Asholatu khoirumm minan nauum
Asholatu khoirumm minan nauum
Adzan subuh sudah berkumandang dari masjid yang tak jauh dari tempat kost dimana Juned masih terbaring di kasur. Kasur yang bahkan tak se-empuk kasur rumah sakit kelas elit. Namun dengan keadaan kasur yang ala kadarnya itu, ia tak pernah mengeluh. Karena kasur itulah yang mampu menopang letih badannya. Apalah arti kasur rumah sakit yang empuk sementara yang terbaring diatasnya adalah orang tak berdaya dan sedang menahan sakit yang di diderita. Toh juga dengan kasur butut itu ia masih bisa lebih produktif dari orang yang terbaring dikasur rumah sakit yang katanya lebih empuk itu.
“alhamdulillah”
Ia berucap syukur sambil beranjak dari tempat tidur dan memutuskan untuk menghentikan laju pikirannya tentang kasur empuk rumah sakit.
Tak pernah terlupakan olehnya apa yang harus diawali di pagi hari. Kala badan dan pikiran belum bisa diajak berpacu lari, ketika muka masih pucat pasi, saat mata masih belum berapi. Kopi, ya kopi ia tak pernah mau melewatkan minuman yang harus menyambutnya di awal hari itu. Kopi entah pahit ataupun manis, entah cuaca cerah atau berkabut entah hujan deras atau hanya sebatas rintik gerimis. Ia tak peduli, ia akan selalu membuatnya dan menikmatinya sewaktu pagi.
“Cabene niki bu, mbak, monggo”
Suara penjual cabe yang masih saja datar itu mulai terdengar baitnya. Suara khas mbok-mbok penjual pasar yang sudah tak asing lagi ditelinga Juned. Ya memang kamarnya berada di belakang pasar, tepatnya mungkin dibelakang penjual cabe itu. Sebuah pasar di Jogja yang mungkin tak pernah kehilangan kesepian. Mungkin juga tak pernah kehilangan suara penjual lombok yang rutin itu. Dengan logat jawa yang khas, mbok – mbok penjual cabe itu terus menawarkan dagangannya.
“cabenya mbak, mas, pak, niki mumpung lagi murah” cabe terus yang diucapkan tanpa terdengar nada bosan sedikitpun dari mbok penjual cabe . Hanya Juned yang mungkin terkadang bosan dengannya.
Dalam hati Juned bertanya “ kenapa harus cabe terus yang selalu kudengar setiap pagi? Hidup pagiku terasa pedas terus rasanya huuh”
Tak selang beberapa saat, terdengar suara wanita yang menanyakan harga cabe. Walaupun ia tak tahu siapa orang yang akan membelinya . Karena ia berada di ruangan kamar dibelakang penjual cabe , sehingga hanya suaranya yang terdengar.
“cabe merahnya sekilo berapa bu?”
“sekarang lagi murah mbak, wong panenene gek apik iki, dua puluh ribu saja”
“ ngga bisa kurang harganya bu?” sang pembeli mulai menawar
“ wah mbaknya ini, udah murah kok masih ditawar, yo wes tak kasih harga delapan belas ribu sekilonya gimana? sebagai penglaris deh” walaupun nadanya agak kurang enak tapi tetap saja di berikannya dengan harga yang dikurangi itu.
“wah kan ini di pasar to bu bukan di mall, jadinya kan bisa nawar hehehe” ledek mbak – mbak pembeli sambil sedikit tertawa kecil.
“lha iya mbak makannya kalau beli di pasar saja mbak, kalo di mall kan udah ngga bisa nawar lagi to” entah kenapa nada mbok de penjual cabe tadi berubah menjadi agak enak didengar.
Percakapan seperti itu hampir setiap hari didengarnya, entah saat harga cabe sedang melambung atau sedang murah murahnya. Ia tak pernah risih akan hal itu, justru dengan mendengarkan percakapan begitu, ia menjadi tahu naik turunnya harga cabe secara langsung dari penjual dan pembelinya. Tidak hanya tahu dari berita cabe yang selalu di update perkembangannya di TV.
“hmm sendainya di belakangnya itu hypermart atau mall, pasti tak ada percakapan dan dialog tawar menawar yang selama ini masih didengarnya setiap pagi”. Gumamnya dalam hati.
Tapi untuk saat ini ia memilih untuk menghiraukan suara tukang cabe yang menawarkan dagangannya ataupun percakapannya dengan pembeli. Ia memilih menghidupkan TVnya yang sudah menjadi benda penghibur setia dan pewarta pribadinya tentang dunia selama 4 tahun terakhir ini. Atau tepatnya sebagai teman sebelum waktu malam sebelum ia memejamkan mata. Ketika ia menyalakan tv ia langsung dihadapkan dengan kartun berbentuk spons berwarna kuning. Dengan perasaan agak kesal ia langsung pindahkan saja ke chanel yang lain. “Toh juga waktu kecil sudah kenyang dengan yang namanya kartun” pikirnya.
Stasiun tv yang baru saja ia pindahkan sedang memberitakan tentang kasus bunuh diri di negara Jepang yang jumlahnya fantastis. Sambil menyeruput kopinya yang masih hangat itu ia masih belum teringat akan suatu hal apapun. Sampai pada kata – kata dalam berita menyebutkan tempat terjadinya bunuh diri yang fantastis itu. Kasus bunuh diri yang diberitakan menurut sumber yang didapat kebanyakan orang – orang yang bunuh diri itu mengehendaki perbuatannya karena masalah keuangan dan tekanan dalam pekerjaan yang terlalu berat.
”Dari sumber yang kami terima kasus bunuh diri paling banyak terjadi di kota Tokyo” itulah kata yang terdengar dari berita televisi yang ia simak sambil meminum kopi pagi itu.
“sruuuuup, uhuk uhuk”
Sontak saja ia terperanjat kaget dan tersedak kopi yang sedang diminum padahal baru masuk ke tenggorokannya. Matanya melotot sambil mengucapkan sebuah nama seseorang gadis yang entah kenapa akhir – akhir ini jarang menghubunginya.
“Asri,, Asri,, Tokyo,, Tokyo,, aku harus menghubungi Asri “
Ya Asri, gadis yang selama ini menjadi kekasihnya, namun karena urusan pekerjaan menjadikan ia terpaksa menjalani hubungan jarak jauh dengan asri. Karena Asri mendapatkan pekerjaan di Jepang. Langsung saja dengan wajah cemas dan perasaan yang was – was Juned mengambil handphonnya lantas membuka menu kontak dan mencari nomer dengan nama Asri.
***
Sinar matahari sudah terasa hangat dan mulai mencerahkan kota Tokyo yang padat. Asri yang masih berdiri di atas jembatanpun mampu merasakan kehangatan sinar ciptaan Tuhan itu. Getar handphone di saku celana membuatnya tergugah dari lamunan. Ia mengambil handphone dan melihat nama seseorang laki – laki yang menghubunginya. Juned, ya seseorang yang akhir – akhir ini sengaja jarang dihubunginya karena waktunya hanya habis oleh pekerjaan yang banyak dan rumit. Setiap hari ia harus menginput data produksi perusahaan sparepart otomotif tempat ia bekerja. Ia tak tahu harus bilang apa kepada laki – laki yang sedang menunggu dirinya mengangkat telepon itu. Dari atas jembatan Asri merasakan angin yang berhembus, kadang sepoy kadang juga kencang seperti berusaha membawanya terbang. Tapi ia harus tetap mengangkat telpon dari Juned.
“hallo asri, kamu dimana? Kamu baik? Kamu tak apa?”
Suara dari dalam handphonnya itu memanggil – manggil dengan nada yang cemas. Tapi ia masih belum memutuskan apa yang akan dikatakannya kepada Juned.
“Asri kenapa kamu diam saja?, bukankan sudah dua minggu ini kamu pun diam tanpa kabar?”
Suara laki – laki itu membuatnya ragu untuk mengatakan apa yang harus dikatakan, karena takut membuatnya sedih dan terluka. Setengah menit berlalu, laki –laki di telepon itu masih menunggunya untuk bicara. Asri belum berani mengatakan apa yang harus dikatakan. Tapi ia tetap harus berbicara dan mengatakan sesuatu walaupun hanya dua tiga patah kata. Tangannya mulai bergerak menempelkan handphone di telinga kanannya. Mulutnya mulai bergerak seperti mau mengatakan sesuatu kepada laki – laki yang sedang menunggu dirinya untuk bicara lewat telepon itu.
***
Sudah setengah menit lebih Juned menungu dengan handphone menempel ditelinganya menunggu Asri untuk berbicara, sudah satu gelas kopi yang diserutupnya, hanya ampasnya yang tersisa. Tiba tiba terdengar suara dari handphonnya. Suara wanita yang terkesan lemas dan seperti suara seseorang yang sudah tak punya harapan dengan apapun. Tapi bagi Juned suaranya masih saja menghanyutkan ketika terdengar, atau juned yang terlalu menaruh hatinya dengan wanita dengan suara yang saat ini lemas seperti tak berdaya itu.
“Juned, maafkan aku, aku tak bisa lagi melanjutkan hubungan kita, doakan saja aku pergi dengan tenang”
“Asri apa yang kamu katakan? tak usahlah bicara macam – macam”
Belum sempat Juned meneruskan kalimatnya, telepon sudah terputus.
Tut… Tut… Tut…
Yogyakarta 5 maret 2016.
Abdulah. Penulis adalah Mahasiswa Kebijakan Pendidikan 2013 UNY, Anggota divisi Desain, Publikasi dan Hubungan Masyarakat Mazhab Colombo
Leave a Reply