“Hujan, umpatan, dan aroma teh hijau menjadi saksi betapa aku begitu pengecut!”
Mendung dan sedikit gerimis menyelimuti Distrik Deluxe. Suara guntur bergemuruh memenuhi rongga telinga, membuat suasana distrik begitu sendu.Genangan air memantulkan cahaya warna-warni dari papan iklan yang terpampang di pinggir jalan. Trotoar kini dipenuhi orang-orang dengan payung, mereka berjalan terburu-buru menuju tempat berteduh.Tidak terkecuali aku.
Sekarang masih pukul 7 malam, kafe-kafe masih banyak yang belum tutup, kuputuskan untuk singgah di salah satu kafe untuk mencari kopi dan kudapan hangat. Aku berhenti di kafe langgananku dengan ciri khas arsitektur Jawa, lengkap dengan musik-musik tembang yang sering diputar. Ku keluarkan sebuah novel yang baru kubaca beberapa halaman untuk sembari menunggu pesanan. Kubuka lembaran-lembaran novel yang sudah berhari-hari aku campakan karena urusan pekerjaan.
Sudah 15 menit aku menunggu pesanan, tiba-tiba tembang dengan nada tinggi memekakan pendengaran. Aku belum pernah mendengar langgam ini, suara si penyanyi begitu tinggi dengan nada yang menyayat. Membuatku tidak konsen dengan kata-kata dalam novel, aku terlarut dalam kata-kata dalam langgam. Tak seperti Kidung rumeksa Ing wengi yang sering dinyanyikan kakekku ketika aku kecil yang begitu menentramkan. Tembang yang tak aku tahu judulnya ini membuat hatiku takut. Aku menjadi teringat, bahwa kematian bisa datang kapan saja dan dimana saja, entah siap atau tidak.
Ketika masih kecil, aku sering menonton pertunjukan wayang kulit. Kata-kata dalam pewayangan yang sampai sekarang membekas dalam benakku adalah kata-kata Bagong, tokoh punakawan.
“Mati ada tiga jenis: mati nista, mati madya, mati utama,” begitu yang ia katakan.
Memang yang mengatakan jenis-jenis kematian bukanlah Bagong, akan tetapi dalang pertunjukan. Aku lupa siapa dalang pertunjukan wayang itu, yang kuingat hanya Bagong.
Aku takut kematian tiba-tiba datang kepadaku, apalagi aku nanti mati nista. Kata orang-orang, mati nista membuat ruh manusia menjadi gentayangan. Demi apapun aku tak mau mati dalam keadaan seperti itu!*
Tak lama, seorang pramusaji kafe mendatangiku. Ia wanita beumur dua puluhan tahun, rambutnya hitam dengan kuncir ekor kuda dan poni yang indah, wajahnya bulat dan matanya begitu tajam. Ia tersenyum kecil padaku.
“Satu gelas kopi gayo dan satu piring kue coklat? Atas nama Badranaya?”
“Benar mbak.”
Ketika ia semakin dekat denganku, aku mencium aroma teh hijau darinya. Aku benci dengan orang yang memakai parfum aroma teh hijau, akan tetapi malam ini entah kenapa aku suka sekali dengan aroma itu. Mata kami berpandangan dalam beberapa detik, waktu terasa berhenti, aku merasa 1 jam mematung memandangi dirinya. Setelah ia berlalu waktu pun kembali normal.
*
Hujan masih saja mengguyur Distrik Deluxe, aku masih bertahan di emperan toko batik di Jalan Abimanyu. Ditengah hujan yang masih deras, kulihat hiruk pikuk keramaian Jalan Abimanyu, maklum saja ini belum tengah malam. Disamping kiri ku nampak ada pasangan muda yang juga sedang berteduh sementara, kananku sebaliknya orang tua yang dari tadi duduk sendirian dengan rokok kreteknya.
Bukannya mereda, justru hujan malam itu malah semakin deras. Aku yang telah lama menunggu merasa cukup kesal. Ingin rasanya segera pulang dan merebahkan tubuh diatas ranjang, mengusir segala kelelahan ku karena bekerja sampai petang.
Lama kelamaan makin ramai orang yang berteduh di emperan toko dan hanya menyisakan sedikit tempat dimana aku duduk menunggu hujan.
Sesekali di pikiranku muncul umpatan-umpatan kepada hujan yang tak kunjung berhenti. Tapi sesaat setelah itu, aku merasa bersalah. Masa iya, aku mengumpat hujan. Apalagi penciptanya. Yang jelas aku tak bisa melawan kehendak si pembuat hujan, karena aku terikat sebuah hukum yang ada di dunia. Jadi terserah si pembuat hujan, akan menurunkan hujan dimanapun Dia suka.
Aku teringat peristiwa beberapa hari lalu, aku begitu getol mengumpat salah seorang pendukung partai politik yang mengancam tidak akan menyembah Tuhan. Buset! Saat itu aku dan beberapa temanku mengatai dia goblok!
Sekarang aku malah mengumpat kepada hujan yang membawa berkah bahkan ada niatan mengumpat kepada pencipta hujan. Berarti aku juga goblok, terlebih aku juga tidak membawa jas hujan!
Sebagai manusia aku seringkali mudah melemparkan kata goblok, anjing, tolol dan umpatan lain kepada manusia. Lupa kalau diri sendiri juga manusia yang seringkali salah.
*
Seorang wanita dengan sepeda motornya datang kearah ku. Ia ikut berteduh di emperan toko tempatku berteduh. Kebetulan emperan toko yang kupakai berteduh cukup luas dan terang.
Ia menanggalkan jas hujannya, ia mengenakan kaos panjang pink dengan celana kulit hitam. Sayup-sayup tercium aroma teh hijau. Aromanya lama kelamaan menguat, menghantam indra pembau dan memunculkan sosok pelayan kafe di benakku. Benar saja ia pelayan kafe yang aku jumpai malam itu.
Tiba-tiba badanku entah mengapa terasa panas, nafasku sedikit berat. Nampak gadis beraroma teh hijau tadi menyilangkan tangannya, ia mungkin merasa kedinginan.
Aku terlalu ragu untuk menyapanya, aku terlalu pengecut untuk menyapa dan mengajak bicara seorang gadis. Hal ini berkebalikan dengan pekerjaanku sebagai penagih hutang yang selalu gahar tiap kali berhadapan dengan nasabah yang telat membayar hutang.
Aku terpaku di lantai toko yang dingin, aku tak mampu menyapanya! Si gadis teh hijau hanya berdiri tegak memandang hujan sambil sesekali memandang kearahku. Mungkin dia terlalu takut duduk di emperan toko. Mungkin ia takut kepadaku!
Sampai hujan reda, gadis aroma teh hijau masih memandangiku. Sebelum pulang, ia tersenyum dengan wajahnya yang berseri tepat di depan mataku.
Aroma teh hijau, menari-nari. Ia terus-terusan menusuk indera penciumanku. Membuat jantungku berdebar, aku khawatir aku mengalami serangan jantung dan mati di usia dini. tapi, aku ingin mendekati dia. Ah sialan, Asu!
***
Leave a Reply