Reza Ikhsan Fadilah (9), seorang murid kelas III SD Cincin I di Kabupaten Bandung. Tubuh kecilnya dijadikan sasaran tiga murid SMP untuk mempraktikkan gayaSmackdown yang sering ditonton di televisi. Reza dibanting, kepalanya dihujamkan ke lantai, dan kemudian tangannya ditekuk. Persis seperti John Cena mengalahkan lawan-lawannya (Suara Merdeka, 2006).
Kasus diatas menunjukan bahwa pengawasan dan pembelajaran untuk memehami media sangatlah penting mengingat bahwa media memiliki dampak yang luas bagi kehidupan manusia. Manusia menciptakan teknologi, dan teknologi yang menggunakan media membentuk perasaan, pikiran, serta tindakan manusia(McLuhan).
Jika menilik sejarah, reformasi boleh dibilang hanya mengantarkan pergantian rezim rezim pengkooptasi dunia penyiaran dari rezim politik kerezim ekonomi. Selama tidak kurang dari 30 tahun kegiatan penyiaran berada dibawah rezim politik otoritarianisme Orde Baru. Reformasi memindahkan pada kooptasi para pengusaha lembaga penyiaran yang kadang tidak kalah otoriter dibanding penguasa sebalumnya. Problematika penyiaran yang menjadi kegelisahan banyak kalangan dapat dikanalkan menjadi dua problem mendasar. Pertama, kuatnya orientasi akumulasi modal / kapital dalam benak para penyelenggara lembaga penyiaran swasta. Kedua,adanya kolaborasi kepentingan politik dengan kepentingan ekonomi pada pemilik lembaga penyiaran. Dua problem ini melahirkan banyak problem turunan, diantaranya : monopoli kepemilikan lembaga penyiaran, isi siaran yang sarat akan kepentingan dan muatan politik, dominasi program – program hiburan atas program pendidikan yang seringkali tidak memperhatikan dampak psikis bagi para penonton, terutama anak dan remaja. Lebih dari itu, program siaran di Indonesia sangat gemar menjadikan anak, remaja, perempuan, kelompok marjinal dan kelompok yang berkebutuhan khusus, bahkan agama sebagai objek eksploitasi siaran tanpa peduli dampak psiko-sosial yang ditimbulkan. Singkatnya, “Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa yang mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial” sebagaimana yang tercantum dalam UU no.32 tahun 2002 tentang Penyiaran, terancam hilang ditelan logika industri yang berorientasi pada akumulasi modal / kapital dan kepentingan politik para lembaga penyiaran.
Mayarakat kita adalah masyarakat drama. Dengan tayangan yang saat ini didominasi oleh program-program yang menyajikan aksi lawakan, kriminal, tayangan horror serta, berita-berita buruk tentang Indonesia, pada akhirnya membentuk masyarakat yang gemar akan hal-hal dramatis, sensual dan berbau mistik. Lantas, apa yang harus kita lakukan? Kita harus melek media.
Kita memimpikan adanya masyarakat yang memiliki kesadaran dan kemampuan untuk bersikap terhadap kualitas penyelenggaran penyiaran. Terutama pada kualitas konten, baik itu televisi, internet, koran ataupun saluran media yang lain. Tidak dapat dipungkiri, literasi media berperan besar dalam hal ini.
Literasi media memberi suatu kemampuan, pengetahuan, kesadaran rasional dan keterampilan secara khusus kepada khalayak sebagai pembaca media cetak, penonton televisi, pendengar radio dan pengguna internet agar mereka bisa melek media. Artinya, ketika mereka dapat mengonsumsi produk media massa dengan sadar dan rasional dengan kemampuan khusus yang mereka miliki sehingga mereka bisa bersikap ketika menerima impuls konten siaran yang tidak rasional atau bertentangan dengan stock of knowledge. stock of knowledge seseorang dibentuk melalui pengalaman keseharian, lingkungan, pendidikan dan budaya. Gerakan literasi media inilah sebagai usaha sadar dan sistematis yang digunakan untuk mengoptimalkan kemampuan tersebut.
Gerakan Mahasiswa Baru
Pasca reformasi, gerakan (bahkan gerakan sosial secara umum) mahasiswa memang mengalami stagnasi. Ia seperti berada dipersimpangan jalan dan kebingungan hendak memilih simpang mana untuk melanjutkan perjuangan. Gerakan mahasiswa yang disatukan ideologi dan cara pandang yang memosisikan negara dan pasar (kapitalisme) sebagai musuh bersama diakui atau tidak sekarang seperti kehilangan relevansi. Setidaknya kehilangan energi.
Di era media baru ini, saatnya merevitalisasi atau paling tidak mendefinisikan ulang gerakan mahasiswa pasca reformasi, dimana keran demokrasi telah terbuka lebar. Perkembangan pola komunikasi mengalami perubahan yang sangat drastis sejalan dengan perkembangan teknologi komunikasi yang hampir setiap hari mengalami perubahan. Sebagai contoh kecil, aplikasi yang terpasang dalam smartphone kita setiap beberapa minggu sekali secara manual maupun otomatis harus terupgrade. Jika tidak, maka fitur-fitur terbaru dari aplikasi tersebut tidak dapat kita nikmati. Akibatnya, kita dianggap kuper, “punya smartphone kok enggak smart”, seperti itu kasarnya. Konkretnya, sebagai sebuah energi yang bergejolak, mahasiswa harus mampu memposisikan diri dan mampu mengambil sikap tegas terkait perkembangan teknologi dan media yang saat ini menjadi pedang bermata dua bagi bangsa Indonesia, menyelamatkan atau menghancurkan. Bila mahasiswa mampu berbicara banyak dan ikut dalam gerakan literasi yang sedang berkembang, atau bahkan menjadi pelopor atas terciptanya masyarakat yang melek media, maka dapat dipastikan perkembangan media kedepan akan sesuai dengan fungsi-fungsi ideal media yaitu informasi, edukasi, hiburan serta kontrol dan perekat sosial.
Putu Fahrudin. Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2014 UNY, anggota HUMAS Mazhab Colombo
Leave a Reply