Saya cukup memahami apa yang ditulis oleh Faksi Fahlevi mengenai sekolah yang mengasingkannya dari kampung halaman. Ia berpendapat, sistem pendidikan telah menjauhkannya dari realitas kehidupan. Hanya sebuah kekecewaan yang dirasakannya, saya pun merasakan itu. Nyatanya pendidikan kita memang demikian; selalu menjauhkan manusia dari lingkungannya.
Seperti merasakan nasib yang sama, saya juga tinggal di pesisir dan tumbuh besar di pulau Buton. Masyarakat kami tinggal di tengah gugusan pulau-pulau. Di sana rata-rata masyarakat bermata pencaharian sebagai nelayan; Melaut sampai se-antero Indonesia untuk mendapatkan kecukupan hidup. Jiwa melaut sudah terpatri sejak nenek moyang kami hidup di Nusantara, kurang apa coba? Jika diperbolehkan, saya ingin mengatakan bahwa kami sangat handal dalam melaut.
Kehandalan ini harusnya menjadi warisan yang mesti dilestarikan. Namun, melihat generasi kami sekarang, warisan ini sudah semakin ditinggalkan. Tentu pikiran saya bergejolak. Apa yang salah dengan warisan melaut ini?
Ada stigma buruk dari kalangan pendidikan bahwa profesi nelayan merupakan bentuk pekerjaan kotor dan tak berbudi. Mungkin ada suatu hierarki dalam pendidikan kita yang memandang pekerjaan nelayan itu kurang baik, karena pendapatan yang tidak menentu. Lebih baik jadi pegawai kantoran yang bergelimang kemewahan, atau menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan gaji yang konsisten tiap bulan.
Orang tua kami di kampung sering mencekoki anak-anaknya untuk mencari pekerjaan menjadi PNS. Ada sebuah ungkapan yang sering dilontarkan. “Menjadi manusia sesungguhnya ketika memiliki pekerjaan tetap, seperti PNS.”
Entah kenapa, ada paradigma berpikir bahwa orang yang bekerja sebagai PNS dan TNI begitu dijunjung tinggi. Ini suatu ketidaklogisan. Apa mesti moralitas seseorang diukur dengan tingkat pendidikan dan pangkat jabatan? Saya kira tidak! Pasti ada yang salah dalam pendidikan kita saat ini.
Melihat fenomena ini, ada ketidakhubungan antara pendidikan dengan budaya dan kondisi riil masyarakat. Nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat semakin tercabut dari akarnya. Pendidikan telah hilang kendali dalam menanamkan dan memberikan kesadaran terkait pentingnya melihat potensi lingkungan komunitas kepada peserta didiknya.
Harusnya Pendidikan Itu Mendekatkan Manusia Pada Lingkungan Komunitasnya
Seorang yang hidup di wilayah pesisir, yang setiap saat bersahabat dengan laut, ikan, dan angin, tapi tidak mampu memahami alam sekitarnya. Dia hidup di wilayah pesisir tapi tidak bisa memancing dan berenang. Dia berumah di atas air laut, tapi tidak mengetahui nama-nama ikan di lingkungannya.
Ini suatu ketimpangan dalam Pendidikan kita. Sehingga cenderung kita temukan orang-orang yang sok hebat dan sok berpengetahuan luas setelah mengenyam pendidikan di kota, tiba-tiba mengatur-atur masyarakatnya. Memandang masyarakat serba salah, baik budaya dan nilai-nilai yang sudah melekat. Kalian merasa kesal enggak, dengan orang-orang seperti itu?
Saya teringat dengan tulisan Mulya Lubis di Jurnal Prisma, 1980. Dia menulis “Pendidikan untuk Apa?” Menurutnya, pendidikan berguna agar manusia mengenal dirinya. Pendidikan harus membuat orang sadar bahwa dia ada dan turut menentukan masa depan masyarakat. Pendidikan harus membuat kehidupan kita lebih manusiawi, adil, dan padu.
Memisahkan masyarakat dengan kondisi riil-nya, baik budaya, dan nilai-nilai yang sudah melekat adalah suatu kejahatan. Masyarakat dibiarkan terbelenggu pada ketidaktahuan, tanpa sadar ternyata mereka telah jauh dari apa yang telah dibangun dan ditanam sejak dulu oleh leluhurnya.
Pendidikan Kita adalah Warisan Kolonial
Memang saat ini kita tidak berada di zaman kolonial. Kita telah merdeka dari penjajahan beratus tahun lamanya. Namun yang mesti disadari bersama bahwa, nilai-nilai kolonial masih melekat di kehidupan kita, terutama di bidang pendidikan. Kolonialisme Belanda yang bercokol lama membentuk struktur pemerintahan, memapankan nilai-nilai, dan moralitas bangsa Indonesia agar berpihak kepadanya. Masyarakat Indonesia sengaja dibuat menjadi manusia bermental inlander.
Kalau kita telusuri jejak pendidikan di zaman kolonial, kita akan menemukan keberpihakan pendidikan untuk golongan elit, bukan masyarakat. Seperti yang diungkapkan Y.B Mangunwijaya di Jurnal Prisma 1980. Bahwa paradigma sistem pendidikan-pengajaran di Hindia-Belanda bertujuan untuk membentuk orang-orang terampil sebagai pembantu kolonial. Selain itu, kaum terpelajar harus dipisahkan secara halus dari masyarakat. Dengan mata pelajaran dan sistem pengajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan struktur industri dan bisnis kolonial.
Hal yang signifikan terus melekat sampai sekarang adalah sistem pendidikan yang menciptakan hierarki antar guru dan murid. Guru dianggap sebagai instruktur dan pemberi kepandaian kepada murid. Menganggap murid sebagai obyek dalam pendidikan yang harus dibentuk.
Saya tidak perlu bicara panjang lebar soal sistem pendidikan saat ini. Nilai-nilai pendidikan kolonial masih melekat dan terus direproduksi sampai sekarang. Pendidikan seperti ini seharusnya sudah ditinggalkan dan dihapuskan sejak negeri ini merdeka. Namun mengapa tidak ada yang berani dan mau mengubah struktur ini? Apakah pemerintah hari ini masih menjadi pembantu kolonialisme? Entahlah.
***
Leave a Reply