Cerita Keluarga Belalang dan Nikmatnya Daun Kacang

Malam hari itu Sadikin mengunyah dedaunan kering. Matanya terlempar tak berarah ke sana-sini mengawasi sekitar tempat ia bertengger di pohon turi. Mulutnya tak berhenti menyelesaikan pekerjaannya. Terkadang sensasi krispi atau lembut ia temukan dari sederet dedaunan yang terpegang erat oleh keenam kakinya.

“Wah mulai besok itu aku harus ke distrik 8. Sepertinya masih ada lima atau tiga pohon turi yang masih tersisa,” pikirnya dalam-dalam.

Tak beberapa lama sebelum pucuk terakhir daun santapannya habis. Datang mbah Karto dari kejauhan. Terbangnya nampak oleng, seiring sepoi angin malam. Dia hampir saja terjatuh tatkala luput mencengkram dahan pohon turi di tempat Sadikin juga hinggap.

“e…e.ee,” simbah bertempik kepanikan.

“Tumben mbah malam-malam begini masih keluyuran, apa tidak di cari istrimu?”

“Ah, biar saja si tua Bangka itu. Justru kenapa kamu bertingkah seperti simbahmu itu? Padahal aku kemari hendak mencari angin segar. Dasar tak punya hati,” jawab mbah Karto menyergah kesuntukan yang hendak dihadirkan Sadikin.

“Hahaha. Bukannya gimana mbah. Ingat ini sudah hari ke 30. Ajalmu sebentar lagi datang. Kalau tidak secara alami, ya tertangkap gerombolan pemuda desa sini untuk dijadikan barang kunyahan,” ujar Sadikin sambil menertawakan kepayahan simbah Karto.

Mbah Karto hanya menghiraukan.

“Turi di sini sudah hampir habis mbah. Paling-paling Cuma cukup buat keluarga si Juki saja. Itu pun hanya sampai 2 hari ke depan,” gumam Sadikin.

“Apa simbah mau ikut denganku ke distrik 8? Sepertinya di sana masih tersisa beberapa pohon turi. Itu pun harus menemui Pak Johan, Ketua distrik 8,” Sadikin mencoba memecah sentimen Mbah Karto terhadapnya.

“Ya kalau dilihat, memang distrik 5 ini sudah ndak cukup buat kawanan kita. Apa lagi setelah keputusan bersama kemarin. Keluarga Jukilah yang mendapat prioritas sisa stok dedaunan Turi di sini.”

“Kenapa ke distrik 8? Apakah kamu belum pernah mencoba makan daun kacang?” tanya balik mbah Karto.

“Sepertinya sejak kecil aku tak pernah melihat bapak ibu makan dedaunan kacang.”

“Ya seharusnya mereka dapat menunjukkannya kepadamu. Sayangnya, gerlap cahaya para pemburu 5 malam lalu itu berhasil menghipnotis mereka. Aku turut prihatin. Pasalnya kejadian ini tak terhitung banyaknya. Sedangkan keluarga kita ini sebenernya sudah mendapat ilmu untuk menangkis daya hipnotis cahaya pemburu. Bukankah kau masih ingat?”

“Masih mbah. Tapi kan untuk menangkal hipnotis mereka, kita harus mengaktifkan 6000 titik buta di mata kita ini perlu waktu lama, selama 10.000 kepakan sayap. Makanya di kawanan kita ada aturan, jika antena kepala membengkok seketika maka segeralah untuk terbang menjauh. Itu sudah jadi tanda tepat kalau ada pemangasa dan bahaya.”

“Betul. Saya pikir Bapak ibumu tau hal itu. Namun rasanya hari naas itu bertepatan dengan hari-hari rakusmu. Aku berani bilang kalau kamu lah penyebab mereka menghilang, tertangkap para pemburu.”

“Ya saya mengerti mbah. Awalnya aku pikir ini tak mungki terjadi. Tapi setelah aku melihat Yatso dan Kinang, anak si Juki yang tersisa. Aku baru percaya, ternyata memang hari-hari rakus itu memang ada. Makanya saya setuju kalau akhirnya kawanan kita membuat kesepakatan buat keluarganya si Juki. Atau si Juki dan mbak Yem, istrinya itu bakal bernasib sama dengan Bapak Ibuku,” Sadikin mengingat dalam-dalam.

“Ya begitulah, bagi kawanan belalang seperti kita ini harus cerdas-cerdas memilih dan menyadari kebutuhan. Meskipun Umur kita tak lama. Tapi bertutur tentang bertahan hidup sudah menjadi tradisi dan ciri khas kawanan distrik 5 sini,” tutup mbah Karto.

“Mbah. Nah gimana tawaranku tadi?  Simbah mau tidak ikut saya ke distrik 8? Atau tetap mau menyusur daun kacang tadi, memangnya apa yang istimewa dari dauh Kacang?” Sadikin amat penasaran dengan rasa daun kacang yang diceritakan mbah Karto.

Mbah Karto menata mulutnya yang perat-perot.

“Emm… masih ada daun kelor di gigiku,” gumamnya.

“Oh, daun kacang tak jauh beda dengan daun turi sebenarnya. Dalam masalah rasa ataupun manfaat, sama sama mengenyangkan. Cuma daun kacang ini sebetulnya cukup untuk stok ke dua kawanan kita. Bahkan sampai aku mati pun atau anak-anakmu menetas, daun kacang sanggup mencukupinya,” simbah Karto menerangkan.

“Ya kalau melihat luasannya. Keteranganmu ini banyak benarnya mbah. Tapi kenapa sampai sekarang ini belum ada satupun keluarga belalang yang berbondong-bondong mengambil manfaat daun kacang. Apakah ada sesuatu? Padahal kalau sama dauh turi kita langsung memanfaatkannya.”

Pertanyaan Sadikin membuat mbah Karto mengingat kembali pengalamannya.

“Em… ah. Kemungkinan besar sebab mereka masih was-was,” tegas mbah Karto.

“Was-was kenapa mbah? Bukannya dedaunan kacang selalu nampak lembut dan menggiurkan untuk dimakan?” tanya Sadikin penuh curiga.

“Tikus Kin. Tikus! Pekik mbah Karto. Apa kamu belum pernah melihat ada sosok bungkuk berbulu lebat, bermoncong panjang dengan gigi runcing lagi panjang di ujungnya?”

“Memang, aku sudah pernah melihat mereka. Waktu itu ketika sore hari di pohon Turi nomer 7. Tapi mereka nampak pasif mbah. Mereka berdiam sangat lama. Bahkan dua tangkai turi sudah habis, mereka tidak bergerak sedikitpun,” terang Sadikin mempersoalkan Tikus.

“Asal kamu tahu, Tikus itu salah satu pemangsa!”

“Maksud simbah apa?” tanya Sadikin semakin curiga.

“Di balik dedaunan hijau itu sebenarnya juga ada kawanan jangkrik di sana. Mereka hampir sama dengan kita, bedanya mereka bisa membunyikan suara nyaring. Sedangkan kita tidak. Tapi yang jelas, kita ini sama-sama jadi incaran Tikus. Mereka tak beda dengan para pemburu.”

“Lalu apa yang ditakutkan, bukankah kita bisa meloncat dan terbang?” tanya Sadikin lagi.

“Iya, tapi loncatan mereka lebih baik dari pada kita. Apa lagi mereka juga pintar menyembunyikan diri. Kata Eyangmu dulu, 12.000 titik pandang kita ini tidak selalu dapat jadi senjata untuk mencegah serangan tikus! Aku pun pernah mengalaminya.”

“Apa? Simbah pernah berhadapan dengan Tikus?”

“Iya pernah. Dulu sekali. Waktu aku masih seumuran kamu.”

“Ceritakan padaku mbah,” pinta Sadikin yang sudah masuk dalam cerita mbah Karto.

“Dulu itu, akupun sama seperti kamu. Baru mengetahui ada daun kacang yang bisa dimakan. Karena aku ingin tahu, aku nekat terjun ke bawah seorang diri. Tidak sulit sebenarnya untuk menikmati daun kacang bukan? Kita hanya tinggal terjun dan hinggap langsung di atas makanan. Tetapi hati-hati, pandangan kita bisa tidak luas saat itu. Saat itu sepertinya mataku hanya melihat warna hijau dedaunan makanan.”

Mbah Karto meneruskan ceritanya “Dalam kenikmatan makanku, sebenarnya antena ini sempat membengkok 3 kali. Sekali kecil, kedua sedang, yang terakhir ini malah membengkok hebat!”

Sadikin memperhatikan.

“Reflek, sutang ku bersiap untuk membuat loncatan. Tetapi terhenti seketika. Aku segera menutup beberapa titik pandangan supaya mataku fokus. Tidak jauh di situ, aku mampu melihat sosok berkaki banyak dan berwarna merah kehitaman bergerak mendekatiku,” simbah Karto melanjutkan ceritanya.

“Seketika aku terbang, sampai-sampai dahan kacang terhuyun ke bawah. Sialnya ketika aku terbang, ada angin yang menerpaku, sayap-sayapku terlipat tak karuan. untung masih mampu kembali seperti semula. Dalam momentum singkat itu, arah terbangku tak sengaja berbalik menghadap tempat dimana aku makan tadi. Dan aku melihatnya!” penjelasan mbah Karto terpotong.

Sadikin yang sejak tadi mendengarkan cerita. Seperti dipermainkan dan mulai kesal di hatinya. “Melihat apa mbah? Mbok ya jangan nggantung begitu ceritanya!” pinta Sadikin dengan kesal tak tertahan.

“Hehehe. Mbok ya sabar, ini mulutku perat-perot lho. Dari tadi nerocos terus. Kamu si enak tinggal mendengarkan. Hehehehe.”

Mbah Karto kembali melanjutkan ceritanya.

“Aku melihat si kaki banyak itu tertangkap Tikus. Badannya sudah habis setengah. Kaki-kakinya bergerak tak beraturan, seperti berontak ingin melepaskan diri dari sayatan gigi Tikus.”

“Sutaaaaang Buntung!” umpat Sadikin mendengar peristiwa naas itu.

“Lah saking takutnya, aku langsung menambah daya kepak sayapku, terbang ke pohon jati dekat tiang beton. Keesokan harinya aku cerita pada Eyangmu. Aku malah di kira bodoh dan ceroboh. Eyangmu memberi tahu, kalo sebenarnya nyawaku hampir melayang karena dua sebab.”

“Dua sebab, maksudnya?” desak Sadikin yang mulai redam kejengkelan dalam hatinya.

“Iya dua sebab. Sebab pertama karena si kaki banyak itu. Yang kedua ya Tikus.”

“Memangnya kenapa dengan kaki banyak,” tanya Sadikin lebih dalam.

“Si kaki banyak itulah yang kita semua tau sebagai Kelabang. Mereka hidup secara naïf. Menyendiri dan bertahan sendiri. Mereka memiliki taring dan racun yang tidak kita miliki. Bahkan taring kita kalah cekatan dengan mereka. Terlebih kaki-kakinya yang banyak itu juga senjata ke tiganya. Kaki itu bisa meringkus mangsa sampai tak mendapat ruang untuk melawan atau berbalas senjata.”

Keterangan mbah Karto ini selain mencekam juga memantik pemikiran Sadikin yang segera membuat jawaban sementara.

“Apakah ini yang menjadi penyebab kurang populernya daun kacang sebagai makanan kita? Karena ada kelabang dan tikus?” Sadikin mencari jawaban.

“Iya, tapi bukan itu saja.”

“Ha, Apa? Memang ada hal lain mbah?” timpal Sadikin mencari tahu.

“Ya, ini juga dikarenakan sisi kelemahan kita yang menyebabkan tidak semua anggota kawanan dapat menikmati daun kacang. Itulah kenapa daun kacang hanya diketahui bagi segelintir kawanan kita saja. Bukankah daun kacang bukan termasuk dari lima pohon makanan?”

“Betul mbah, seumuranku sampai yang paling kecil dan rakus sekalipun hanya mengenal; Turi, Kelor, Jagung, ketela, dan Tayuman.”

“Ya, sudah kukatakan, jika tangkai daun kacang sangat lentur. Ini bisa membuat kita lemah dalam bertolak untuk terbang. Selain itu, tingginya yang sangat dekat dengan dunia kelabang mapun tikus, adalah kerugian bagi kita dan keuntungan bagi kelabang dan tikus. Alas tanah yang kokoh memperkuat potensi sergapan mereka.” terang mbah Karto yang mulai tak tahan dengan dingin angin malam.

“Jadi informasi tentang daun kacang ini sebenarnya rahasia mbah?” tanya Sadikin lagi.

“Ya, dan umumnya hanya diketahui oleh segolongan belalang remaja sepertimu. Tapi kebanyakan dari mereka malah menciut nyalinya hehehe.”

“Sombong sekali mbah ini, mentang-mentang pernah selamat.”

“Hahahahaha,” gelak tawa mbah Karto pecah. Kesombongannya tertangkap Sadikin dalam balasan sinisnya.

Namun tawa itu seketika dihentikan oleh Sadikin.

“Mbah, antena kita bengkok!” pekik Sadikin.

Bleeeeerrrrr…. Mereka seketika bertolak terbang.

Mereka pun berpisah tanpa saling berpamitan.

***

Penulis: Ibnu Nurhuda Kasendar 5 Articles
Pegiat Kajian Pedesaan dan Komunitas Pertanian. Penulis bisa dihubungi lewat email: Ibnunurhudakasendar@gmail.com

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.