Musisi dari Jawa Timur semakin menunjukkan taringnya di dunia musik Indonesia. Setelah Silampukau sukses menggebrak dunia musik lewat lagu-lagu yang mengisahkan kemirisan menjadi orang kota. Sekarang giliran Iksan Skuter dengan lagu-lagunya yang vulgar, bertema-kan isu sosial dan politik.
Pria asal Malang berkumis tebal dan selalu memakai topi ini, memang bisa disebut sebagai musisi yang jago sekali meracik lirik sesuai dengan konteks dan semangat zaman. Sungguh lagu-lagu yang ia ciptakan sangat rekomended untuk di dengarkan generasi milenial.
“Saya mulai memahami kepribadian Iksan Skuter setelah mendengar lagunya berjudul Partai Anjing dan Bingung.”
Lagu ini sangat cocok didengarkan pada tahun-tahun politik yang semakin ruwet. Seperti sekarang ini. Saya hampir jarang sekali update status di medsos tentang politik karena malas dianggap mendukung kelompok tertentu dalam pilpres. Apalagi bahas hal serius kayak kejahatan HAM, ideologi, dan isu sensitif lainnya. Sampai saya bingung, mau bersikap bagaimana melihat fenomena politik yang ada. Diam mungkin adalah pilihan terbaik yang bisa saya lakukan saat ini. Ternyata apa yang saya rasakan, juga di rasakan oleh Iksan Skuter. Lewat lagu-nyayang berjudul Bingung.
“Kiri dibilang komunis, kanan di cap kapitalis, keras dikatai fasis, tengah dinilai tak ideologis. Muka klimis katanya necis, jenggotan dikatai teroris, bersorban dibilang ke arab-araban, bercelana levis dibuli ke barat-baratan. Diam dianggap pasif, lantang katanya subversif. Bertani dianggap kuno, jadi pegawai di stempel mental Londo.”
Sepenggal Cerita
Pernah suatu kali di kampus, saya sangat tidak suka dengan laki-laki atau perempuan yang berpakaian Islami, karena pada waktu itu saya menganggap mereka sudah terasuki virus ke arab-arab an. Saya juga tidak suka terhadap orang-orang yang suka nongkrong di mall, mereka itu saya cap sebagai anak muda hedon. Namun setelah lulus kuliah dan bergaul dengan banyak orang yang berbeda, saya sadar kalau sikap tersebut salah. Sekarang ini saya berpendirian, mau orang itu pakai baju Islami atau tidak, itu kebebasan semua orang. Tidak ada hubungannya antara selera berpakaian dengan sikap seseorang. Yang terpenting adalah gelem srawung dan mau berdialog.
Saya punya pengalaman yang tidak mengenakkan semasa mahasiswa. Karena pada waktu itu sering berdemo di kampus, saya dicap anak kiri oleh orang-orang. Bahkan, beberapa teman saya mengurangi intensitas guyonan karena takut saya mengajak mereka melakukan aksi demo seperti yang saya lakukan. Terkadang jika saya berkenalan dengan adik angkatan, teman-teman saya pun menyuruh mahasiswa baru ini untuk menjauhi saya. Sungguh aneh sekali perkara sikap politik bisa sampai mengurangi intensitas pergaulan dan merusak hubungan pertemanan.
Baru-baru ini saya juga di tekan oleh beberapa orang di sekitar saya untuk memilih kelompok tertentu. Saya disuruh ikut untuk kegiatan #aksibelaislam. Saya menolak hal itu karena saya tidak punya kepentingan apapun soal urusan politik kekuasaan. Akhirnya saya dianggap bukan umat Islam yang taat, dan lebih membela kelompok musuh. Pernah juga saya ditawari untuk jadi Timses pasangan yang dianggap mewakili kelompok nasionalis, saya pun juga menolak. Kemudian dengan entengnya mereka menganggap saya ini apolitis dan sok idealis.
Saya pikir lagu mas Iksan Skuter ini cocok sekali dengan situasi saya hari ini. Kalau saya berada di tengah-tengah dan tidak memihak, saya pun juga dihantam oleh pihak sana dan pihak sini. Benar-benar serba salah.
Suatu ketika saya mengikuti kegiatan syukuran gerakan Tolak Bandara Kulon Progo di Yogyakarta. Saya menceritakan hal itu pada teman saya, sebelumnya saya belum tahu kalau dia adalah pendukung pendirian bandara Kulon Progo. Setelah bercerita panjang lebar, malah akhirnya kami berdebat tak karuan. Seminggu kemudian teman saya itu sudah tidak seperti biasanya lagi. Saya pun merenung, mungkin sekarang saya harus merubah cara berkomunikasi terhadap orang-orang terdekat. Jangan bahas politik dan isu-isu sensitif. Karena bila beda pandangan saja, langsung meretakkan hubungan.
Bingung; Serba Salah
Jaman sekarang itu adalah jamannya mengecap orang dengan mudah. Kalau kamu suka dangdut koplo kamu langsung di cap ndeso, kalau kamu suka musik indie kamu akan dicap sok indie, sok nge folk. Kalau kamu suka musik rock kamu akan di cap anak urakan. Kalau kamu suka lagu jazz, kamu akan dicap lebih suka musik barat ketimbang musik tradisi. Kalau kamu suka baca buku, kamu akan dicap orang yang sok pinter. Kalau kamu daftar PNS, kamu akan dicap bermental Kolonial.
“Terus carane ben ora di cap itu, gimana ya?”
Karya Iksan Skuter lahir sesuai dengan konteks dan zamannya. Dibeberapa kali kesempatan wawancara ia pun berbicara lantang, bahwa kemanusiaan itu yang paling terpenting untuk situasi saat ini. Apapun pilihan dan sikap politik, jangan sampai membuat kehangatan berkumpul untuk sekedar ngopi dan nongkrong menjadi terusik. Sudah saatnya kita melihat segala sesuatu dengan apa adanya. Karena kalau melihat dengan ada apanya, kita akan terjebak oleh dunia cap-mengecap. Dunia yang tak mengenakkan bagi siapapun.
“Opo sampean podo gelem di cap matre, di cap kere, di cap inlander, di cap sok ke-minggris? Podo ra gelem kan. Sudah saatnya kita mengejar persamaan ketimbang perbedaan.”
***
Leave a Reply