Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tidak banyak diterapkan dalam praktek pendidikan nasional kita hari ini. Semboyan “Ing ngarso Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani” hanya menjadi slogan di institusi-institusi pendidikan. Sementara patung Ki Hadjar Dewantara hanya dijadikan penghias halaman sekolah atau perguruan tinggi saja. Padahal konsep pendidikan yang di gali Ki Hadjar Dewantara mengajarkan kita “Menjadi Manusia Merdeka.”
Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara, merupakan sekolah pertama yang memperkenalkan nilai-nilai kebangsaan di tengah hegemoni sekolah-sekolah Kolonial. Tujuannya jelas, supaya dijadikan pembelajaran untuk pendidikan hari ini, dimana nilai kebangsaan dalam pendidikan adalah aspek terpenting dalam membangun peradaban Indonesia yang lebih baik.
Sejak awal berdirinya, Taman Siswa memperjuangkan kurikulum kebangsaan. Kurikulum yang menanamkan Pelajaran kebangsaan yang dapat membangun kesadaran kemerdekaan diri dan kebudayaan bangsa sendiri. Perencanaan pendidikan di Taman Siswa terkait mengenai pelajaran formal tidak terlalu berbeda dengan sekolah formal yang didirikan oleh pemerintah Belanda, hanya kemudian Ki Hadjar Dewantara menambahkan rasa kebangsaan dan kebudayaan sendiri didalamnya.
“…,tentang peladjaran oemoem koerang lebih sama dengan leerplan goebernemen. Tambah peladjaran roepa-roepa jang berfaedah oentoek penghidoepan oemoem, oentoek penghidoepan orang perempoean, oentoek keperloean kebangsaan, kebidjakan oemoem dll,” Izmi Rizal, dalam buku; Konsep Paguron Ki Hadjar Dewantara Dalam Taman Siswa 1922-1945.
Memang untuk pembelajaran formal Taman Siswa tidak berbeda dengan sekolah pemerintah, namun Taman Siswa memberikan pelajaran-pelajaran lain yang tidak diajarkan di sekolah pemerintah. Hal ini menjadikan Taman Siswa unik dan berbeda, keunikan ini ditambah dengan suatu konsep yang diterapkan dalam pendidikan di taman siswa yaitu konsep paguron.
Taman Siswa menamankan dirinya Perguruan atau dalam bahasa Jawa Paguron yang berarti tempat tinggal guru. Taman siswa menerapkan konsep bahwa dalam menuntut ilmu, murid lah yang datang ke rumah guru untuk menimba ilmu bukan sebaliknya. Rumah guru juga dijadikan sebagai tempat belajar dan asrama bagi para murid yang rumahnya jauh dari sekolah.
Dari buku yang ditulis oleh Marzuki, Pendidikan Ideal Persfektif Tagore dan Ki Hadjar Dewantara dalam Pembentukan Karakter Peserta Didik. Konsep paguron yang diterapkan di Taman Siswa memberikan warna berbeda bagi dunia pendidikan. Pendidikan yang diberikan tidak hanya berjalan di kelas semata, namun juga terjadi diluar kelas didalam kehidupan sehari-hari. Sebagai pendukung dari pola pendidikan menyeluruh ini, Taman Siswa menyediakan pondok asrama atau dikenal dengan wisma. Ki Hadjar Dewantara hendak membentuk suatu lingkungan pendidikan yang berlandaskan kekeluargaan. Keseluruhan kegiatan pendidikan baik didalam kelas maupun di luar kelas disebut dengan jam pendidikan.
Jam belajar dalam konsep paguron Taman Siswa bukan seperti “jam kantor” atau “jam bicara.” Perguruan tidak mengenal “schooltijd”, waktu sekolah, atau “schooluren” jam sekolah. Jam paguron Taman Siswa adalah jam kehidupan keluarga sepanjang hari, dikenal dengan tugas kita. Jadi jam belajar paguron itu berlangsung selama 24 jam.
Ki Hadjar Dewantara benar-benar ingin menerapkan pola kekeluargaan dalam kegiatan pengajaran dan pendidikan. Terlihat dari sebutan “bapak” dan “ibu” kepada pamongnya (guru). Taman Siswa lah yang memprakarsai penyebutan itu. Menurutnya, panggilan bapak dan ibu dapat meningkatkan ikatan emosional antara anak dan pamongnya, serta meningkatkan hubungan anak dengan lingkungan sekolahnya. Dengan demikian anak akan merasakan suasana sekolah sama seperti dirumah.
Pendidikan Kodrat Alam
Ki Hadjar Dewantara menjelaskan pemahaman terkait pendidikan yakni; “Menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Mendidik anak itu sama dengan mendidik masyarakat, karena anak merupakan bagian dari masyarakat. Mendidik anak berarti mempersiapkan masa depan anak untuk berkehidupan lebih baik, demikian pula mendidik masyarakat berarti sama saja mendidik bangsa.”
Pendidikan bagi Ki Hadjar Dewantara adalah upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelektual), dan fisik (jasmani) peserta didik. Peserta didik dapat berkembang ketika pendidikan dilakukan dengan penuh kesadaran tanpa adanya paksaan dari manapun. Pendidikan adalah buah budi manusia yang beradab dan buah perjuangan manusia terhadap dua kekuatan yang selalu hadir dalam realita, yaitu kodrat alam dan zaman. Dengan demikian, pendidikan itu sifatnya hakiki bagi manusia sepanjang peradabannya seiring perubahan zaman dan berkaitan dengan usaha manusia untuk memerdekakan dirinya, baik lahir maupun batin.
Pandangan demikian merupakan kritik Ki Hadjar Dewantara kepada mode pendidikan Kolonial yang berdasar kepada asas “kepatuhan,” regeering, tucht, en orde (paksaan, hukuman dan ketertiban). Menurutnya, konsepsi pendidikan yang berdasar kepada kepatuhan akan membuat peserta didik jauh dari kesadaranya sebagai manusia. Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa pendidikan haruslah berlandaskan kepada pembentukan budi pekerti manusia, dan pendidikan harus didasari pemahaman sebagai “tuntunan” atau orde en vrede (tertib dan damai) untuk menjadi manusia seutuhnya.
Pendidikan budi pekerti atau karakter yang dimaksud Ki Hadjar Dewantara yaitu bulatnya jiwa manusia, bersatunya gerak pikiran, dan kehendak atau kemauan yang akan menumbuhkan semangat manusia sebagai individu dan sosial serta dapat memerintah atau menguasai dirinya sendiri, mulai dari gagasan sampai tindakan. Ki Hadjar Dewantara menyebutnya sebagai manusia yang beradab dan itulah tujuan utama pendidikan Indonesia. Ki Hadjar merinci tiga fase perkembangan pendidikan, yaitu:
Hamemayu Hayuning Sariro, yang berarti pendidikan berguna bagi yang bersangkutan, keluarganya, sesama dan lingkungan. Disini sangat jelas apa arti manusia sebagai makhluk individu dan sosial.
Hamemayu Hayuning Bongso,yang berarti pendidikan berguna bagi bangsa, negara dan tanah airnya. Bagaimana peserta didik natinya memainkan peranan sentral dalam menentukan arah perkembangan bangsa dan negaranya, tentu dalam fase ini pendidikan kebangsaan lah yang lebih ditekankan.
Hamemayu Hayuning Bawono, yang berarti pendidikan berguna bagi masyarakat dunia. .
Dalam mempersiapkan generasi penerus bangsa yang berbudi luhur, pendidikan harus mampu melakukan transformasi ilmu pengetahuan dan karakter kebangsaan. Yang menarik adalah penggunaan terminologi Wirama dalam konsepsi pembentukan karakter kebangsaan oleh Ki Hadjar Dewantara. Wirama adalah sifat tertib serta hidupnya laku yang indah sehingga dapat menciptakan rasa senang dan bahagia.
Wirama meliputi empat unsur penting yaitu; (1) mempermudah pekerjaan, (2) mendukung gerak pikiran, (3) mencerdaskan budi pekerti, dan (4) menghidupkan kekuatan dalam jiwa manusia. Keempat unsur ini merupakan syarat paling efektif dalam pembangunan karakter kebangsaan. Wirama akan membiasakan manusia menghargai harmoni dalam keberagaman, hal yang sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia dengan segala keberagamannya. Dengan harmoni maka manusia akan selalu menyelaraskan hidupnya dengan lingkungannya serta menjaga kemerdekaan diri tanpa harus mengusik kemerdekaan orang lain. Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa konsep wirama ini sudah ada dalam adat-istiadat dan budaya Nusantara.
Bagi Ki Hadjar Dewantara, pendidikan memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan guna membangun bangsa secara sistematis dengan melihat realita yang terjadi dan menentukan tujuan bangsa kedepannya.
Menjawab Tantangan Pendidikan Hari ini
Krisis multidimensial yang dihadapi dunia ini semakin pelik disaat arus globalisasi kontemporer telah menjalar ke berbagai lini kehidupan. Dunia mengalami penetrasi globalisasi yang cepat dan luas cakupannya. Dalam konteks pendidikan, kemajuan iptek membutuhkan perhatian serius karena dunia pendidikan adalah sarana paling efektif dalam penyebaran iptek. Sistem pembelajaran konvensional, dimana adanya interaksi masif antara guru dan murid, perlahan mulai tersisihkan.
Saat ini proses pembelajaran tidak melulu berkutat di ruangan kelas, tetapi juga telah menggunakan media digital, online. Kondisi ini lah yang membuat profesi guru telah dikesampingkan peran moralnya, dimana guru hari ini hanya dimaknai sebagai suatu pekerjaan saja. Menyikapi hal tersebut, guru sebagai aktor utama pendidikan tidak boleh memalingkan wajahnya, dan menutup mata-telinganya. Guru hari ini harus lebih pintar dan cerdas, khususnya dalam penguasaan media teknologi.
Sosok guru sekarang haruslah mampu berkamuflase atau menyesuaikan diri dimana dan dalam situasi apa mereka berada. Karena kemajuan teknologi berpotensi membuat anak cepat puas dengan pengetahuan yang diperolehnya, sehingga menganggap apa yang diperolehnya dari internet atau teknologi lain adalah pengetahuan yang bersifat final. Padahal informasi yang didapatkan dari internet tidak jelas sumbernya, dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Atas dasar kondisi inilah, guru harus mampu membimbing anak didiknya ke arah yang lebih progresif, dengan mengedepankan kultur akademis.
Guru sebagai elemen penting dalam pendidikan tentu memikul tanggung jawab besar terhadap arah gerak pendidikan bangsanya. Sebagaimana Ir. Soekarno menyebutkan Tiga Soko Guru utama yang ada dalam pengajaran dan pendidikan, yaitu Ruh Kerakyatan, Ruh Kemerdekaan dan Ruh Kesatriaan. Ketiga soko guru itulah yang nantinya diajarkan dan ditanamkan seorang guru kedalam jiwa muridnya, supaya karakter bangsa Indonesia melekat di dalam sanubari mereka.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Bung Karno dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I, Menjadi Guru Dimasa Kebangunan.
“Hanya guru yang benar-benar dapat membawa anak kedalam alam kebangunan. Hanya guru yang dadanya penuh dengan jiwa kebangunan dapat menurunkan kebangunan ke dalam jiwa anak.”
Tidak melulu soal guru, civitas akademik pun memiliki peran penting dalam upaya memajukan pendidikan nasional. Seharusnya kita mampu untuk menciptakan wajah-wajah baru dalam dunia pendidikan nasional. Sebagai upaya memunculkan warna yang lebih cerah dan baru terhadap pendidikan agar pendidikan nasional kita dapat lebih berkembang dalam menyikapi zaman. Sikap kritis, selektif, dan solutif lah yang dibutuhkan untuk dapat membantu memajukan pendidikan nasional.
Hari ini kita perlu men-dekonstruksi ulang kembali pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara, untuk merefleksikan dan memahami realita persoalan pendidikan hari ini. Bangunan konsepsi pendidikan kodrat alam sangat cocok untuk diimplementasikan, mengingat banyaknya persoalan pelik yang dialami oleh bangsa ini, sehingga terjadi suatu fenomena degradasi intelektual dan moralitas.
Kemajuan teknologi terkadang tidak melulu membawa dampak positif bagi perkembangan peradaban kita. Tentu pendidikan memainkan peranan penting dalam menghadapi realita sekarang. Ki Hadjar Dewantara telah mengajarkan kita untuk tidak bergantung dengan hal lain diluar diri kita tanpa mengesampingkan harmonisasi alam.
Dalam konteks ini, pendidikan bukan menjadi tujuan mencerdaskan kehidupan individu, tetapi haruslah mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai dengan cita-cita negara Indonesia merdeka. Itulah yang Ki Hadjar Dewantara ajarkan kepada kita, tujuan akhirnya adalah Hamemayu Hayuning Manungsa.
Dengan demikian, pendidikan itu sifatnya hakiki bagi manusia sepanjang peradabannya, baik lahir maupun batin. Sehingga manusia tidak lagi bergantung kepada kekuatan diluar dirinya, tetapi bersandar atas kekuatannya sendiri.
***
Leave a Reply