PSSI secara resmi dibanned oleh FIFA per 30 Mei 2016. Tokoh dibalik hal tersebut jelas, Imam Nahrawi. Menteri Pemuda dan Olahraga itu menjadi aktor penting yang membuat PSSI dibekukan. Harapan publik yang timbul terhadap Menpora praktis menginginkan adanya sterilisasi pengurus PSSI. Wajah-wajah lama dalam tubuh PSSI jelas tidak diinginkan. Pembenahan besar-besaran dan gembar-gembor revolusi PSSI pun mulai muncul. PSSI yang baru diharapkan benar-benar bersih dan berjalan sebagaimana fungsi dan tujuannya.
Namun, yang terjadi pasca pembekuan tidak berjalan demikian. Usaha Menpora untuk membenahi PSSI tidak berjalan mulus. Banyak batu karang yang menerjang menpora melakukan kerjanya. PSSI kala itu kukuh dengan pendiriaanya bahwa mereka telah melakukan amanahnya dengan baik. Menpora juga tidak tinggal diam, maka dibentuklah tim transisi. Menpora melalui tim transisi menginginkan pertemuan delegasinnya dengan FIFA untuk menjelaskan mengapa Menpora melakukan intervensi terhadap PSSI. Sayangnya, FIFA menolak tawaran dari tim transisi dengan alasan bertepatan di pekan jelang Kongres FIFA ke-65. Setelah penolakan tersebut, konflik yang terjadi kedua kubu semakin tidak jelas. PSSI dengan pembelaannya tidak jarang muncul di media.
Waktu terus berlalu, sepakbola Indonesia tidak bisa berkembang. Akibat dari pembekuan PSSI, Indonesia tidak dapat berpartisipasi dalam ranah internasional. Kompetisi yang awalnya didukung oleh Bank QNB mandek setelah hanya bergulir tiga pertandingan. Setelah itu, tidak ada kompetisi yang dapat menjamin kehidupan pemain sepakbola. Maka diadakanlah berbagai turnamen, baik itu tarkam maupun turnamen gagasan Menpora. Namun, segala turnamen seperti Piala Kemerdekaan, Piala Presiden, dan Piala Bahayangkara dirasa kurang cukup. Sebaik apapun itu, sebuah turnamen tidak akan bisa memberi garansi kesejahteraan pemain. Sebuah kompetisi yang jangka waktunya relatif panjang saja tidak bisa mencakup seluruh partisipasi pemain dengan maksimal, apalagi sebuah turnamen yang umurnya hanya sebiji jagung.
Singkatnya, Menpora mencabut pembekuan PSSI per 16 Mei 2016, dengan tiga alasan. Pertama, tindakan taat hukum dengan menghargai Mahkamah Agung yang saat itu sudah mengeluarkan putusan. Kedua, Menpora menghargai surat FIFA kepada Menpora dan Menteri Sekretaris Negara yang berisi keinginan FIFA mengawal perubahan sepakbola di Indonesia. Dan ketiga, pemerintah mendengar keinginan pecinta sepakbola yang ingin pembekuan secara dicabut agar perbaikan tata kelola dapat berjalan dengan cepat. Harapan setelah pembekuan sepakbola di Indonesia akan segera membaik mengingat banyak sekali perkerjaaan rumah bagi PSSI maupun stakeholder yang terkait. Adapun berbagai problem yang perlu diperhatikan akan dijelaskan dibawah.
Fanatisme supporter di Indonesia tidak perlu dipertanyakan lagi. “Jika dukungan memperhitungkan untung-rugi, maka dukungan itu tidak lagi murni” begitulah kutipan dari mantan Panglima Viking Persib Club, Alm. Ayi Beutik. Biaya yang dikeluarkan untuk melakukan tour antar pulau tidaklah sedikit. Supporter di Indonesia memang benar-benar menjadi pemain ke-12 bagi timnnya yang sedang bertanding dimanapun tempatnya. Namun, satu masalah supporter di negara kita adalah masih banyaknya kasus kerusuhan antar supporter. Banyak penyebab terjadinya kerusuhan supporter, seperti faktor geografis, kesalahpahaman, sampai aksi balas dendam. Contohnya saat pengroyokan dari pendukung PS TNI terhadap Ultras Gresik. PSSI memberikan hukuman berupa denda dan pertandingan tanpa penonton. Mereka cenderung hanya memberikan peraturan dan yang melanggar akan mendapatkan sanksi. Tidak ada pembinaan kepada supporter yang berkaitan. Ibaratnya hanya menyelesaikan masalah permukaannnya saja. Mereka tidak memikirkan akar masalah kerusuhan supporter. Hal yang sebenarnya harus dilakukan PSSI adalah memfasilitasi Kongres antar supporter setiap tahunnya mengingat jumlah kelompok supporter di Indonesia sangat banyak. Bahkan, satu klub saja mempunyai basis supporter yang berbeda. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan sentiment-sentimen negatif antar supporter. Jangka panjangnya adalah menciptakan win-win solution antar supporter atas kerusuhan yang sebelumnya sering terjadi.
Jika Viking bermusuhan dengan The Jak, Aremania bermusuhan dengan Bonek, Slemania bermusuhan dengan Brajamusti, maka keenam-enamnnya mempunyai satu “musuh” yang mutlak, calo. Ya, seluruh penikmat sepakbola sepakat bahwa calo adalah orang yang sebenarnya tidak diharapkan dalam sepakbola. Calo biasanya menawarkan tiket pertandingan bertajuk big-match. Mereka biasanya sudah stand-by di dekat pintu masuk stadion, di sudut-sudut tertentu, bahkan jika tiket sudah sold out si calo tak ragu menawarkannya tepat di depan loket pembelian tiket. Aturan one man one ticket sebenarnya sudah dilakukan di beberapa tim yang sering tiket pertandingannya cepat diburu. Namun tetap saja jika tiket habis, masih banyak calo yang berkeliaran di sekitar stadion. Usut punya usut, mereka mempunyai jaringan dengan pihak panitia pelaksana pertandingan.
Dalam sebuah pertandingan, peran pengadil sangatlah krusial. Sayangnya, wasit di Indonesia sangat jauh dari kata memuaskan. Wasit sering menjadi sorotan utama klub yang bertanding, bahkan menjadi bahan olok-olokan supporter. Dalam gelaran Torabika Soccer Championship saja, hampir seluruh tim merasa dirugikan dan tidak sedikit pula yang meluapkan kekesalannya dengan cara yang kurang pantas. Contohnya, manajer tim Pusamania Borneo FC Nabil Husein mengejar wasit pasca pertandingan. Nabil menganggap bahwa timnya dijahili sehingga terpaksa kalah dalam derbi Kalimantan atas Mitra Kukar. Contoh lain adalah Sriwijaya FC yang pernah mengancam ingin mengundurkan diri. Permasalahannya sama, mereka menganggap kualitas wasit jauh dari kata baik. Hal ini seperti lagu lama permasalahan sepakbola kita. Maka, dirasa sangat perlu sebuah penataran wasit yang baik agar kualitas wasit membaik.
Dalam sepakbola, kesejahteraan pemain menjadi indikator yang wajib diperhatikan. Gaji yang diberikan seyogyanya cair tepat waktu. Di Indonesia, hal tersebut belum dapat dinikmati oleh seluruh pemain. Legenda hidup Persija Jakarta, Bambang Pamungkas sempat berkonflik dengan jajaran manajemen karena haknya tidak segera dipenuhi. Curhatan bepe kerap terdengar pada media sosialnya. Akibatnya, bepe sempat hengkang menuju Pelita Bandung Raya selama setahun sebelum akhirnya berdamai dengan pihak manajemen dan kembali ke pelukan Macan Kemayoran. Nasib lebih tragis dialami oleh mantan pemain Persis Solo, Diego Mendieta. Diakhir 2012, Diego meninggal akibat sakit tifus dalam posisi gajinya belum terpenuhi. Hal ini sontak membongkar aib buruknya tata kelola sepak bola saat itu. Klub belum bisa mandiri dalam membangun finansial tim. Ketergantungan klub terhadap APBD menjadi salah satu faktor seretnya gaji yang diberikan.
Jumlah penduduk di Indonesia sekitar 250 juta orang. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah mengapa Indonesia selalu kesulitan menjuarai turnamen di kancah internasional mengingat jumlah penduduk di Indonesia berada di urutan teratas dunia. Jika melirik dari perekrutan pemain timnas tentu yang perlu disorot adalah bagaimana pembibitan pemain muda. Dalam ajang turnamen pemain dibawah 18 tahun, Indonesia masih sangat bergantung pada turnamen tahunan seperti Danone Nations Cup dan Gothia Cup. Indonesia masih sulit mengadakan turnamen atau kompetisi jangka panjang yang menaungi pemain muda. Piala Menpora U-16 belum lama ini pun durasinya sangat singkat. Follow up pemain muda yang berprestasi juga masih sangat minim apresiasi. Rendahnya mutu pembibitan pemain muda menjadi alasan Indonesia selalu kesulitan mendapatkan gelar dalam kancah Internasional.
Pihak yang mempunyai daya untuk mengubah citra sepakbola Indonesia sebenarnya PSSI itu sendiri. Sayangnya, PSSI selalu akrab dengan tokoh politik. Dagelan yang lucu adalah ketika H-1 Final Piala AFF Suzuki Cup kontra Malaysia, skuad timnas sowan ke kediaman Ketua Umum DPP Partai Golkar kala itu. Dengan dalih Aburizal Bakrie memberikan dukungan terhadap punggawa garuda, padahal hal tersebut sebenarnya membuat pemain menjadi manja, apalagi dengan diberikannya bonus miliar rupiah pasca memulangkan Filiphina pada babak semifinal. Pemain tidak perlu dibawa-bawa acara, yang terpenting adalah bagaimana menyiapkan mental mereka. Dan yang tidak kalah lucu, di Stadion Bukit Jalil Malaysia terdapat banyak sekali banner yang menampangkan baginda Ical. Oh, konspirasi macam apa ini!
Investor dari luar negri pasti akan sungkan untuk menanamkan modalnya terhadap klub di Indonesia. Kualitas liga yang rendah tak akan menarik minat pemodal. Akan jauh berbeda jika kita melirik kompetisi Eropa, juragan minyak kaya raya akan tergiur untuk menafkahi klub sepakbola disana. Tata kelola bagus, kompetisi sehat, pembinaan Youth Team yang baik dan didukung infrastruktur yang memadai menjadi garansi kepada para pemodal.
Sekali lagi, PSSI. Kabar terakhir dari organisasi yang sakit ini adalah terpilihnya ketua umum yang baru. Sayangnya, ketua umum bukan berasal dari “orang bola”. Edy Rahmayadi yang menjabat sebagi Panglima Komando Cadangan Strategi (Pangkostrad) mendapatkan 76 suara, dibandingkan legenda hidup sebakbola Indonesia Kurniawan Dwi Yulianto yang mendapatkan nol suara, ya nol! Walaupun begitu, saya harap masih ada secercah harapan untuk sepakbola Indonesia yang lebih baik. Masalah sepakbola di Indonesia yang sangat menumpuk yang tidak bisa dijabarkan semuanya disini semoga dapat diatasi PSSI. Mimpi Indonesia setidaknya dengan merajai Asia Tenggara sebelum berangan-angan beranjak menguasai Asia dapat terwujud. Karena pada dasarnya, publik sudah terlalu lama menunggu kejayaan di bidang sepakbola.
Bambang Ismoyo. Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Sosiologi UNY 2015.
Leave a Reply