Mak,
Tabukah jika aku mengolok-olok rumah kita?
Bagaimana tidak Mak,
Rumah kita bagai panggung cerita komedi yang tak jelas alur ceritanya.
Mak,
Bolehkah aku menyebut ini sebagai sebuah tragedi?
Bagaimana tidak Mak,
Rumah kita yang bernuansa romansa menjelma menjadi tragedi kisah anak muda yang menganggap masa depan sebagai kunci yang katanya demi kesuksesan.
Mak,
Apakah rumah kita adalah negeri yang rapuh?
Bagaimana tidak Mak,
Para pemuda berlomba-lomba membasmi malas namun justru tertindas nafsu.
Mak,
Katanya rumah kita banyak dihuni oleh orang-orang yang payah?
Bagaimana tidak Mak,
Kita diperintah oleh mereka yang selalu tidur lelap, terbuai oleh tatapan si kupu-kupu nakal, sembari menghitung investasi dari sumber yang entahlah.
Mak,
Apa benar rumah kita adalah kapitalisme yang keruh?
Bagaimana tidak Mak,
Para buruh dimanfaatkan, peluh diperas sampai-sampai tak diijinkan berteduh.
Mak,
Bukankah rumah kita adalah Nusantara?
Bagaimana bisa kita berdiam diri menyaksikan tragedi ini Mak?
Sedangkan aku dan kau adalah pelaku bersenjata air mata.
Mak,
Kita adalah rakyat bukan?
yang berharap lebih untuk diayomi.
Tapi Mak,
Aku cukup malu merayu rumah kita sendiri.
Sekedar membawa pagiku tak segera beranjak lantas termakan mentari.
Mak,
Bolehkah aku untuk tak tinggal di rumah kita?
Maukah kau melarangku untuk pulang?
Bagaimana tidak Mak,
Aku cukup nyaman tinggal disini.
Aku hanya ingin tinggal di rumah hatimu.
***
Leave a Reply