Desa Pondok Rejo terletak di Kecamatan Bulu, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Menurut penuturan Mbah Sariban seorang sesepuh di desa, desa ini dahulu bernama Pondok Londo atau disebut (Rumah Belanda). Karena pada waktu itu ada orang Belanda yang membuat rumah dan hidup lama disini, orang Belanda itu juga mempunyai rumah yang besar, rumah itu disebut juga dengan rumah joglo. Kemudian nama Pondok Londo diubah menjadi Pondok Rejo. Menurut para sesepuh desa, yang merubah nama itu adalah Bapak Haji Ngabdini. Beliau yang mengganti nama desa Pondok Londo menjadi Pondok Rejo. Sayang sekali saya tidak bisa menemuinya karena beliau sudah wafat.
Warga desa Pondok Rejo sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani. Mungkin hal itulah yang menyebabkan warga sangat menghormati alam dan melaksanakan tradisi leluhur. Kegiatan sehari-hari mereka adalah pergi ke sawah dari pagi dan pulang rumah sore hari. Kehidupan masyarakat disana sederhana. Mereka hanya bergantung dari hasil pertanian.
Masyarakat Pondok Rejo rata-rata 70% rumahnya adalah joglo. Pada tahun 2012 ketika diadakan lomba rumah Joglo se-Jawa Tengah, desa Pondok Rejo meraih juara 1. Dari situlah Provinsi Jawa Tengah berinisiatif membuatkan rumah joglo yang besar dan megah untuk kantor kepala Desa sebagai cinderamata atas berhasilnya Desa Pondok Rejo menjuarai lomba. Menurut warga masyarakat, rumah joglo yang di bangunkan Pemerintah Jawa Tengah itu senilai 1,5 milyar. mendapatkan juara 1 tingkat provinsi adalah prestasi yang membanggakan bagi warga desa, tutur mbah Sariban.
Ketika saya bertanya “Mbah apa perbedaan Rumah joglo dengan rumah biasa, dan apa istimewanya rumah joglo? Mbah Sariban kemudian mengatakan bahwa “rumah joglo adalah rumah yang bagian atas/ kepalanya tinggi ke atas. Ciri khasnya yaitu tiangnya/kayu rumah itu panjangnya sekitar 25 trip/cm di tumpuk setinggi mungkin atau semampunya dengan kayu jati yang sudah berumur puluhan tahun. Warga masyarakat desa pondok rejo walaupun kehidupannya sederhana tetapi mereka mempunyai prinsip hidup kalau mereka belum mempunyai rumah joglo,maka mereka akan selalu berusaha untuk membangn rumah joglo. Mempunyai Rumah joglo bagi warga desa adalah suatu kebanggaan, karena yang bisa membangun rumah joglo di anggap sebagai orang kaya. Karena cara membuat rumah joglo itu cukup mahal, sehingga orang yang mempunyai rumah jogo adalah orang kaya. cara membangun rumah joglo itu pada hari yang di tentukan oleh sesepuh desa dari turun-temurun yaitu pada hari kamis legi/ahad kliwon”.
Acara sedekah bumi di desa Pondok Rejo berlangsung secara turun temurun sejak leluhur zaman dulu, hingga sekarang. Menurut pendapat Mbah Sariban, sedekah bumi adalah acara syukuran atau ungkapan rasa syukur masyarakat kepada sang pencipta karena panen padi yang melimpah. Upacara ini adalah wujud rasa syukur warga desa kepada alam dan sang pencipta agar lebih dimudahkan rejekinya, panjang umur serta selamat di dunia. Dalam acara tersebut warga desa membuat makanan khas jawa seperti dumbek, tape, gemblong, dll. Setiap makanan yang akan disajikan dalam perayaan sedekah bumi, harus dibungkus dengan daun pisang untuk dikirimkan ke gubuk sebagai sajian makanan untuk suami yang sedang bekerja maupun tetangga yang membantu jalannya panen di sawah.
Pada saat adat sedekah bumi, semua warga diwajibkan membuat nasi kemudian di bungkus dengan ambeng, setelah itu seluruh warga desa berkumpul di sendang untuk berdoa kepada sang pencipta yang telah memberikan kelimpahan rejeki dan suksesnya panen yang diperoleh petani. Sendang adalah sumur yang diapit oleh dua pohon yang besar/ kayu besar yg kuat. Pada zaman dahulu Sendang digunakan sebagai tempat beribadah sholat, sebab dahulu kala belum ada masjid untuk menampung warga sholat berjamaah.
Adat sedekah bumi sampai saat ini masih dilaksanankan oleh warga masyarakat, karena menurut warga desa, sedekah bumi adalah acara adat yang harus dilestarikan, karena hal itu sudah berlangsung secara turun-temurun. Mbah Sariban mengungkapkan kendala acara Sedekah Bumi adalah lingkungan sendang yang sering becek ketika hujan. Hal itu menjadikan pementasan seni Ketoprak dialihkan ke rumah pribadi warga. Tujuan pementasan seni ketoprak ini adalah meningkatkan solidaritas dan silaturahmi antar anggota masyarakat.
Saya melanjutkan pertanyaan saya kepada mbah Sariban “Mengapa acara mengumpulkan warga itu harus menggunakan Ketoprak?”Mbah Sariban langsung menimpali,“Supaya semua warga bisa berkumpul karena ada acara kesenian ketoprak. Sehingga kawan satu desa biar bisa bertemu. Karena ketoprak sebagai pengganti undangan. Melalui acara kesenian diharapkan persatuan antar warga masyarakat lebih erat dan berdoa agar di desa tidak ada bencana / tolak balak”.
Acara sedekah bumi ini biasanya dilaksanakan setahun sekali yaitu sesudah panen padi, biasanya dilaksanakan pada hari rabu pon. Pemilihan hari rabu pon ini sesuai dengan tradisi turun-temurun dari leluhur desa. Tetapi sebelum melaksanankan tradisi sedekah bumi warga desa sebelumnya harus melakukan beberapa prosesi acara.
Pertama, upacara wiwit panen atau yang di sebut dengan upacara dewi sri, tujuannya untuk menghormati padi yang mau di panen. Tata caranya yaitu warga masyarakat menyiapkan makanan telur, sambal, terong, gereh, kacang dan semuanya untuk selametan. Orang yang mau memanen padi itu terlebih dahulu menyiapkan orang-orang terutama perempuan yang mau dipekerjakan untuk menyiapkan ani-ani/alat memotong padi tradisional, setelah itu padi ditali menjadi lima dalam satu ikatan. Empat padi untuk yang mempunyai sawah dan satu padi untuk yang sedang bekerja, perbandingannya adalah 4 banding 1. Pada waktu Pelaksanaan upacara ada pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang memikul padi dari sawah, setelah itu disimpan dalam gubuk. Gubuk, menurut orang pondok rejo merupakan tempat menimbun padi/lumbung padi. Setelah itu padi dalam gubuk dibagi lagi 4 banding 1 antara penggarap dan pemilik lahan. Setelah selesai memikul padi, warga masyarakat dan pemilik sawah serta keluarganya makan besar bersama-sama. Kegiatan selanjutnya yaitu membuang daun padi yang sudah diambil bijinya, setelah daunnya kering ditali setelah itu ditumpuk dalam lumbung padi yang besar. Lumbung ini fungsinya adalah ketika masyarakat membutuhkan makanan untuk ternak sapi, daun padi itu bisa diambil lagi untuk makanan ternak para petani. Apabila lumbung itu tidak ada yang membutuhkan, maka lumbung itu akan dibiarkan sampai para petani membutuhkannya untuk makanan ternaknya. Upacara ini ditujukan untuk meminta perlindungan kepada “gusti kang aryo jagat” supaya tanamannya mendapatkan panen yang melimpah dan tidak diganggu oleh setan. Setan ini menurut orang Pondok Rejo adalah saleh saluman, yaitu setan yang menggangu tanaman padi warga desa. Rata-rata yang mengadakan upacara dewi sri adalah orang-orang kaya yang biasanya mempunyai sawah banyak dengan hasil panen melimpah. Setelah acara upacara dewi sri selesai, disambung dengan acara, ngalungi sapi.
Kedua, Upacara ngalungi sapi adalah acara warga masyarakat yang mempunyai sapi sebagai alat produksi untuk mengerjakan lahan pertanian. Tata-caranya adalah membuat 44 kupat untuk meminta maaf kepada sang pencipta. Karena menurut warga hewan itu tidak boleh disakiti, karena waktu menggarap sawah pasti warga selalu mencambuk sapi, agar sapi cepat bekerja menggarap sawah. Sehingga warga meminta maaf kepada sang pencipta karena sudah menyakiti ternaknya dengan membuat 44 kupat yang menurut orang jawa, jumlah 44 itu artinya cepat, sehingga agar doanya cepat dikabulkan kepada sang pencipta. Acara ini harus dilaksanakan dengan dua kupatan dan dua ngalungi, maksudnya adalah tiap panen dua kali warga harus membuat acara ngalungi sapi juga dua kali. Setelah panen padi warga merayakannya di sendang. Teknis pelaksanaan acara ngalungi sapi yaitu dengan menggunakan 44 kupat diusapkan ke badan sapi sampai 3 kali. Setelah panen, sapi warga diajak jalan-jalan ke Pasar Kerikilan kecamatan Sumber, Kabupaten Rembang. Tujuannya agar sapi tidak tersiksa, sapi juga harus merasakan kebahagiaan seperti manusia. Manfaatnya kegiatan ini menurut Mbah Sariban, yaitu sangat membahagiakan warga dan ternak mereka. Dalam prinsip hidup warga desa Pondok Rejo, bila orang mempunyai banyak ternak berarti dianggap sebagai orang kaya. Karena hewan ternak memberikan rejeki yang banyak kepada pemiliknya, kalau orang yang tidak mempunyai sapi berarti dianggap orang biasa.
Pertanyaan sayapun berlanjut“apa kendala terkait acara ngalungi sapi ini mbah?”. “Hambatan acara ngalungi sapi adalah janur, Karena jaman sekarang sulit sekali menemukan janur, sehingga warga masyarakat harus membeli janur dengan harga yang mahal di pasar. Setelah acara ngalungi sapi barulah acara adat sedekah bumi” Tutur Mbah Sariban
Ketiga, Acara Inti Sedekah Bumi. Acara sedekah bumi biasanya terjadi setelah 3 hari panen padi. Kemudian moden/menteri desa, memimpin doa untuk mendoakan desa agar terhindar dari mara bahaya dan bersyukur karena panennya sukses. Kegiatan setelah itu adalah iuran satu desa untuk menanggap hiburan kesenian ketoprak 1 hari 1 malam diselingi kegiatan khajatan kupatan di sendang membawa serta ternak warga seperti sapi digiring berbondong-bondong satu desa ke sendang. Di tempat itu semua warga berdoa untuk keselamatan desa serta syukuran bersama.
Dari observasi dan pengamatan kecil-kecilan ini, saya menemukan bahwa desa Pondok Rejo masyarakatnya sangat menghormati adat dan tradisi leluhur. Karena warga selalu melestarikan kebudayaan dipadukan dengan agama Islam. Menurut mereka sedekah bumi dan ajaran Islam jangan dipersoalkan, karena acara sedekah bumi setiap pelaksanaannya itu selalu membuat sesaji di tempat-tempat yang menurut warga sakral hanya untuk melestarikan kebudayaan leluluhur, bukan sebagai pemujaan kepada mahkluk gaib. Warga masyarakat tidak pernah keberataan dengan pelaksanaan sedekah bumi, karena menurut mereka sedekah bumi merupakan suatu acara wajib yang harus dirayakan, sehingga warga mau tidak mau harus bekerja keras untuk mempunyai biaya sendiri untuk merayakannya. Kearifan budaya yang begitu luhur ternyata luput dari penglihatan kita, ilmu pengetahuan modern memang penting namun budaya lokal juga harus dipahami dan dilihat sebagai suatu ilmu pengetahuan lokal yang juga bermanfaat untuk dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
** Tulisan ini merupakan salah satu tugas kuliah penulis semasa masih menjadi mahasiswa aktif.
Leave a Reply