Hakikat Pendidikan: Apakah Pendidikan Mengalami Degdradasi dalam Hakikatnya?

Kenyataan saat ini membawa kita menelisik lebih jauh ke arah yang lebih dalam akan hakikat pendidikan yang secara sadar atau tidak kita lakukan dari mulai usia 5 – 20an ini. Banyak orang-orang diluar sana yang mengkritik tentang landasan pendidikan dan esensi pendidikan yang mulai mengalami disorientasi. Dalam pandangan essensialisme, pendidikan memiliki tugas untuk mengajarkan ilmu pengetahuan dasar yang berguna untuk diri seorang siswa. Pelajaran dasar ini merupakan pelajaran pokok yang sesuai dengan perkembangan zaman yang ada. Sebelum masuk ke landasan pendidikan, sebaiknya kita menelisik ulang seberapa penting pendidikan untuk manusia. Dalam beberapa literatur, pendidikan merupakan sub penting dalam kehidupan dan bahkan merupakan salah satu sentral kehidupan seorang manusia.

Pendidikan selayaknya berjalan sepanjang hayat dan dimaknai prosesnya oleh masing-masing individu sebagai proses. Pendidikan sendiri terbagi menjadi pendidikan formal dan non formal, seperti yang telah kita ketahui produk pendidikan formal yang berkembang adalah sekolah dan merupakan sektor pendidikan yang (masih) dianggap penting oleh kebanyakan manusia di belahan bumi ini. Pasalnya pendidikan formal memang memiliki sistem dan standarisasi yang jelas dalam praktiknya, searah dengan aliran rekonstruksionisme yang beranggapan bahwa pendidikan formal dapat dijadikan pokok untuk merekonstruksi tatanan masyarakat.

Namun pertanyaannya adalah apakah pendidikan yang sifatnya sepanjang hayat tersebut harus melalui pendidikan formal yang kita semua tahu perlu biaya yang tidak sedikit? Pendidikan juga dalam konteksnya menawarkan pendidikan nonformal yang secara sederhana dapat kita katakan terjadi pada sub kehidupan lain selain dalam pendidikan formal. Dalam aliran behaviorisme pendidikan merupakan proses rekayasa perilaku, dan ini tergantung pada lingkungan. Artinya lingkungan entah itu ada di sekolah atau di luar sekolah menjadi bagian penting pada proses rekayasa perilaku.

Kemudian aliran humanisme berpendapat bahwa siswa seharusnya diberikan kebebasan dalam berfikir tanpa ada kekangan-kekangan yang menimbulkan ketakutan secara mental kepada siswa. Seperti yang kita tahu bahwa aliran humanis ini menginginkan apa yang disebut “jail mentality” yang kemudian direalisasikan dalam bentuk institusi bebas yang merujuk pada kelas terbuka. Dalam hakikatnya, banyak yang mengatakan bahwa pendidikan sepanjang hayat berlangsung dari manusia berusia 0 sampai ia meninggalkan dunia ini (meninggal dunia/mati). Proses yang dimaknai dalam kehidupan juga merupakan bagian dari pendidikan sepanjang hayat, dimana hasil dari proses tersebut adalah sebuah kemampuan yang dimiliki manusia untuk menghadapi segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya sekarang atau suatu saat nanti (proses sosialisasi).

    Kemudian menelisik lebih jauh tentang pendidikan, landasan pendidikan merupakan cikal-bakal dari sistem yang akan terbuat dan terlaksana dalam dunia pendidikan. Landasan merupakan hal mendasar yang digunakan sebagai penopang ataupun pondasi dari sebuah konsep/teori yang terkonstruk. Landasan pendidikan memiliki beberapa aspek yang harus diperhatikan, yang pertama adalah landasan filosofis. Landasan filosofis ini yang mengupas pendidikan hingga lapisan terdalam dan hakikat sesungguhnya pendidikan.

Landasan sosiologis, kultural, historis, psikologis, IPTEKS, politik, ekonomi dan yuridis juga menjadi pelengkap landasan pendidikan. Landasan pendidikan ini merupakan konsepsi penting dalam melaksanakan atau terlaksananya pendidikan pada masyarakat, karena sebuah landasan menjadi rotor penggerak dan kontroling dari pendidikan itu sendiri. Jika kita melihat kearah realita pendidikan yang saat ini berlangsung di bumi Indonesia ini, pasti kita akan langsung berbicara tentang mahalnya biaya pendidikan yang ada dan kurang baiknya kualitas pendidikan yang ada. Dunia pendidikan formal yang saat ini sangat gencar dicanangkan oleh pemerintah terhadap generasi muda di Indonesia ternyata memiliki kecacatan dalam hakikatnya. Bagaimana tidak, pendidikan selayaknya memanusiakan manusia seperti yang dikatakan Ki Hajar Dewantara, melepaskan manusia dari belenggu-belenggu ketidak tahuan sehingga membuat manusia menjadi tahu. Bukan malah dijadikan sub-orientasi pelestarian kelas bahkan hegemoni birokrat.

Dalam prakteknya pendidikan di negara tercinta ini selalu saja mencetak bukan malah mengembangkan pemikiran manusia. Yang saya maksud mencetak disini adalah pelajar diberikan sesuatu (dalam hal ini saya menyebutnya doktrin) yang membuat pelajar menjadi sama, padahal secara psikologis kondisi individu memiliki ciri khas atau perbedaan dan keistimewaan masing-masing. Ini sama saja pelaksanaan pendidikan mengkhianati landasan psikologis dari pendidikan itu sendiri. Bukan hanya pada bagian psikologis saja, namun jika kita mencoba memerhatikan interaksi yang terjadi di sekolah antara guru dan murid, pasti kalian akan menyadari betapa guru lebih nyaman berinteraksi dengan pelajar yang notabene berada pada tingkat kecerdasan menengah ke atas dibanding yang menengah ke bawah, Bourdieu mengatakan betapa guru dalam mengajar lebih memilih berhadapan dengan murid yang mudah paham dengan apa yang disampaikannya dari pada dengan murid yang agak lama atau sulit untuk paham apa yang ia sampaikan. Ini merupakan mental-mental borjuis dimana menurut Marx kalangan borjuis akan lebih memilih bergaul dengan kalangan bojuis lainnya ketimbang ia bergaul dengan kalangan proletar, karena dari sisi pragmatis bergaul dengan kalangan borjuis akan lebih menguntungkan bagi pelanggengan kelasnya. Sisi mana yang harus disebut manusiawi? Apalagi jika kita mendapati seorang guru yang pilih kasih ketika berhadapan dengan murid dari anak seorang pejabat pemerintahan daerah ataupun anak teman sejawatnya.

Mental-mental penjilat telah berkembang dikalangan “pahlawan tanpa tanda jasa” kita, mungkin alasan lain karena tidak enak/pekewuh, namun bukan berarti mengesampingkan murid-murid yang memiliki potensi lebih dan bukan anak dari orang penting di dunia ini. Bagaimana kalian para “pahlawan tanpa tanda jasa” akan bertanggung jawab terhadap perkembangan negara Indonesia Raya yang membutuhkan generasi muda yang cemerlang. Kemudian kembali lagi kearah pembentukan tadi, para pelajar yang memasuki lembaga pendidikan formal ini seakan tidak memiliki kebebasan dalam mengembangkan pola pikirnya. Penyama rataan tadi bukan hanya terjadi pada sub seragam saja, tetapi juga masuk kepada bagaimana cara berpikir seorang siswa.

Mungkin saat ini banyak metode yang dikembangkan agar meminimalisir kejadian tersebut, namun ketika memang sistem mengharuskan seorang guru menjadi penakluk kelas pasti akan terjadi dominasi kelas walaupun hanya sedikit. Dari sistem ujian yang diselenggarakan, para pelajar diharuskan menjawab sesuatu dengan tepat dan benar. Seharusnya ujian hanya dijadikan acuan bahan evaluasi dalam pengajaran bukan sebagai alat justifikasi guru kepada murid. Apa gunanya guru jika tidak mampu merangkul siswa yang dalam hal akademik masih lemah?.

Lucunya, pengetahuan tentang psikologi peserta didik harusnya telah diketahui oleh guru, namun pada nyatanya ketika ada siswa yang tidak bisa menjawab soal matematika dengan benar maka terjapat justifikasi tersendiri dari guru tersebut kepada si siswa. Labeling ini sering terjadi ternyata antara guru dan murid, kemudian dari labeling ini akan memunculkan suatu bullying tidak tampak antara guru dan siswa. Contoh saja, pasti dalam ruang guru terdapat guru yang bergunjing membicarakan kebodohan bahkan keburukan murid yang memang dia lemah dalam akademik, dalam obrolan tersebut pasti terdapat unsur-unsur labeling dan bullying yang mengakibatkan guru lain yang sebenarnya tidak mengetahui apa-apa tentang si murid larut dalam emosi si penggosip.

Bukannya mencari solusi bersama mengahadapi murid yang notabene sulit untuk menyerap ilmu yang telah mereka sampaikan, malah asyik bergunjing dan melecehkan si murid. Hal ini juga telah mencemari landasan filosofis humanis dan landasan sosiologis, dalam konteks humanis pendidikan merukan cara agar manusia dapat terlepas dari belenggu-belenggu yang membutakan manusia. Bahkan dalam filsafat humanis, seorang murid juga diharuskan memiliki kebebasan berfikir tanpa memikirkan suatu tekanan-tekanan.

Lalu berbicara tentang biaya pendidikan yang semakin hari semakin mahal saja namun tidak dibarengi dengan kualitas pendidikan. Sebenarnya dalam landasan ekonomi pendidikan, biaya menjadi hal yang lumrah untuk dihadirkan dalam dunia pendidikan. Pasalnya dalam mempersiapkan pendidikan itu sendiri pastilah membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Jadi memang dalam landasannya saja dan secara rasional pendidikan telah memiliki harga dari awalnya, namun permasalahan sebenernya adalah berapa harga yang ditawarkan oleh pendidikan itu terhadap murid.

Awalnya mungkin biaya pendidikan memang dihargakan seminimal mungkin karena dalam negara Indonesia ini penidikan menjadi tanggung jawab negara. Tetapi semakin berkembangnya negara dan dunia pendidikan, harga yang ditawarkan pendidikan menjadi begitu tinggi dan sangat mencekik rakyat yang berada pada strata ekonomi rendah. Harusnya pemerintah menanggulangi hal-hal semacam ini yang memang menjadi isu yang sangat krusial dikalangan masyarakat Indonesia, tetapi yang terjadi kebijakan yang ditegakkan oleh pemerintah malah semakin membuat biaya pendidikan melejit.

Birokrasi yang dijalankan oleh suatu lembaga pendidikan menjadi ajang penggalian “ladang basah” demi meraup profit semata. Bahkan banyak juga para birokrat lembaga pendidikan yang mengilhami institusinya diisi oleh orang-orang yang kuat secara ekonomi dan menggusur orang-orang yang lemah ekonominya, sehingga mereka tidak akan kesusahan lagi menghimpun dana untuk “keperluan penunjang pendidikan”. Sehingga bukan hal aneh ketika praktik-praktik yang terjadi di lapangan telah mencemari pendidikan dalam hakikatnya atau bahkan mengkhianati landasan-landasan pendidikan yang ada.

Ada dua hal yang menurut saya perlu dilakukan menyikapi hal ini. Yang pertama pemerintah layaknya memperhatikan lebih dalam terhadap pelaksanaan lembaga pendidikan agar dana yang telah digelontorkan negara tidak menyimpang begitu saja. Mungkin sebelum melakukan kontroling, hendaknya para birokrat pemerintah melakukan revolusi mental yang telah bobrok selama ini. Cobalah berfikir bersama hati nurani kalian bukan hanya berfikir bersama hawa nafsu kalian.

Negara ini butuh genarasi muda yang kompetibel untuk membangun negerinya, untuk mengabdi pada negerinya. Boleh saja kapital, tetapi jangan lupakan orientasi dan hakikat dari pendidikan yang tujuannya adalah mencetak generasi muda yang kompeten. Untuk kita generasi muda yang saat ini sedang menjalani pendidikan dan yang telah menjalani pendidikan. Bukalah mata hati kalian, lihat lagi kebawah dan kebelakang, disana masih banyak saudara-saudari kita yang tidak mampu mengenyam pendidikan seperti yang kalian rasakan. Jangan berperilaku yang hanya mengorientasikan diri kalian saja.

Jangan juga mengeluh tentang sistem yang ada terus menerus, kita harus mampu berfikir kreatif untuk mengelabui dan mengubah sistem itu walaupun dengan cara yang licik. Tunjukan kritik-kritik kalian dengan langkah nyata membangun negeri ini.

Faizal Risyaf. Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Sosiologi 2013 UNY, Anggota divisi Intelektual dan Kurikulum Mazhab Colombo

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.