Kasus Korupsi Dana Desa: Persoalan Mental dan Profesionalisme Pemerintahan Desa

Korupsi, sudah menjadi istilah yang semakin santer terdengar sejak era orde baru tumbang. Masyarakat dengan mudah menyamakan praktik korupsi dengan modus pencurian, hanya saja tindakan korupsi dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh seseorang yang menduduki jabatan pemerintahan. Padahal praktik korupsi bukan hanya ada niatan dari pelaku, tetapi juga karena sistem tata kelola keuangan lembaga pemerintahan yang tumpang tindih dan bias transparansi. Disamping juga adanya faktor-faktor teknologis yang terus berkembang, sehingga membuat para aparatur pemerintahan harus mempersiapkan sumber daya internalnya supaya tidak menyimpang dari aturan hukum.

Sedangkan, praktik korupsi hampir terjadi di setiap lini lembaga kenegaraan kita. Hal ini berbahaya dan perlu untuk diperhatikan secara serius. Terutama sebagai bagian peran cendekia untuk berbagi informasi kepada masyarakat terhadap fakta praktik korupsi di Indonesia. Apalagi menyangkut tentang keberadaan kebijakan Dana Desa yang sudah berjalan memasuki umur ke-5 ini yang jumlahnya ratusan Triliun dari APBN.

Sejak ditetapkannya UU. No 6 Tahun 2014, desa sebagai salah satu bagian dari sistem pemerintahan negara diberikan mandat pembangunan melalui keberadaan dana desa. Artinya, pemerintahan desa diberikan kepercayaan secara konstitusional untuk melakukan pengelolaan secara wajar dan memenuhi tiga prinsip yakni prinsip keadilan, kepatutan, dan kemanfaatan. Kebijakan yang telah menjadi fakta sejarah tersebut menurut saya akan menimbulkan dua hal esensial. Pertama, pasca Dana Desa, maka titik tolak gerak pembangunan berawal dari desa, suatu sistem sosial dan politik yang sudah hampir 72 tahun pasca kemerdekaan ini hanya menjadi buntut kebijakan. Sehingga Desa akan menjadi garda terdepan dalam mengentaskan permasalahan-permasalahan hidup masyarakatnya. Desa akan Berdikari. Kedua, kebangkitan industrialisasi di tengah budaya hidup masyarakat desa yang tradisionalis. Tentu secara teoritik, akan terjadi tubrukan budaya yang menghasilkan fenomena penyimpangan. Dalam istilah Robert. K. Merton sebagai perilaku anomie. Apabila menilik perjalanan para aparatur pemdes dalam mengaktualisasikan amanat konstitusi, saya lebih menilai jika perilaku anomie-lah yang muncul. Tentu saya optimis, perilaku ini akan segera tereliminasi dan mengarah pada esensi yang pertama; Desa menjadi berdikari.

Rekam Tindak Pidana Korupsi Dana Desa

Data yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW), selama tahun 2016-2017 keberadaan dana desa telah memancing tindakan penyelewengan sebanyak 110 kasus yang melibatkan 139 oknum. Kebanyakan pelakunya adalah seseorang yang menjabat sebagai Kepala Desa, sedangkan sisanya adalah perangkat desa dan orang di luar sistem (kok bisa?) Selama satu tahun tersebut, Kita semua telah dirugikan 30 milyar rupiah.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Saya melihat jika angka tersebut mengandung beberapa artian dalam kerangka asumsi bahwa; pemerintah desa sedang mengalami perbaikan dalam aspek kepemimpinan dalam internal pemerintahan. Asumsi saya tidak lepas dari kenyataan apabila pola kepemimpinan dalam sistem birokrasi desa masih mengedepankan nilai-nilai kewibawaan, belum mengarah pada nilai-nilai profesionalitas yang seharusnya secara konstitusional telah menempel pada subjek aparatur desa. Tentu saja dalam mencapai nilai profesionalitas ini, seorang kepala desa bukan hanya mengandalkan ceruk suara melalui mekanisme pemilihan umum, namun juga dalam aspek kompetensi yang harus sinergis dengan tuntutan pembangunan dan kepentingan masyarakat.

Dalam beberapa segmen acara pemilihan kepala desa, memang telah ada fase penyampaian visi dan misi. Akan tetapi, kurangnya sumber daya intelektual yang mampu memberikan kritik mendalam terhadap visi dan misi yang disampaikan oleh para kandidat calon, masih menjadi hambatan umum. Lagi-lagi, cara yang telah terjadi hanya meninggalkan pola penilaian paling dasar di kalangan publik desa, yakni kecakapan dalam berdiplomasi. Bukan berarti saya meragukan kemampuan publik desa dalam melakukan kritik, isolasi kebudayaan feodal yang menutup celah adanya kritik. Saya kira, ini juga menjadi masalah masyarakat desa dalam berdemokrasi.

Selanjutnya, penyelewengan dana desa juga bisa dikatakan sebagai dampak adanya kesenjangan budaya yang kemudian menyebabkan perilaku anomie atau tindak pidana pelanggaran hukum di mata negara. Saya menyebutnya sebagai jebakan sistemik. Jebakan sistemik ini muncul tatkala sistem tata kelola sumber daya ekonomi desa yang tadinya belum terukur sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi kemudian berbenturan dengan sistem tata kelola yang lebih terstruktur dan terintegrasi secara efektif dalam kerangka teknologi informasi berbasis online. Tentunya, aparatur pemdes tidak bisa secara sembarangan menentukan perencanaan, pelaksanaan, hingga pertanggungjawaban.Semuanya harus berbasis pada data numerik yang konkret. Aparatur pemdes juga dituntut harus mampu beradaptasi dengan hal-hal yang bersifat teknis. Sebagai contoh; dalam hal membangun basis data potensi desa menggunakan perangkat Sistem Informasi Desa yang telah disediakan oleh pemerintah.

Secara langsung desa dituntut harus bisa membangun basis data mengenai potensi yang ada di wilayahnya, sebagai alur rasionalisasi pembangunan. Melalui ini, pemerintah desa sebetulnya akan terbantu dalam menentukan strategi pembangunan. Dana Desa juga akan terserap secara efektif dan efisien, tidak melebar. Jika masih ada kekurangan-kekurangan pada hasil pembangunan, akan bisa diperbaiki pada tahun-tahun berikutnya. Tanpa ketersediaan basis data yang aktual dan kontekstual, maka pertanggungjawaban akan tidak transparan, sebab sejak awal perencanaannya sudah tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat. Pada akhirnya, badan penegak hukum dalam hal ini KPK akan mencium dan memutuskan adanya tindak pelanggaran hukum. Konsekuensinya tidak lain adalah hotel prodeo.

Peran Masyarakat dan Pemerintah Daerah dalam menangkal perilaku anomie yang berujung pelanggaran hukum.

Saya masih menyadari tapi sedikit tidak memaklumi, jika pola pemerintahan feodal masih menjadi nafas kehidupan masyarakat desa. Apalah gunanya pola pemerintahan semacam itu apabila pada akhirnya justru mengantarkan anggota masyarakat sendiri ke dalam jerat pidana. Sedangkan stigma negatif akan secara langsung mencoreng martabat keluarga, terlebih masyarakat secara umum. Oleh sebab itu masyarakat harus lebih sadar terhadap aktualisasi kebijakan dana desa.

Siapakah yang harus memulai lebih dahulu?

Ini adalah perkara mental. Mental berani transparan dan sadar hukum. Sehingga aparatur desa dan anggota masyarakat sama-sama memberikan pengawasan dan pendidikan. Namun secara struktural, jelas pendidikan keberanian ini harus dimulai dari tingkat pemerintah daerah. Bisa secara teknis melakukan diklat secara rutin kepada aparatur desa maupun membuka ruang diskusi dengan publik desa. Perlu diingat jika pemerintah daerah juga memegang peran penting dalam proses penanaman nilai-nilai ideologis serta pembiasaan terhadap tatanan yang dirasa baru dan sejalan dengan semangat pembangunan. Pemerintah Desa juga harus mampu mengukur diri terhadap kondisi tuntutan zaman. Artinya, akan ada peremajaan sumber daya manusia yang akan mengisi posisi struktural. Tidak dipungkiri jika ada peluang terjadinya beban kompetensi yang harus dipelajari oleh para aparatur desa. Sehingga esensi perekrutannya juga harus sesuai dengan kebutuhan zaman.

Ini yang paling penting. Dan cara yang paling efektif dalam mengawasi proses aktualisasi pembangunan dan transparansi yang bersumber dari dana desa. Menurut laman www.berdesa.comyang bersumber dari Kementerian Desa, masyarakat bisa melaporkan adanya gejala ketidak transparannya penyerapan dana desa dengan menghubungi call center di 1500040 atau SMS Center ke 08778990040, atau dengan cara melaporkannya melalui laman www.lapor.co.id.

“Saya orang desa, saya sadar dengan kemajuan dan tuntutan zaman.Sudah saatnya desa berdikari. Semakin cerdas masyarakatnya, semakin modern pengetahuannya, tapi tetap bijak dalam menatap masa depan. Mataku setajam citra Alap-alap, jemariku selihai cakar orong-orong, sekuat lengan petani, pendengaranku setajam harimau, penciumanku seluas Hiu putih. Aku berani belajar dan dikritik, dan berani memperbaiki diri. Salam perubahan!”

Penulis: Ibnu Nurhuda Kasendar 5 Articles
Pegiat Kajian Pedesaan dan Komunitas Pertanian. Penulis bisa dihubungi lewat email: Ibnunurhudakasendar@gmail.com

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.