Akhir-akhir ini mahasiswa UNY sempat dihebohkan dengan penolakan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) sebagai sistem pembayaran kuliah. Bahkan isu kenaikan UKT tersebut menjadi trending topik pada saat OSPEK di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Salah satunya adalah Fakultas Ilmu Sosial (FIS) dan Fakultas Teknik (FT) yang lantang bersuara menolak segala kenaikan tarif UKT. Bagaimana tidak, adanya kenaikan UKT ini sangat memberatkan mahasiswa baru, bahkan ada salah satu mahasiswa baru yang memilih untuk tidak masuk menjadi menjadi mahasiswa UNY, karena besaran tarif UKT yang terlalu tinggi dan memberatkan.
Tidak hanya UKT yang tinggi, pada tahun 2016 ini Birokrat UNY mengalokasikan sebagian anggaran perbelanjaan kampus untuk keperluan pengembangan prestasi mahasiswa, baik di-kancah internasional maupun skala nasional. Mahasiswa yang ingin berprestasi akan diperhatikan dan di biayai oleh kampus, sementara mahasiswa yang tidak beprestasi akan dijauhkan dan tidak diperhatikan. Bahasa sindirannya “kalau pengen diperhatikan, ya berprestasi”.
Ada sebuah pendapat yang lucu menurut saya, hal ini dilontarkan langsung oleh petinggi birokrat UNY, bahwasannya mereka akan membangun sebuah gedung yang khusus untuk menampung orang-orang yang berprestasi. Konon katanya yang berhak menempati gedung tersebut adalah orang-orang yang punya prestasi dan membanggakan kampus UNY.
Fenomena tersebut tentu ada yang melatarbelakanginya, mengapa UNY hari ini begitu gencar mengembangkan prestasi mahasiswa dan meningkatkan pembayaran UKT mahasiswa? Hal itu berkaitan dengan agenda UNY pada tahun 2025 yang berencana akan menjadi kampus berkelas internasional atau lebih enak di dengar dengan sebutan world class university (WCU). Tentu berbagai persyaratan yang dipersiapkan harus benar-benar matang agar segala indikator dan kualifikasi menjadi WCU terpenuhi. Salah satu dari bentuk manajemen yang dipersiapkan oleh UNY pada saat ini adalah meningkatkan prestasi mahasiswa baik di skala nasional maupun internasional, serta mengembangkan penelitian mahasiswa dalam skala apapun. UNY juga mengadakan berbagai kerjasama dengan universitas luar negeri salah satunya University Of Malaya (Malaysia) dan The Universitas Of Bayreuth (Jerman). Inilah salah satu bentuk pertunjukan UNY dikalangan mahasiswa yang ingin “Go International”.
World class university merupakan universitas yang memiliki standar internasional serta mempunyai keunggulan dibidang penelitian, pengembangan manusia, dan kegiatan akademis yang ketat. Tolak ukur WCU merujuk pada metodologi yang dibuat oleh THE (Time Higher Education). Salah satu indikatornya adalah prestasi kampus dan kualitas penelitian baik dalam skala nasional dan internasional.
Berkorban Demi Penguasa
Akhir tahun kemarin pemerintah Indonesia menggulirkan kebijakan tentang “Bela Negera”, salah satu poin pentingnya adalah masyarakat harus berkorban membela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Entah apa maksud pemerintah yang menyuruh rakyatnya untuk berkorban demi negara. Hal ini semacam cara pemerintah untuk menjinakan rakyat terhadap problema kemiskinan, kelaparan, dan penindasan yang difasilitasi oleh negara. Rakyat diberikan fantasi agar rakyat menerima keadaan yang sebagaimana mestinya.
Apa yang dialamai oleh rakyat Indonesia hari ini? Mereka tetap menjalankan apa yang diperintahkan oleh pemerintah. Rakyat Indonesia harus menahan rasa lapar, penindasan dan kemiskinan yang menggigil. Mereka harus berkorban demi kemajuan NKRI. Dengan fantasi rela berkorban tersebut, negara seakan-akan menutup diri dari pelbagai masalah-masalah rakyat secara menyeluruh.
Hal tersebut juga terjadi di kampus UNY, perlakuan birokrat kampus terhadap mahasiswanya sama halnya, dengan apa yang dilakukan oleh negara terhadap rakyat. Dengan landasan UNY pada tahun 2025 menjadi wolrd class university, maka mahasiswa dituntut berkorban demi kampus untuk menuju kampus ber-kelas internasional. Birokrat kampus dengan sewenang-wenang tanpa persetujuan mahasiswa dan orangtua mahasiswa, menaikkan tarif UKT dengan dalih untuk mencukupi segala sarana dan prasana kampus agar memenuhi segala prasyaratan WCU. Logika WCU inilah yang dijadikan landasan birokrat UNY agar mahasiswa tidak protes/berdemo terhadap kenaikan tarif UKT. Dengan iming-iming peningkatan fasilitas kampus agar mendukung proses pembelajaran di ruang kuliah, mahasiswa pun harus merelakan jumlah uang yang harus di bayarkan kepada pihak kampus menjadi lebih besar dan jauh dari kata pantas.
Mahasiswa kemudian harus merelakan apa yang hari ini menjadi haknya untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas hanya menjadi sekedar suara nyaring WCU yang belum dirasakan sama sekali. Secara tak sadar pun, kita terjebak dalam logika instan penguasa, suatu lembaga pendidikan ataupun mahasiswa harus berdasarkan track record yang dimiliki kampus itu sendiri mampu bersaing di tingkat internasional atau tidak, baru bisa dikatakann bahwa lembaga pendidikan tersebut berkualitas.
Kontradiksi WCU yang banyak digandrungin seluruh kampus di Indonesia saat ini menjadi fenomena tersendiri bagi kalangan mahasiswa. Fenomena terhadap fantasi kualitas diri mahasiswa sendiri yang di ukur berdasarkan predikat kampus. Sehingga banyak kampus yang berlomba-lomba untuk mengembangkan status predikatnya agar banyak diminati oleh masyarakat untuk menambah pundi-pundi uang untuk pemasukan kampus.
Kampus yang banyak dikenal masyarakat, dengan predikat yang membanggakan serta mampu mencetak tenaga kerja siap pakai. Membuat pihak birokrasi kampus menjadikan seleksi masuk perguruan tinggi semakin sulit dengan jumlah biaya yang sangat mahal. Mahasiswa dituntut untuk membayar mahal karena hal ini sudah menjadi konsekuensi apabila si mahasiswa masuk perguruan tinggi tersebut. Mahasiswa terjebak pada logika predikat kampus yang memberikan kualitas diri selama perkuliahan. Oleh karena itu mahasiswa harus rela berkorban mengeluarkan semua recehannya untuk kampus yang digelutinya.
Pada akhirnya sosok kampus bukan lagi tempat berdialektika dan berdiskusi, tetapi sebagai ajang pencitraan agar digandrungin oleh masyarakat luas. Misalnya saja UNY yang setiap bulan selalu mengganti baliho yang berisikan prestasi mahasiswa yang mendapatkan juara ketika berlaga di kancah nasional dan internasional. Saya kira bukan hanya UNY saja yang melakukannya, seluruh kampus-pun melakukan demikian untuk menarik minat masyarakat agar bisa menyekolahkan anak-anaknya di kampus tersebut.
Dengan pelbagai alibi kemajuan fasilitas, meningkatkan prestasi mahasiswa, dan level kemajuan kampus ketingkat nasional maupun internasional mahasiswa diperas kantongnya. Namun kita berhak bertanya apakah sudah pantas UNY menjadi WCU dengan infrastruktur dan sarana seperti sekarang? Apakah UNY sudah mempublikasikan karyanya seperti kampus besar UGM, UI, UNDIP, ITB? Saya kira UNY terlalu banyak bermimpi, kita bisa menilai kualitas akademisi dan fasilitas kampus saja tidak sebanding dengan impiannya, oleh sebab itu mari kita kritik bersama-sama agenda konyol dan terlalu ambisius ini hingga mengorbankan perekonomian keluarga kita. Karena sudah seharusnya pendidikan itu murah dan berkualitas untuk semua orang bukan hanya untuk golongan orang kaya saja. Sekian.***
Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Geografi UNY 2014 dan Anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa FIS
Leave a Reply