Ironis sekali tatkala melihat kawan-kawan yang mengikuti UAS (Ujian Akhir Semester), pagi-pagi datang cepat agar tidak terlambat masuk ujian. Berpegangan selembar kertas, yang diberikan pihak dosen ketika proses mengajar sebelumnya. Begitu banyak bahan pelajaran yang harus di pegang untuk UAS tersebut, dapatkah mereka memahaminya? Tidaklah mungkin. Sambil menunggu waktunya masuk untuk ujian, berhamburan orang-orang di depan pintu ruang ujian sambil berpegang selembar kertas yang berisi bahan pelajaran untuk di hafal mati-matian. Sosok UAS bagaikan momok yang sangat menakutkan, ketika bahan pelajaran yang di pegang tidak di hafalkan maka pengetahuan tentang pembelajaran tersebut akan hilang. Hal ini akan berpengaruh pada nilai yang di dapat. Orang yang banyak menghafal akan mendapatkan nilai yang tinggi sementara orang yang kurang sekali hafalannya tentu mendapatkan nilai yang lebih rendah. Hukum rimba menentukan sekali, siapa yang kuat menghafal dialah yang tercepat menjawab soal ujian dan cepat keluar ruangan dan tentu mendapatkan nilai yang bagus. Beginikah hasil akhir dari proses pembelajaran di ruang-ruang kelas yang hanya mengahasilkan intelektual hafalan? Sambil duduk menunggu pengawas ujian datang di ruang ujian, mantra-mantra berkomat-kamit di mulut menghafal serangkaian teks-teks yang tertuang dalam kertas agar bisa di ingat di dalam akal budi. Sungguh mengecewakan sekali sistem pendidikan kita yang hanya menghasilkan manusia-manusia robot, manusia penghafal dari A-Z.
Suram sekali pendidikan kita, hasil akhir ceritanya cuma memproduksi manusia-manusia yang berjiwa inlander. Jiwa-jiwa keterjajahan belum bisa di lepaskan dari cengkraman neo-liberalisme. Pendidikan sebagai tiang negara dan agen perubahan peradaban hanyala mitos masa lalu, yang ada hanyalah penindasan, pembodohan dan ketergantungan. Pendidikan di Indonesia secara keseluruah masih berfokus pada pengetahuan intelektual hafalan dan berorientasi pada nilai. Semua hal di ukur berdasarkan ukuran tersebut. Jika peserta didik tidak kuat menghafal apa yang di ajarkan oleh guru atau dosennya maka ia akan mendapatkan nilai yang jelek.
Jejak pendidikan yang banyak mengisahkan manusia-manusia robot tersebut merupakan bentuk penerapan kegagalan pendidikan di Indonesia. Pendidikan yang harapannya dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dan dapat menciptakan intelektual organik malah membuat pembodohan terhadap kehidupan bangsa dan menciptakan intelektual robotik. Ruang kelas merupakan harapan yang tinggi untuk memberikan kecerdasan terhadap peserta didik, karena disanalah transformasi pembentukan kesadaran untuk menuju kecerdasan malah di belokan hanya untuk memproduksi peserta didik yang bodoh dan menjadi robot. Apa yang dikatakan penguasa itulah yang harus di ikuti. Nilai-nilai penyadaran dan pembentukan sikap kritis, apa yang diungkapkan Paulo Freire yaitu kesadaran kritis sangat minim sekali bahkan tidak ada di pendidikan kita. Padahal dari sanalah akar segala perubahan terbentuk, sebab jalan pendidikan merupakan langkah awal untuk mengetahui sesuatu yang bergerak dari ketertindasan menuju ketidaktertindasan.
Proses pendidikan tentu berangkat dari manusia dan untuk manusianya. Ki hajar Dewantara mendefinisikan pendidikan sebagai proses untuk memanusiakan manusia yakni membangun kesadaran dalam diri manusia dan mengembangkannya baik secara jasmani maupun rohani. Senada dengan ini, Humboldt (bapak pendidikan Jerman) mengungkapkan salah satu yang terpenting bagian pendidikan adalah pengembangan jiwa manusia. Pengembangan jiwa ini hanya bisa dilakukan dengan dua hal, yakni berpikir mendalam dan pengamatan yang jeli atas dunia. Dengan dua kemampuan itu manusia bisa keluar menghadapi dunianya. Gabungan kedua hal ini, akan menghasilkan kekuatan pribadi, bukanlah sikap egois yang ditimbulkan melainkan sikap kokoh yang kuat dalam kepribadian untuk menghadapi berbagai macam tantangan dunia.
Berangkat dari pendidikan yang ada di Indonesia, mungkinkah cakupan-cakupan pendidikan kita sekarang ini memuat pendidikan yang digagas oleh Kihajar Dewantara dan Humboldt? Di ruang-ruang kelas saja kita cenderung di ajarkan hanya membangun rasa jasmaniah sementara rasa spiritual di hilangkan, transedensi keilmuan teoritis yang diajarkan juga belum ada. Hal yang paling parah ketika diruang-ruang kelas proses pembelajaran cenderung monolog (komunikasi satu arah), peserta didik hanya di jadikan sebagai objek yang harus di beri pengajaran. Pendidikan yang demikian hanya membodohkan peserta didik. Sikap kesadaran dan pembentukan kecerdasan tidak ada, sehingga hanya menghasilkan peserta didik dan intelektual hafalan dan manusia-manusia robotik.
Sangatlah mengecewakan sistem pendidikan kita yang hanya memberikan penindasan, ketergantungan, dan menghasilkan penindas. Ketergantungan peserta didik kepada guru maupun dosen menyebabkan mental yang terbentuk adalah mental penjajah, sehingga kekuatan dan kepercayaan diri sendiri selalu pesimis, dan pada akhirnya peserta didik di jadikan sebagai manusia robotik yang selalu disuruh-suruh oleh penguasa.
Padahal, manusia dilahirkan sebagai mahkluk yang fitrah dan bebas, ia memiliki kekuatan dan keinginan yang besar yang perlu dikembangkan lewat pendidikan. Dengan kebebasanya tersebut ia menentukan apa yang baik dan buruk untuk hidupnya. Inilah yang disebut Humboldt sebagai otonomi moral. Jadi, manusia memulai proses pendidikan dengan kebebasan. Dengan kebebasan manusia memperkuat kekuatan kepribadiannya. Dengan kebebasan manusia terlibat dengan dunianya. Pendidikan yang menolak kebebasan, atau justru menolak moralitas dangkal, tidak akan dapat disebut sebagai pendidikan melainkan sebagai penjajahan dan pembodohan. Tak heran pendidikan di Indonesia memiliki mutu amat rendah, kebebasan peserta didik cenderung dirampas dan peserta didik dibelenggu dengan pembelajaran monolog diruang-ruang kelas. Dalam hal ini pendidikan Indonesia perlu mendorong adanya kebebasan berpikir dan kemampuan menentukan secara mandiri apa yang baik dan buruk oleh peserta didik, tanpa itu pendidikan melahirkan para penindas dan penghamba kekuasaan.
***
Reblogged this on kak Arkhan and commented:
kritik untuk pendidikan hapalan
artikel yang kritis dan langsung menusuk jantung permasalahan 🙂
memang tulisan haruslah menjelaskan aspek yang ingin dikatakan dan diluapakan, menulis bukan hanya soal menceritakan namun bagaimana membangun empati dan kesadaran hehehe