Kredibilitas Media Mas(s)a Kini Ditinjau dari Teori Komunikasi Massa

Abad ke-21 merupakan periode terjadinya revolusi komunikasi secara global,  hampir dibelahan dunia ini tidak ada yang bisa luput dari genggaman media massa. Dalam keseharian kita pasti tak dapat dipungkiri bahwa media massa sebagai penyalur infromasi menjadi kebutuhan yang mendasar terutama bagi mahasiswa yang merupakan kaum intelektual untuk mendapatkan informasi sebagai penunjang perkuliahan dan sebagainya, pebisnis yang mencari informasi tentang harga saham suatu perusahaan dan lain sebagainya.  Media massa seolah menjadi kepentingan dan kebutuhan mendasar di era kini, dan karena itulah munculnya banyak informasi yang jumlahnya ribuan, jutaan, dan bahkan milyaran informasi ada dalam keseharian manusia. Dengan kata lain di dunia ini sedang terjadi ledakan komunikasi yang besar.

 Ledakan komunikasi (the communication explosion) ini melibatkan infosphere – sociosphere – psycosphere yang membentuk dan mengubah cara hidup kita. Namun seperti yang kita ketahui, di era globalisasi kini media massa datang dan membombardir kita dengan informasi yang sangat beragam dan dengan berbagai sudut pandang pula.  Mulai dari media cetak, media elektronik, hingga media baru (internet). Tak heran  seringkali kita skeptis dan  kurang percaya terhadap informasi yang disediakan oleh media. Karenanya penting bagi kita untuk mengetahui model seperti apakah  yang disajikan oleh  media massa..

Teori  Komunikasi pada Media Massa

Media massa adalah media komunikasi dan informasi yang melakukan penyebaran informasi secara masal dan dapat diakses secara massal pula ( Bungin, 2014  : 72). Dalam hal ini media masa memiliki cara-cara tertentu dalam menyampaikan alur-alur informasi yang ada pada masyarakat.

Pada diskusi ini dibatasi periodenya yakni pada masa Perang Dunia I karena pada saat itulah banyak diantara para petinggi militer dan pemimpin dunia melakukan propaganda melalui media massa. Hitler, pimpinan partai Nazi yang menggunakan media massa untuk propaganda secara maksimal , media massa dikontrol secara ketat oleh kementrian propaganda, informasi dibungkam hanya informasi yang berasal dari penguasa saja yang diperbolehkan untuk disebar. Tidak hanya dari media cetak saja , media elektronik seperti film Triumph of The Will juga menjadi film propaganda  yang berhasil membuat Jerman mengajak masyarakat Jerman untuk mendukung Nazi dalam Perang Dunia dan menampilkan kekuatan militer Jerman yang sangat perkasa, sehingga dapat menakuti lawannya. Begitu juga dengan yang terjadi di Italia, dengan kuasa Perdana Menteri Benitto Musolini yang memanfaatkan media massa untuk kepentingan fasismenya.

Dari sinilah munculnya para ahli komunikasi seperti Wilbur Schram ketika itu menyebut teknik propanda tersebut dengan nama Teori Jarum Hipodermik yang menganalogikan pesan komunikasi seperti obat yang disuntikkan dengan jarum ke bawah kulit pasien. Teori ini disebut juga dengan teori peluru yang mana khalayak dibombardir  oleh pesan-pesan yang disebarkan oleh media , sehingga khalayak tidak berdaya dengan terpaan pesan yang ‘ditembakkan’ oleh media dan akhirnya khalayakpun teterpa oleh informasi dari media massa tersebut. Perkembangan selanjutnya dari teori jarum hipodermik atau peluru ialah stimulus-respon yang dicetuskan oleh para behaviorisme bahwa  setiap stimulus akan mendapatkan respon secara langsung dan refleks, misalkan ketika kita tersandung batu maka respon tubuh akan mengartikan bahwa itu sakit, begitupula dengan khalayak bila terkena terpaan media maka mereka akan memberikan respon berupa pemahaman informasi atau emosi seperti takut, sedih dan senang. Pada masa ini ,sisi kredibelitas media massa sangat dominan karena sedikitnya informasi yang berkembang serta pengontrolan ketat pesan yang akan disampaikan pada khalayk, sehingga masyarakat ketika itu dengan mudah menerima pesan dari media massa.

Teori Jarum hipodermik , peluru dan S-R ini kemudian dikritik oleh Paul Lazarfeld dengan penelitiannya pada kampanye pemilu Presiden 1940 di daerah Erie County ( New York) tentang pengaruh media massa dan efeknya pada masyarakat. Hasilnya adalah sebanyak lima persen (5%) dari responden yang mengalami perubahan sikap setelah melihat pesan media secara langsung. Selebihnya responden terpengaruh oleh interaksi pemilih dengan sosialnya seperti pemuka adat, keluarga teman dan sebagainya.   Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah media massa berfungsi memperteguh pendapat atau keykinan yang ada. Pengaruh interpersenola dan kelompok lebih dominan daripada media massa.  Khalayak juga bukan merupakan tubuh yang pasif yang menerima apa saja yang disuntikkan pada tubuhnya. Khalayak menyaring infromasi tersebut secara proses yang disebut persepsi selektif . Selanjutnya gagasan teori Lazarfeld ini disebut sebagai Two Step Flow Communication atau komunikasi dua tahap.

Setelah para peneliti media menyadari betapa sukarnya melihat efek media massa pada khalayak, para peneliti kemudian memfokuskan apa yang dilakukan oleh khalayak terhadap media. Dari arah komunikator ke komunikan, dari sumber ke penerima. Apa yang mendorong kita untuk menggunakan media , mengapa kita senang dan membenci media x. Disinilah  khalayak dianggap aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuhannya. Pendekatan ini dikenal dengan Teori Uses and Gratification, penggunaan dan pemuasan. Menurut para pendirinya Elihu Katz, jay G. Blumer, dan Michael Gurevitch (1959)  bahwa pertama ,khalayak dianggap sangat aktif dan selektif dalam memilih pesan. Kedua, media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan kebutuhannya. Contohnya , seorang mahasiswa harus mengetahui perkembangan teknologi komunikasi yang terbaru, maka dia harus mencari informasi dan media manakah yang menyediakan infromasi tersebut. Dengan  aktifnya pengguna media jelas mempengaruhi media – meda massa lain untuk lebih kreatif  dan menentukan segmentasi pembacanya. Media massa pada masa ini memiliki kredibilitas yang tinggi karena media harus mengikuti pola konsumennya serta sangat berhati-hati dalam memberikan informasi kepad khalayaknya karena sedikit saja salah , maka konsumen akan berpindah kepada media lain yang lebih kredibel dan sesuai dengannya.

Berangkat dari teori Uses and Gratification , Maxwell E. McComb dan Donald L. Shaw pada tahun 1974 mencetuskan model Agenda Setting. Menurut dari teori ini, media massa memang tidak dapat mempengaruhi sikap khalayak, tetapi media massa cukup berpengaruh terhadap apa yang dipikirkan orang (Rakhmat, 2011 : 199). Hal ini berarti media massa memengaruhi persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting.  Misalkan, surat kabar ‘x’ memberitakan besar-besaran tentang peristiwa klitih di Jogja, maka khalayak mepersepsikan klitih sebagai hal yang identik dengan kota pelajar ini. Jika media ‘x’ mengiklankan tokoh partainya secara massif di televisi maka dia akan dianggap ebagai sosok sentral pada masyrakat. Pendeknya media massa memilih informasi yang dikehendaki dan berdasarkan informasi yang diterima , khalayak membentuk persepsinya tentang berbagai peristiwa. Teori agenda setting sampai jaman sekarang masih dikembangkan dan akhirnya media massa menjadi perkasa seperti pada teori jarum hipodermik. Sebenarnya masih banyak lagi teori komunikasi massa seperti Spiral of Silence, Uses and Effect dan lain-lain, namun  keempat model inilah yang paling sering digunakan oleh  media massa dalam proses komunikasi massa.

Kredibilitas Media Massa dan Agenda Settingnya

Dengan berasumsikan pada teori terakhir yaitu Teori Agenda Setting kita mungkin agak bersikap skeptis kepada media, karena di dalam proses penyampaian pesan kepada khalayak media massa menyaring berita, artikel atau tulisan yang akan disampaikan. Jalaludin Rakhmat menjelaskan dalam buku Psikologi Komunikasi bahwa secara selektif gatekeeper seperti penyunting, redaksi, dan bahkan wartawan sendiri menentukan mana yang pantas diberitakan dan mana yang tidak atau disembunyikan. Setiap kejadian atau isu diberikan bobot tertentu dengan panjang penyajian (raung dalam surat kabar, waktu pada televisi dan radio) dan cara penonjolan (ukuran judul, letak pada surat kabar, frekuensi pemuatan , dan posisi dalam surat kabar). Sebagai contoh surat kabar ‘x’ di Jogja memuat berita tentang klitih yang terjadi di wilayah Jogja, padahal pada saat itu ada berita tentang kasus E-KTP yang menjerat beberapa tokoh politik di Indonesia. Jika berita klitih ditampilkan dengan judul yang besar hampir memenuhi setengah halaman depan, sedangkan berita korupsi besar yang mengambil triliunan rupiah uang rakyat ditampilkan di halaman belakang dengan judul dan ukuran huruf yang kecil. Begitulah bagaimana media menyajikan peristiwa , itulah yang disebut agenda media.

            Dengan kemasan agenda media tadi jelas sekali bahwa media memiliki efek yang besar terhadap masyarakat. Media massa dapat dengan mudah membelokkan peristiwa dan agenda yang ada pada khalayak, yang menurut para ahli politik disebut ‘pengalihan isu’ atas apa yang telah terjadi. Hal tersebut ditambahkan bahwa media kini dikuasai oleh para elit politik yang memegng peranan penuh dalam dunia media massa. Sebut saja Hary Tanoe sebagai pemilik MNC Group, A.R Bakrie ( TVOne, ANTV, Vivanews), Dahlan Iskan pemilik JawaPos Group, Surya Paloh pemilik Media Group, dan  Chairul Tanjung pemilik TransCorp. Dari kepemilikan media yang mayoritas dimiliki oleh politisi tersebut, media dengan sangat mudah digunakan sebagai alat kepentingan politiknya dan alat hegemoni para elit politik. Antonio Gramsici menyebutkan dalam teori hegemoninya ;

“Sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.”

Sudah jelas bahwa sekarang media massa secara global  nampak lebih condong digunakan untuk menyalurkan hegemoni-hegemoni suatu kelompok atau yang berkepentingan kepada khalayak dengan menggunakan teori agenda setting ini, dan hal itulah yang menyebabkan kurangnya kepercayaan publik dan kredibilitas media massa. Dijelaskan oleh Edelman dalam penelitiannya Edelman Trust 2017 bahwa media massa secara global kehilangan kepercayaan pada media hal ini ditunjukan dengan kemerosotan ecara global, ketidakpercayaan terhadap bisnis turun 1 poin (53 di tahun 2016 dan 52 tahun 2017). Ketidakpercayaan kepada media melorot 5 point. (48 ke 43). Sementara kepada pemerintah dan LSM, berturut-turut, susut 1 poin (42 ke 41) dan ke LSM dari 55 menjadi 53. Suatu kemerosotan yang drastis bagi media dibandingan dengan sektor publik lainnya seperti pemerintah,bisnis dan LSM yang hanya satu sampai dua poin saja,  media turun drastic sebesar lima poin. Mengapa bisa demikian? Edelman menjawab “ People now view media as part of The Elite ”. Kemerosotan kredibilitas media massa juga dibuktikan dengan boikot penggunaan media pada sejumlah media dan diet media yang banyak dilakukan oleh masyarakat dewasa ini.

Referensi :

Bungin, Burhan. 2014. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan DiskursusTeknologi Komunikasidi Masyarakat. Jakarta. Prenada Media Group.

Edelman. 2017 Edelman Trust Barometer. http://www.edelman.com/global-results/. Diakses pada 6 April 2017, pukul 15.08 WIB.

Patria, Nezar. 1999. Antonio Gramsci Negara & Hegemoni. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Rakhmat, Jalaluddin. 2011. Psikologi Komunikasi. Bandung. Rosdakarya.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.