Fenomena Manusia Gerobak Di Yogyakarta: Sebuah Tinjauan Konsep dan Kasus

Dilansir dari situs Merdeka.com (29 Juni 2016) bahwa menjelang momen hari raya Idul Fitri, para  warga dari  berbagai  daerah  untuk  sekedar  mencari  pundi-pundi  rupiah dari  para dermawan Ibu Kota.   Dengan dasar Peraturan Daerah no. 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, aparat pemerintah bertindak menertibkan para manusia gerobak untuk kemudian dipulangkan ke daerah asal mereka.

Manusia Gerobak termasuk dalam kategori Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial atau disingkat PMKS. Selain manusia gerobak, pengemis dan gelandangan termasuk juga ke dalamnya. Beberapa kasus seperti yang terjadi di Denpasar Bali (dilansir dari TribunBali.com – tanggal 21 April 2016), para gelandangan dan pengemis (PMKS) yang dipulangkan ternyata balik lagi  ke  perkotaan  untuk  menjadi  sediakala,  mereka  berasal  dari  Bondowoso  (7  orang), Situbondo (2 orang) dan 26 orang dari Kabupaten Karangasem. Di Banjarmasin ada pula yang terpaksa  berlama  di  kota  tersebut  karena  tidak  kunjung  mendapat  pekerjaan (antarakalsel.com). Minimnya skill untuk mendapatkan fasilitas ekonomi dalam berproduksi adalah  masalah  yang  klise  tetapi dibiarkan  saja!  Beberapa  pihak  menilai  bahwa  fenomena semacam ini dapat berpeluang menjadi modus penipuan berkedok ‘kesengsaraan’. Tapi benarkah begitu?

Apabila dilihat dari skup yang lebih luas, permasalahan ini timbul akibat keberadaan kota dan dampak dari ekspansi kota terhadap daerah-daerah pinggiran. Ini merupakan salah satu contoh dari fenomena urbanisasi yang timpang dalam pemerataan ekonomi. Dan sebagaimana dikabarkan di berbagai buku pelajaran di sekolah-sekolah, bahwa fenomena kaum urban tersebut seringkali tidak dianggap sebagai permasalahan yang serius sehingga kalangan pelajar tidak terlatih untuk memiliki mental kritis dalam memandang fenomena yang serius ini. Alhasil. Gepeng dan manusia gerobak hanya sekedar menjadi fenomena yang secara konsep lagi struktural pula merupakan fenomena penyimpangan lagi penyakit sosial! Maka perlukah kita melihat manusia gerobak dari sisi mereka sebagai manusia?

Fenomena manusia gerobak sudah menjadi hal yang biasa di kota besar semacam Jakarta. Tetapi mungkin tidak jika kita melihat di sekeliling kita. Terkhusus di Yogyakarta, masih banyak fenomena manusia gerobak terutama disekitar kampus-kampus besar. Secara sekilas kita bisa melihat kondisi kehidupan mereka. Gerobak selain menjadi alat utama produksi juga berfungsi sebagai   ‘rumah’ bagi mereka untuk tetap bisa melanjutkan hidup. Di kota besar semacam Yogyakarta ini, jelas setiap orang harus memiliki identitas golongan dan hidup berkelompok sesuai dengan keahlian yang dimiliki. Lantas bagaimana dengan para Gepeng dan manusia gerobak? Tentu kita bisa tebak, bahwa mereka hidup di kota hanya mengandalkan relasi yang sangat terbatas. Motivasi mereka tentu untuk meningkatkan perekonomian mereka. Walaupun  baru  sebatas  ekonomi keluarga, setidaknya  para  manusia  gerobak  memiliki alat produksi paling minimal yakni gerobak, dan pengetahuan mengenai sampah yang memiliki nilai ekonomi.

Secara sekilas, kita bisa katakan bahwa mereka (manusia gerobak) seperti pemulung kebanyakan. Bedanya, manusia gerobak hidup bersama keluarganya yang juga tidur di gerobak mereka. Gerobak mereka hanya dapat ditempati maksimal 3 orang (ayah, ibu, dan satu orang anak. Dengan beralaskan kardus bekas dan kain jarit seadanya untuk melindungi tubuh mereka dari dinginnya malam, mereka menata hidup sehari kedepan. Dan entah sehari selanjutnya. Teringat  fenomena  petani  pedesaan  yang  masih tradisional.  Subsistensi  serta  keterbatasan kekuatan seiring lenjutnya usia secara perlahan yang dapat mengurangi produktivitas. Manusia gerobak sebagai manusia jelas memiliki hak untuk mendapatkan jaminan penghidupan hari esok. Siapakah yang memiliki peran strategis dalam mewujudkan cita hak mereka? Ya. Kita tidak  akan  terlalu  berkutat  pada  mekanisme  peraturan  pemerintah.  Tetapi  melihat  lokasi mereka yang berada di sekitar kampus-kampus yang tergolong ‘terpandang’ di kota Yogyakarta, peran mahasiswa untuk turut mengatasi permasalahan sosial disekitar mereka sangat dibutuhkan.

Lantas apa yang dapat kita lakukan? Secara pribadi saya miliki asumsi dasar, bahwa tidak mungkin kita bergerak tanpa ada tinjauan yang bersifat matang serta dapat memiliki potensi untuk menghubungkan mereka (Manusia Gerobak) dengan hati nurani para elit. Maka perlu ada tinjauan melalui observasi lapangan, dan pengumpulan fakta lapangan terkait kondisi sebenarnya kehidupan para manusia gerobak. Bisa berkaitan dengan asal usul mereka, pendapatan mereka, kondisi keluarga di daerah asal mereka, apakah mereka masih memiliki keluarga di daerah asal atau memang mereka terpaksa untuk dating ke kota untuk mengadu nasib yang tak tentu. Fokus lingkungan atau cakupan tinjauan lapangan ini cukup strategis dan dekat bagi para akademisi. Sehingga diharapkan, program karya ilmiah atau program pembangunan masyarakat dapat dialihkan kepada mereka yang tinggal berpindah sedangkan sangat dekat dengan keseharian kita di lingkungan akademisi. Tujuannya adalah, dari data yang didapat,  kita  akan  memiliki  gambaran  tentang  kebutuhan  minimal,  motif,  kondisi  sosial ekonomi, pandangan mereka mengenai pendidikan anak serta data statistik tentang jumlah populasi yang ada. Sehingga dari data tersebut, setidaknya kita memiliki simpati serta empati terhadap mereka untuk bisa kembali ke daerah asal dengan kondisi yang sedikit berbeda jauh.

Sebagai manusia, sudah menjadi hal yang wajib untuk juga memperhatikan kehidupan manusia lain. Jika UUD ’45 pasal 34 ayat 1 selama ini kita anggap masih sangat jauh, maka inilah saatnya bagi kita untuk berkontribusi mewujudkan langkah revolusi bangsa ini! Pendekatan yang dilakukan oleh golongan akademisi akan lebih berpotensi untuk dipercaya oleh mereka! Dari pada  dilakukan  oleh  para aparat pemerintahan.  Akan tetapi perlu di perhatikan betul bahwa  tujuan  kita  adalah  meningkatkan  taraf  ekonomi  serta  mensosialisasikan  strategi ekonomi yang sangat mungkin mereka capai untuk dapat melanjutkan kehidupan di daerah asal mereka dan keterjangkauan pendidikan untuk anak mereka.

Tulisan ini hanyalah sedikit sahaja, terbatas dan masih terkesan subjektif. Maka dari itu kedepannya mungkin bisa dipadukan dengan kemampuan dan basic teman-teman sekalian. Kekurangan  dalam  menampilkan  data  sementara  terkait  jumlah  populasi manusia  gerobak, Perda dan PP di Yogyakarta terkait keberadaan mereka, kontribusi media dalam mengkonstruksi kehidupan mereka pada manusia gerobak, atau apapun itu. Sehingga muncul gagasan konseptual yang mapan tentang suatu cita mengenai kesejahteraan dan humanism.

Harapannya, tulisan ini dapat menggugah semangat teman-teman Colombo Studies (yang akan melangkah kembali) wujud langkah mencari cita bangsa Indonesia. Dari sekitar kita, dari keluarga kita, dari lingkungan dimana kita berada. Tetaplah jaga mata lahir dan batin kita terbelalak secara sadar. Terus dan terus berlatih mengolah rasa terhadap sesama, mengolah skill dan kemampuan supaya siap dan matang dijadikan tolakan perubahan dimanapun kita berada. Jika baru sebatas analisis sosial yang bisa kita tawarkan kepada bangsa, maka tawarkanlah.  Jika sudah saatnya kita memiliki modal yang cukup untuk perubahan yang lebih nyata, maka rawatlah semangat perjuangan. Merdeka !

Penulis: Ibnu Nurhuda Kasendar 5 Articles
Pegiat Kajian Pedesaan dan Komunitas Pertanian. Penulis bisa dihubungi lewat email: Ibnunurhudakasendar@gmail.com

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.