Bualan Janji Swasembada Pangan Untuk Pak Tani


 “Salahku menjadi petani, bertahan tuk menjadi petani, meski selebar dahi sepanjang bahu tanah ini untuk anak cucu.”

Iksan Skuter – Lagu Petani

Sedikit penggalan lagu yang cukup menyentuh untuk memulai tulisan ini. Saya penasaran, bagaimana Mas Iksan bisa menemukan kata yang cukup sederhana, tapi mengena pada substansi. Apakah saat menulis lagu Mas Iksan sedang pit-pitan di pinggir sawah? atau dia malah bertemu dengan petani setengah baya bernama Zulkarnaen? Membayangkannya saja sepertinya cukup seru bagaimana sesi hati ke hati Mas Iksan bersama Pak Zulkarnaen (untuk enak dibacanya Pak Naen ya) dibawah gubuk sambil makan nasi hangat dengan sambel lauk Teri yang dibawakan Bu Naen. Lha bikin baper saja.

Cerita diatas sebenarnya proses dimana Bung Karno menemukan, lebih tepatnya menggali buah pemikirannya saat bolos kuliah, bertemu dengan petani bernama Aen atau Marhaen. Kalau tidak percaya, cari saja di buku-buku kisah Bung Karno, Penyambung Lidah Nippon Rakyat. Eits, saya tidak akan membahas marhaenisme, itu urusan kader-kadernya, tanya saja sama mereka. Saya sudah capek menjelaskan. Karena mereka katanya penyambung lidah marhaen, tapi sampai sekarang si marhaen kok hidupnya susah mulu yak.

Jika dulu petani ditindas oleh sistem kolonial, maka sekarang musuh petani adalah mata rantai pasar yang cukup panjang. Kondisi inilah yang membuat petani tak bisa serta merta hidup nikmat, gundah jika hasil panen tidak bisa membiayai ongkos produksi. Margin yang cukup besar antara harga tani dan harga konsumen membuat petani “Maju kena, mundur kena.” Mengapa bisa begitu? Ketika harga panen tinggi ancaman proyek impor siap mengintai, dan ketika harga panen anjlok, tahu kan siapa yang mengintai, ya bank plecit lah!

Selain itu, keterbatasan informasi sering melanda di antara kaum tani, dari teknik tani yang efisien sampai kepada penjualan. Sehingga mereka sering menjadi incaran para pengepul untuk mengeksploitasi kepolosan pak tani. Tanah yang subur dimana perantara menjadi rajanya, bukan mereka yang menanam dengan tiap tetes keringat.Bangsat!

Disaat pak tani sudah menemukan ketentraman jiwanya, musuh penggusuran dan presekusi melanda. Merenggut tanah dan air yang menjadi dasar dari hidup, bukan hanya hidup mereka, namun hidup kita juga. Padahal swasembada pangan jadi gaungnya, tapi tiap jengkal tanah tani dirampasnya. Bukan menolak pembangunan, bukan untuk menolak industri, tapi menolak sebuah represi dan penyelewengan konsep pembangunan berkelanjutan.

Sempat saya terpikirkan membuat usaha seperti Mas Marzuki, JHF “UD Anarki” (ngga pake sunset,itu milik Bli JRX). Konsepnya mini market modern yang menjual hasil bumi jerih payah petani. Sistem pendapatannya bagi hasil dengan petani secara fair, keuntungan sebesar-besarnya untuk petani, karena dia yang menanam dengan tulus; merawatnya seperti anak sendiri.   

Ingin saya sentil mereka yang sibuk dengan pembahasan revolusi industri 4.0, memang mesin mampu membantu petani untuk mengurangi beban kerja. Tapi memutus rantai panjang (pengepul/rente) juga penting Paduka yang Mulia. Lha wong mereka yang linier dengan ide membebaskan petani dari belenggu kemiskinan oleh sistem saja belum bisa membuat petani mentas dari kesulitan, malah senengnya ngimpor terus.

Memang profesi petani saat ini kurang menjanjikan, kadang menjadi petani adalah profesi sampingan saja. Beruntunglah kalian muda-mudi yang peduli dan mau menjadi petani, karena eh karena jadi petani itu harus sabar puol. Kalau enggak sabar, siap-siap aja deh kena PHP dari negara, dari pengepul, dari bank, dari menteri, dari gubernur, dari bupati. Kita harus mulai peduli pada petani, dan lebih-lebih kalau mau berkontribusi untuk mereka, insyallah perut bangsa Indonesia ini akan aman untuk anak-cucu kita nanti.

***

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.