Kisah Anak Madura: Sekolah Telah Menjauhkan Saya Dari Kampung

“Segala sesuatu yang ada padanya telah tampak sangat tua, kecuali matanya. Kedua matanya memiliki nuansa warna yang sama dengan warna lautan. Mata itu tampak bersinar riang serta tak tertaklukkan oleh apa pun.” 

– Ernest Miller Hemingway –

Saya ingin menulis atau lebih tepatnya bercerita tentang kampung yang landai di kepulauan kecil Sumenep, Madura. Kepulauan yang hanya berisi satu kecamatan, dan delapan desa. Tempat dimana arsip pengetahuan masa kecilku tersimpan dengan rapat. Tepatnya di pulau Poteran, kecamatan Talango.

Berjilid-jilid kenangan disana. Salah satunya perihal kenangan yang harus saya catat sejauh pikiran ini masih hangat untuk mengingat, sebelum situasi politik yang gila ini meringkus dan melenyapkannya. Seperti catatan penting kaum kiri yang dianggap membahayakan aparat Negara.

Tulisan ini hanya sekedar ingin mengabarkan nasib seorang anak nelayan yang tidak mahir melaut dan terasing di kampung halamannya sendiri.

Saya Kecewa

Saya akan mengewali tulisan ini dengan kata “saya kecewa”. Dalam kekecewaan itu kemudian saya merasakan puncak kenikmatan yang tinggi, yaitu menulis. Hanya dengan menulis saya bisa marah, bisa mengembara, dan bebas menjadi diri sendiri.

Rasa kecewa bermula disaat saya masih duduk dibangku kelas 3 SD kira-kira berumur 9 tahun. Pada waktu itu kekecewaan yang sama juga dirasakan oleh banyak pihak yang anti terhadap  Rezim Suharto. Mulai dari aktivis sampai pedagang sapi di Madura marah dengan pemerintah Orde Baru.

Sore itu saya pergi ke pantai, biasanya waktu sore kami bermain bola. Namun waktu itu saya tidak bermain bola karena bola plastik yang biasa saya mainkan sedang rusak. Untuk membelinya kembali kami masih belum cukup uang. Sebab itu untuk membeli bola kita harus menyisihkan uang saku sekolah yang tak seberapa dari orang tua, apalagi kondisinya Indonesia masih terjadi krisis ekonomi dan politik. Akhirnya saya dan teman-teman sepakat untuk memancing saja; mengisi kecerian sambil mengurangi rasa tegang.

Itu pertama kali saya ikut memancing. Pada waktu itu saya menggunakan pancing teman yang kebetulan bapaknya tidak pergi melaut. Saya bersenang hati  hingga pada akhirnya saya benar-benar memancing, tidak hanya memancing dalam khayalan dalam bentuk cerita tugas bahasa Indonesia. “Pergi Memancing di Hari Minggu.” Begitu tema karangan yang harus saya buat walaupun itu sedikit kontras dengan hari libur di kampung yaitu hari Jum’at. Hingga terpaksa saya harus berfikir keras menjadikan hari minggu sebagai hari libur.

Akhirnya saya memulai melempar kail seperti teman-teman yang lain dan dengan gampangnya melesat jauh kedepan, lima menit kemudian teman-teman dapat ikan. Tapi nasib sial terjadi pada saya waktu itu, saya tak berdaya mengendalikan pancing, ia tak mau melesat jauh, berapa kali kucoba dengan sedikit membujuk. Namun terus saja gagal.

“Keparat !!! ” ungkap saya dalam hati.

Saya menyaksikannya, betapa setiap mata dari teman-teman histeris menertawakan akrobatik ketololan saya. Saya pun menangis karena tidak kuat.

Karena tidak tega, teman saya membantu melemparkannya. Setelah itu saya berhenti menangis. Kami kembali serius beradu nasib satu sama lain, siapa yang akan membawa ikan paling banyak sebelum senja berakhir.

Berjam-jam saya duduk tak satupun ada tanda-tanda ikan mau datang. Saya kehilangan kesabaran, sambil berpikir kenapa memancing ikan dengan umpan yang baik saja tak secepat karangan yang sering saya tuangkan dalam mengarang cerita memancing? Dari situlah, saya berkesimpulan ternyata membaca lebih mudah dari pada prakteknya. Lantas siapa yang beruntung? Yang membaca, apa yang bisa bekerja untuk dirinya? Entahlah, saya tak ada jawaban pada pertanyaan ini.

Doktrin Sekolah Lebih Dominan

Sampai sekarang pun, saya masih tidak bisa memancing. Itulah kegagalan paling tragis yang saya alami sebagai anak pantai. Tapi pada waktu itu doktrin sekolah lebih dominan, saya merasa tidak kecewa. Saya kemudian membangun mimpi yang lain, menjadi pejabat sebelum tahu perilaku pejabat adalah bejat, adu Hoax, dan hanya membangun integritas daripada kualitas.

Rasa kecewa yang semakin berat itu dimulai dari doktrin sekolah yang selalu memberikan arahan pembenaran pada apa yang saya resahkan tentang nasib menjadi pemancing dilaut. Sampai memancing pun harus saya hindari. Saya harus jauh dari pantai, dan dituntut menjadi anak rumahan dengan segala keterbatasannya.

Sekolah menuntut saya untuk bisa baca-tulis. Upaya sekolah dengan didikan seperti itu sebenarnya bukan soal. Tapi pesan buruknya, saya dipaksa menjauh dari lingkungan desa. Meninggalkan kehidupan pantai dengan kecantikan karangnya, dan pasir dengan  beberapa kenangan masa kecil.

Ajaran sekolah yang demikian membuat saya resah. Hanya saja, saya tidak punya keberanian menuntut.  Keresahan bertambah ketika saya harus berkenalan dengan buku-buku filsafat di perguruan tinggi. Pasalnya, sewaktu sekolah saya sama sekali tidak pernah mendapatkan pengetahuan ini.

“Mungkin karena pelajaran Filsafat merupakan pelajaran sensitif di Indonesia. Oleh karena itu, filsafat tidak diajarkan di sekolah-sekolah formal.”

Semisal contoh kasus, saya juga harus meninggalkan kebudayaan seperti Rokat Laut; acara laut dengan berbagai kegiatan hiburan, yang bertujuan untuk mensyukuri hasil laut. Kepercayaan ini dianggap syirik.

Pendidikan sekolah  hari ini memang tidak mengajarkan bagaimana hidup bersama alam, sebaliknya malahan mendidik manusia untuk menaklukan alam. Maka, tak heran jika ajaran-ajaran nenek moyang selalu dianggap sebagai mitos dan tak perlu untuk dilestarikan. Setidaknya begitulah ajaran pendidikan warisan penjajah yang masih menjamur di negeri kita.

Saya jadi teringat teman saya yang terpaksa berhenti sekolah saat masih kelas 4 SD. Alasannya karena ekonomi dan biaya pendidikan mahal. Saya masih ingat alasan orang tuanya;

“Buat apa sekolah jika kemudian kamu akan tetap menjadi nelayan.” Ungkapnya.

Argumen itu sempat saya bantah sebagai anak yang merasa terdidik. Kemudian saya ingin membuktikan bahwa saya benar.

Segala upaya saya lakukan, mulai rajin membaca dan melanjutkan pendidikan sampai pada perguruan tinggi di kota dengan biaya yang bombastis. Jika dihitung biayanya bisa jadi modal ternak ayam bertelur. Keuntungannya bisa dibelikan makanan buat mahasiswa yang kekurangan gizi karena bayar SPP setiap semesternya.

Proses pendidikan yang saya lakukan di kota, ternyata tidak mampu membuktikan dan menjawab perkataan orang tua temanku dulu. Saya merasa kalah. Saya pun merasa bahwa memang pendidikan sekolah hanya menjauhkan saya dari kehidupan nyata. Dengan segala tipu daya-nya, saya harus merasakan keterasingan dari tempat kelahiran saya dulu. 

“Sekolah juga membuat saya menjadi masyarakat urban yang harus bertarung keras di kota-kota, lebih buruk dari pada bertarung di samudera. Walaupun tak ada ikan tongkol didapat, tak ada beban dan tekanan dari lingkungan.”

***

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.