan yang mendalam mengenai peristiwa reformasi 1998.

Judul Buku: Cinta Tak Pernah Tepat Waktu

Penulis: Puthut EA

Penerbit: Buku Mojok

Tahun Terbit: 2015

Genre: Buku Fiksi

Penulis: Danang Pamungkas 19 Articles
Jurnalis lepas, dan Pengajar Partikelir di Sekolah Swasta. Penulis bisa dihubungi lewat email: danangpamungkas637@gmail.com

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.