Menjelang 14 Februari, saya ber-ekspektasi menjumpai setiap orang yang berbagi kasih sayang, baik itu dengan pasangan, teman, dan keluarga.
Setelah beberapa waktu terakhir ini kita selalu dihadapkan pada situasi sosial-politik yang gaduh, mbahas cebong dan kampret melulu. Sungguh indahnya dalam satu hari yang khusus, setiap orang dapat menunjukkan anugerah Tuhan yang paling tinggi, yaitu: cinta. Setelah hari valentine berakhir, saya melihat warganet yang menanggapi hari valentine terbagi dalam tiga kategori. Pertama, yang menanggapi valentine dengan biasa saja. Kedua, yang menganggapi valentine adalah hari spesial. Ketiga, mereka yang menolak hari valentine.
Tentang Coklat Valentine
Alih-alih berbagi kebahagiaan, masih ada saja kelompok yang meributkan hari valentine ini. Saya sudah bosan menunjuk siapa yang mengkampanyekan penolakan ini, lha wong orangnya itu-itu saja. Saya tidak bisa membayangkan, betapa keringnya hati dan kehidupan para pembenci ini. Setiap hal yang berbau asing dan yang liyan pasti ditolak, diharamkan, ditakut-takuti akan bahaya latennya, diberi fatwa pula.
Saya jadi curiga kalau disetiap awal tahun, mereka sengaja memasang alarm untuk menyebarkan fatwa haram merayakan tahun baru, di bulan Februari menolak hari valentine dan tahun baru China. Pada bulan September mereproduksi hantu PKI, bulan Desember saatnya melarang orang memberikan ucapan Natal.
Saya terkejut ketika membaca berita tentang mahasiswa Bogor yang menolak valentine, sekaligus menganggap coklat adalah simbol kemaksiatan.
“Coklat dianggap sebagai symbol kasih sayang, padahal identik dengan kemaksiatan,” ucap Wendi, peserta demonstrasi tolak hari valentine.
Hadeh, saya justru merasa kasihan sama Wendi ini. Mungkin semasa kecil hingga dewasa, ia tidak pernah makan roti selain coklat atau taburan meses, mungkin yang ia makan adalah roti yang diproduksi secara khusus dari arab dengan selai kurma. Ia mungkin juga tidak pernah membeli pop ice, karena belum ada pop ice rasa kurma. Semua yang dilakukannya mungkin agar sesuai dengan prinsip syariah, usahanya sebagai seorang muslim yang kaffah amat saya hargai.
Andai saja Wendi ini mengkritik budaya memberikan cokelat valentine menggunakan teori Theodor Adorno mengenai industri budaya, mungkin ceritanya akan berbeda. Kalau meminjam teori Adorno, Valentine dikonstruksikan sebagai komodifikasi kasih sayang yang sengaja digencarkan untuk meraup laba bagi perusahaan coklat dunia, seperti Nestle, Mars, Ferrero dan Mondelez. Industri coklat ini pandai mempropagandakan kesan valentine sebagai sesuatu yang agung dan tidak boleh dilewatkan. Maka dibalik itu semua, sudah berapa kali lipat profit yang didapatkannya? Kok Mas Wendi nggak kepikiran kesana, ya? Tidak melulu soal halal atau haram. Hampir semua sektor kehidupan disisipi sistem kapitalismuw. Toh, kalau saya teriak tentang kesetaraan, saya gak mau lagi dicap kuminis.
Cara Pandang Indonesia Tanpa Pacaran
Kita banyak menjumpai karnaval penghakiman dalam akun-akun dakwah kekinian dan hypebeast, salah satunya adalah @IndonesiaTanpaPacaran. Konon yang saya pahami, mereka melabeli diri sebagai jomblo fisbilillah mempunyai versi “cinta” yang mereka kehendaki; cinta yang diikat dengan pernikahan setelah taaruf.
Tentu, hubungan dengan versi yang lain akan mereka anggap sebagai pintu menuju kemaksiatan, seperti seks bebas dan kekerasan seksual. Bagi mereka, jalan terbaik untuk memeranginya adalah menikah. Kalau perlu, nikah muda atau poligami sekalian. Mereka mengambil jalan pintas dalam berpikir, bahwa pacaran hanyalah tentang seks bebas dan kriminalitas, tidak peduli dengan pendidikan cinta remaja. Bagi mereka, semua persoalan duniawi hanya bisa dijawab oleh satu hal yang sangat revolusioner: menikah! Mereka tidak peduli dengan kemungkinan-kemungkinan terburuk jika seseorang menikah muda, seperti ketidaksiapan membangun rumah tangga dan ketidaksiapan secara finansial. Kendati mendambakan kebahagiaan, justru menikah tanpa persiapan mental dan finansial yang matang, dapat menyiksa diri dikemudian hari.
Bagi aktivis dakwah digital yang menolak pacaran, nampaknya akan sulit memahami betapa manis-pahitnya menjalin hubungan asmara. Misalnya perjuangan Inggit Garnasih yang berjuang keras membantu Soekarno dalam melakukan propaganda politik tahun 1945, justru pada detik akhir sebelum memproklamirkan kemerdekaan, ia memilih menolak dimadu Soekarno.
Adapun juga, kisah cinta Karl Marx yang LDR-an dengan Jenny von Westphalen. Saat ia rindu dengan kekasihnya itu, Marx mengirimkan sajak yang romantis dan satire.
“Jika kau mencintai seseorang tanpa menuntut perasaan yang sama, maka kau gagal menjadi orang yang dicintai, maka cintamu impoten, malang!” dalam Private Property and Comunism (1844).
Atau tentang konsep mencintai ala Jean Paul Sartre, yang melakukan “open marriage” dengan Simone de Beauvoir. Mereka tidur bersama, jika salah satu dari mereka punya selingkuhan, harus berterus terang dan saling menceritakan. Mereka saling menghormati apapun yang dilakukan pasangannya. Semua disepakati karena kemerdekaan atas diri. Sampai disini, masih berpikir kalau cinta itu sebatas menikah saja?
Memilih jalan tanpa pacaran adalah pilihan hidup yang sah-sah saja. Saya dapat menghormati itu. Tapi, menghakimi dan melarang orang yang sedang bucin-bucinnya, yang senantiasa swipe kanan aplikasi Tinder, bagi saya adalah pelanggaran HAM. Karena atas nama apapun, sejatinya cinta tidak akan pernah bisa dipenjara. Ia akan hinggap ke hati setiap insan, mengetuknya, dan berkembang liar tak terkendali.
***
Leave a Reply