Iman, begitu ia disapa. Umurnya baru 23 tahun. Bapaknya yang telah tiada, meninggalkan istri dan tiga anak. Iman merupakan anak kedua, ia sendirian yang bekerja untuk menghidupi keluarga. Kakaknya sudah menikah tapi masih belum juga bekerja, padahal dia lulusan D3 informatika. Sedangkan adiknya masih duduk dibangku SMP. Iman adalah buruh yang bekerja di pabrik minuman dalam kemasan yang cukup terkenal.
Iman harus bekerja 8 jam sehari ditambah harus lembur 2 jam untuk mencari nafkah. Total ia sehari bekerja selama 10 jam. Namun siang malam ia bekerja, tetap tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari dan keluarganya.
Bekerja di sebuah perusahaan besar ternyata tak menjamin seseorang bergaji besar, yang terjadi kadang malah sebaliknya. Sehari, Iman hanya mendapat upah Rp. 25.000, atau Rp 700.000 per bulan. Itu pun tanpa asuransi kerja. Belum lagi dipotong ongkos membeli bensin, karena jarak rumahnya yang lumayan jauh serta kebutuhan keluarga lainnya.
“Gajimek Rp 700.000, entek neng dalan, gak cukup gawe urip seng barang-barange podo mundak,(Gaji cuma Rp 700.000 habis di jalan, tidak cukup untuk hidup apalagi harga barang-barang yang pada naik)” ucapnya.
Begitulah kehidupan Iman, suatu potret dari kaum proletar yang bekerja di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK) Gresik yang berjumlah Rp 2.707.500,- (ketika itu tahun 2014). Hal ini diperparah dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM menjadi Rp 7.400 yang berdampak pada naiknya harga barang-barang lainnya.
Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945, menyebutkan bahwa “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Ayat ini memuat pengakuan dan jaminan bagi semua orang untuk mendapatkan pekerjaan dan mencapai tingkat kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Nampaknya, pasal tersebut masih menjadi wacana belaka, hingga saat ini masih banyak warga negara Indonesia yang menjadi pengangguran. Begitupun dengan masih banyaknya warga negara Indonesia yang hidup di bawah upah yang layak, seperti kasus yang dialami Iman.
Pasal 27 ayat 2 UUD 1945, mengandung makna bahwa negara harus dan wajib menjamin warga negaranya untuk dapat pekerjaan serta memiliki kehidupan yang layak serta diberikan perlindungan dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur.
Negara demokrasi ini dikotori oleh nepotisme yang menghiasi industri pekerjaan di Indonesia. Para pencari kerja yang tidak memiliki kenalan, saudara atau tetangga akan tersingkir dari persaingan. Ditambah ungkapan “tanpa pemulus tidak akan lulus” yang terlanjur menjadi budaya patron klien di masyarakat.
Naiknya Harga Sembako dan Kekacauan Penentuan Harga Barang
Tingginya harga barang-barang sembako dan komoditas lainnya seakan memperberat esensi dari pasal 27 ayat 2 UUD 1945. Salah satu faktor yang mempengaruhi harga-harga tersebut adalah naiknya harga Bahan Bahan Minyak (BBM) yang fluktuatif, sehingga menimbulkan kekacauan dalam penentuan harga barang-barang di pasar. Ongkos transportasi pun meningkat tajam. Dari pengalaman penulis, ongkos transportasi bus dari Yogyakarta-Surabaya sebelum penghapusan subsidi BBM hanya Rp 43.000. Setelah penghapusan subsidi ongkos transportasi bus menjadi Rp 47.000. Kemudian, kenaikan harga BBM pada tanggal 28 Maret 2016 lalu menjadi Rp 53.000. Dan sekarang menjadi Rp 57.000. Tarif tersebut tetap sama hingga artikel ini ditulis (Jumat, 25 Januari 2019). Terjadi tiga kali kenaikan biaya transportasi pada periode 2014 hingga 2017. Hasilnya, standar hidup pun meningkat tajam.
Bagaimana Nasib UKM Kecil dan Buruh?
Lalu bagaimana dengan rakyat kecil, pedagang-pedagang, Usaha Kecil Menengah (UKM), serta nasib para buruh yang standar hidupnya masih rendah? Keadaan ini masih diperparah dengan kenaikan harga tabung gas LPG 3 kg. Kenaikan harga BBM otomatis mempengaruhi keadaan pekerja-pekerja di industri. Pabrik-pabrik lebih memilih berhemat karena para buruh menuntut pengusaha menaikkan Upah. Imbasnya adalah pengurangan tenaga kerja besar-besaran yang mengakibatkan angka pengangguran semakin tinggi.
Satu kejanggalan lagi ketika masih ada buruh-buruh yang mendapat upah di bawah UMK, perusahaan-perusahaan semakin menekan buruh. Ungkapan “Gelem manut ora metuo,” menjadi andalan pihak perusahaan untuk menarik tenaga kerja murah. Karena para buruh membutuhkan pekerjaan untuk menyambung hidup dan perusahaan menawarkan upah yang jumlahnya jauh dibawah UMK.
Pemerintah Seolah Menutup Mata
Pemerintah seolah lalai dengan realitas upah buruh yang dibawah standar UMK. Peran pemerintah masih belum menonjol dalam menangani masalah-masalah diatas. Ketika buruh akan melapor ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker), buruh-buruh akan dihentikan langkahnya dengan cara yang kotor oleh pihak perusahaan. Mereka disuap dengan beberapa lembar uang dan diancam akan dipecat dari perusahaan bila mengadukan permasalahan ini ke Disnaker. Pihak Disnaker pun tak dapat berbuat apa-apa karena tidak memiliki bukti dan aduan dari pihak terkait. Buruh pun hanya pasrah saja dan tidak dapat bersuara. Para Buruh tidak memiliki kekuatan apapun untuk mendapatkan hak-haknya dalam bekerja, yaitu; mendapatkan upah yang adil, hak untuk berserikat, dan berkumpul guna memperjuangkan kepentingannya.
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut seharusnya pemerintah memberikan kebijakan-kebijakan. Pertama, memperbaiki lagi sistem upah buruh. Kedua, survey secara berkala tentang hak-hak pekerja oleh pemerintah. Ketiga, pemerintah diharapkan membuka lapangan kerja seluas-luasnya dan sebesar-besarnya. Keempat, pemerintah lebih menggalakkan lagi pelatihan keterampilan. Menurut pengamatan penulis, selama ini masih banyak masyarakat yang belum menguasai keterampilan-keterampilan dalam bekerja dan belum mengetahui bahwa pemerintah sering mengadakan kegiatan pelatihan. Kelima, pemerintah hendaknya meningkatkan intensitas konsolidasi antara pemerintah dan perusahaan-perusahaan dalam menangani permasalahan-permasalahan tenaga kerja. Mulai dari penyerapan tenaga kerja, pengupahan, dan masalah-masalah lainnya.
Selain itu semua ada hal yang sangat penting, yaitu menstabilkan harga sembako dan kebutuhan hidup yang dapat dijangkau kelas menengah-bawah. Penulis mengamati, masyarakat hanya membutuhkan itu. Meningkatnya UMK mustahil terjadi apabila standar kebutuhan hidup tidak tinggi. Perusahaan mustahil memangkas jumlah tenaga kerjanya bila UMK seimbang. Hasil output perusahaan atau produk perusahaan mustahil meningkat apabila faktor-faktor inputnya tetap. Pemerintah seharusnya bertanggung jawab untuk segera menstabilkan harga kebutuhan- kebutuhan pokok masyarakat agar cost living masyarakat tidak tinggi, sehingga upah kerja sesuai dengan kebutuhan hidup layak pekerja.
Hanya dengan upah yang layak dan harga kebutuhan pokok yang terjangkau, ekonomi akan tumbuh meningkat. Buruh senang, pengusaha tenang, sehingga pemerintah bisa fokus pada pembangunan industri manufaktur untuk mengentaskan kemiskinan dan pengangguran di Indonesia.
***
Leave a Reply