Kesiapan Petani Dalam Menghadapi MEA, Tantangan Atau Hambatan

 

Corak produksi di bidang pertanian Indonesia secara umum dapat dikatakan subsisten. Pendek arti, petani menanam padi maupun komoditas tanaman pangan lain hanya untuk konsumsi sendiri. Lantas bagaimana kesiapan Indonesia dalam menyongsong MEA, yang secara resmi diberlakukan sejak tahun 2015 lalu?

Kembali memahami arah dari MEA, keterbukaan pasar antar Negara ASEAN bertujuan untuk mengimbangi Negara Tiongkok dan India (Asia) dalam hal produksi barang/jasa, dan termasuk di dalamnya mengenai tenaga kerja. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa suatu perubahan di bidang ekonomi akan mempengaruhi bidang-bidang kehidupan yang lain. Terlepas dari pola penetapan kebijakan yang seharusnya bottom-up, “perubahan” ada baiknya dipahami sebagai suatu keniscahyaan yang mana sesuai dengan sifat manusia yang dinamis.

Dalam dunia pertanian tentu hubungan antara subjek (petani) serta objek (komoditas) seharusnya ada saling keterkaitan. Dalam hal ini, posisi petani sebagai aktor drama pertanian. Ia memainkan alat-alat produksinya untuk dapat menampilkan (hasil panen) yang menawan. Standar ke-menawanan dari hasil drama tadi, yakni dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Di kalangan petani yang masih bercorak subsisten, perdagangan juga ada di dalamnya. Akan tetapi belum mencapai tujuan saving (untuk hari depan) atas hasil dari perdagangan yang dilakukan. Saving masih berbentuk pemeliharaan hewan ternak seperti sapi atau kambing, serta beberapa jenis unggas termasuk tanah. Sehingga dapat ditarik benang merah, bahwa objek pertanian (komoditas) sebagai mana yang telah disebutkan merupakan nafas dari petani subsisten.

Dilihat dari cara penetapan kebijakan tersebut, pemerintah lebih dahulu meng-iya kan diberlakukannya MEA. Maka pemahaman tentang MEA sebetulnya adalah kewajiban pemerintah. Melihat cerminan sejarah manakala rezim Orba bertahta, program revolusi hijau tentu akan berkaitan dengan kondisi pertanian Indonesia saat ini. Pada masa itu, pemerintah menggalakan modernisasi dalam bidang alat pertanian seperti pupuk, bibit, serta alat mesin pertanian. Dan terbukti keberhasilan Indonesia mengantarkannya menuju penghargaan “swasembada pangan”. Akan tetapi perlu diingat kembali manakala jatuhnya Orba juga menjadi tanda kegoyahan pertanian Indonesia. Pasalnya pupuk kimia dan bibit hasil rekayasa genetik semakin lama semakin menjadi barang kebutuhan petani. Padahal, untuk masalah bibit hasil rekayasa genetik tidak dapat di tanam kembali yang pada akhirnya mau tidak mau, petani harus terus membeli.

Bila ditinjau dari segi perubahan tujuan pertanian, memang ada unsur perubahan. Pemerintah ingin mengubah mindset petani dari subsisten kearah profit oriented. Akan tetapi kekacauan politik dan sosial pada masa itu, dan ditambah inflasi pasca orba, menjadikan program revolusi hijau sebagai borok dari sejarah Indonesia dalam bidang pertanian. Ketidak sempurnaan dalam sosialisasi pertanian pofit, malah mengantarkan petani Indonesia kearah budaya konsumsi. Petani semakin terikat dengan “membeli” bibit dan pupuk kimia. Sedangkan beban biaya pertanian dan panen tidak sepadan. Kerugian sangat nyata bagi petani dan gelar “bersahaja” mulai terbang tertiup kebutuhan.

Meminjam sudut pandang Marx tentang kelas, bahwa siapapun itu yang memiliki alat produksi akan selalu diuntungkan dari segi ekonomi dan sosial. Mereka akan selalu berada di atas kaum yang tak memiliki alat produksi. Relevansinya dengan konteks petani di Indonesia, petani-petani besar yang memiliki tanah yang luas tentu lebih banyak memiliki modal untuk memenuhi kebutuhan akan alat produksi pertanian. Sedangkan petani subsisten yang telah terlanjur “basah” lebih kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pertaniannya sedangkan ia juga harus menjalani dan menghidupi keluarganya. Dilihat dari penguasaan lahan, petani subsisten pada umumnya hanya memiliki lahan yang sempit (0,5-1 ha). Jikalau benar-benar maka naas nasib petani Indonesia yang pada akhirnya harus menjual tanahnya, tentu petani subsisten benar-benar dirugikan.

Bila ditinjau dari sumberdaya manusianya (sdm), fenomena urbanisasi dari desa ke kota juga berdampak pada keberlangsungan pertanian. Padahal pertanian yang masih bercorak subsisten ada di pedesaan. Pemuda-pemuda desa lari ke kota untuk bekerja. Logika pertanian yang merupakan mata pencaharian yang mampu menyerap banyak tenaga kerja mulai kekurangan peminatnya.

Ada kaitannya dengan pendidikan yang tengah diterapkan di Indonesia sejak beberapa dekade ini. Menurut hemat saya pendidikan di Indonesia lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan tenaga kerja di luar sektor pertanian. Mindset peserta didik tentu perlahan akan berubah. Mudahnya, pernahkan saudara/I ditanya atau bertanya tentang  cita-cita? Berapa banyak yang bercita-cita menjadi petani? Saya yakin prosentase jumlah seseorang yang ingin menjadi petani lebih sedikit, bahkan paling sedikit. Mengapa itu terjadi? Tentu saja dengan melihat kondisi petani di Indonesia dapat membuat orang lari terbirit-birit (saking mengenaskannya). Bahkan orang tua pun ada dan banyak yang mendorong anaknya untuk rajin bersekolah, supaya bisa menjadi “Abdi Negara”. Ironi bukan?

Jika SDM semakin berkurang di bidang pertanian, sedangkan sebagian besar petani-petani di Indonesia lebih banyak yang sudah tua. Maka tentu kita dapat membanyangkan yang akan terjadi, terlebih jika tidak ada antisipasi secara serentak antar segala bidang keilmuan secara konsep maupun praktik. Jika pemerintah dalam hal sosialisasi hanya mengulang apa yang telah dilakukan Orba tanpa ada perubahan, terutama dalam hal sosialisasi profit oriented kepada petani, maka keledai pun mungkin lebih mujur walau hanya terjun di lubang yang sama. Selain itu perlu ada pendampingan serta bimbingan yang massif kepada para petani kita supaya  dapat menambah pengetahuan secara teknis perihal pertanian profit oriented  sesuai dengan kemampuan yang dilihat dari segi sdm (pengetauan, usia dan populasi), ekonomi, sosial (kelompok tani), serta memperhatikan kondisi lingkungan sehingga pola tanam, penggunaan pupuk, serta jenis tanaman pangan dapat disesuaikan. Lantas siapa yang bergerak? Semua elemen masyarakat wajib terhubung. Terutama para mahasiswa para intelektual, karena mereka memiliki ruang yang luas untuk memikirkan konsep serta bergerak dalam mengatasi tantangan ini.

 Indonesia sedang mengalami krisis sektor pendukung pertanian, negara-negara ASEAN lainnya seperti, Thailand, Vietnam, Myanmar, Kamboja, dan Laos telah membentuk aliansi pengekspor beras. Artinya Indonesia menjadi tempat yang subur untuk menjadi pasar. Sangat jelas ini merupakan sebuah tantangan. Indonesia, sudah waktunya untuk sadar dan mulai mempersiapkan diri. Akan tetapi selama pemerintahan yang korup belum bisa ditekan, para elit berebut citra, dan nasionalisme dangkal masih bercokol. Ironi tetap menjadi ironi. Negeri padi tinggalah goni.

Jelas hal ini merupakan suatu tantangan bagi seluruh elemen bangsa. Mari kita perhatikan kembali. Secara tersirat masih ada tradisi yang secara terakumulasi telah dirasakan dan dijalani oleh para petani kita, khususnya yang masih bersifat subsisten. Subsistensi pada dasarnya juga bentuk dari suatu kebudayaan petani, yang mana bertani merupakan way of life. Way of life mencakup cara berpikir dan, bercipta, cara berasa dan mengekspresikan rasa, dan cara berbuat dan berkarya. Petani tersebut memiliki cara dan sikap tertentu kepada alam. Dengan segala bentuk dari hasil kebudayaan masih melekat dalam dirinya.

Memahami konteks masyarakat petani yang subsisten sangat diperlukan guna memperhalus pendekatan, pembimbingan, dan pendampingan yang hendak dilakukan. Borda (dalam Raharjo, 2004) pernah berkata untuk menggambarkan kelompok petani tersebut, bahwa “gerak hanya terjadi bila diciptakan oleh kekuatan dari luar, dan itu pun diterima sedikit atau bahkan tanpa reaksi’. Dari Borda kita dapat menangkap suatu tanda, bahwa perihal menjalankan strategi, dituntut konsistensi, intensifitas, dan menjauhkan sifat “terburu-buru”. Dalam menghadapi tantangan ini, sama halnya seperti mendidik. Filosofi “ing ngarsa sun tulada, ing masya mangun karsa, tut wuri handayani” sebaiknya benar-benar diresapi agar terhindar dari sifat tergesa-gesa.

 ***

Penulis: Ibnu Nurhuda Kasendar 5 Articles
Pegiat Kajian Pedesaan dan Komunitas Pertanian. Penulis bisa dihubungi lewat email: Ibnunurhudakasendar@gmail.com

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.