Menguatnya Politik Keagamaan dan SARA di Pilkada Jakarta

Pada tanggal 4 November 2016 yang lalu Ibu Kota Jakarta dipenuhi oleh lautan manusia dari pelbagai daerah yang melakukan aksi demonstrasi untuk menuntut keadilan terkait dugaan kasus penistaan agama yang menjerat Basuki Thajaja Purnama (Ahok) Calon Gubernur DKI Jakarta 2017. Aksi Demonstrasi ini menggugat aparat kepolisian dan pemerintah untuk cepat menangani kasus dugaan penistaan agama yang berawal dari fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menganggap bahwa Ahok dengan sengaja menghina ayat Al-Qur’an dan Ulama Islam. Setelah terjadinya aksi demonstrasi, Presiden Jokowi bertindak cepat agar kepolisian segera memproses kasus dugaan penistaan agama ini secara terbuka, independen, dan profesional. Hal yang menarik untuk dilihat dalam persoalan ini adalah ditumpanginya aksi demonstrasi oleh elit politik yang mempunyai kepentingan lain di luar tujuan massa aksi. Tidak dipungkiri lagi bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang religius dan bersifat reaksioner apabila hal-hal yang menyangkut keagamaannya diusik. Namun kita juga harus kritis terhadap orang-orang yang memanfaatkan isu keagamaan untuk politik praktis yang sebenarnya jauh dari nilai-nilai budaya nusantara. Disinggungnya Aktor-aktor politik yang memanfaatkan aksi damai 4 November yang lalu oleh Presiden Jokowi membuktikan bagaimana kekuasaan dan politik di Indonesia masih belum mempunyai kualitas luhur dan bersifat desdruktif dengan menggunakan isu SARA sebagai kendaraan mencapai tujuan kekuasaan.

Dari pidato Presiden tersebut kita mendapatkan manfaat penting bahwa isu SARA tidak hanya berhubungan dengan keagamaan saja namun sudah bercampur dengan banyaknya kepentingan politik terkait Pilkada DKI Jakarta. Kepolosan dalam berpolitik dan mudahnya masyarakat Indonesia di mobilisasi untuk membela Agama menyebabkan persoalan SARA sangat sensitif untuk dibahas ataupun di diskusikan secara terbuka dan rasional. Hal yang sebaiknya dilakukan oleh masyarakat Indonesia sekarang adalah bagaimana memupuk rasionalitas, berpikir mendalam, dan berdiskusi dengan argumen yang ilmiah untuk menyelesaikan persoalan SARA dengan hati yang damai. Kegaduhan di Indonesia akhir-akhir ini disebabkan oleh ketiadaan ruang publik untuk menelaah dengan kritis dimana posisi Agama, Umat, Organisasi Keagamaan, Politik, dan Pemerintah. Selama ini kita kurang begitu paham akan kelima hal tersebut dalam sebuah pemerintahan yang menganut sistem Republik, padahal seharusnya masalah ini dapat terselesaikan dengan mudah apabila kita mengetahui apa makna republik bagi demokrasi dan politik Indonesia. Karena bertahun-tahun kita tidak pernah membahas hal ini, menyebabkan persoalan SARA dengan mudah menciptakan kegaduhan-kegaduhan yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Hal yang menjadi kerancuan selama ini adalah ketidakjelasan urusan publik dan urusan privat di dalam sistem demokrasi kita. Indonesia merupakan negara yang menganut sistem Republik, yang berarti mengakui adanya batasan-batasan antara kepublikan dan keprivatan.
Selama ini urusan agama, umat, organisasi keagamaan, politik dan pemerintah bercampur aduk menjadi satu yang sebenarnya saling tumpang tindih dan sewaktu-waktu dapat memicu konflik yang besar. Misalnya ketika kampanye Pilkada, para kandidat selalu saja menggunakan janji-janji dengan melantunkan ayat-ayat suci keagamaan tertentu dengan dalil-dalil surgawi agar dirinya dapat terpilih menjadi pemimpin daerah. Para elit politik ini memanfaatkan ketidaktahuan dan kepolosan masyarakat Indoensia tentang pengetahuan politik untuk dimobilisasi sebagai modal utama mencapai kekuasaan. Sebenarnya apabila kita sering mendengar janji-janji elit ini tentunya begitu indah dan membahagiakan, namun ketika elit ini menjabat sebagai pemimpin daerah ternyata ada beberapa yang tersangkut tindakan korupsi yang di tangani kejaksaan dan KPK. Mereka di dakwa karena melakukan tindakan korupsi yang merugikan negara dan rakyat Indonesia. Padahal pada saat kampanye dahulunya elit tersebut memanfaatkan dalil-dalil agama untuk memenangkan pertarungan politik, ketika para elit ini terbukti melakukan tindakan korupsi dan dihukum oleh pengadilan, lantas apa pendapat MUI, dan FPI terkait masalah korupsi yang menjerat para elit yang memanfaatkan ayat untk kepentingan kekuasaan? Selama ini mereka berdiam saja, bahkan saya tidak mendengar fatwa haram untuk pejabat yang menggunakan dalil-dalil agama atau ayat-ayat tertentu untuk mencapai kekuasaan dan kemudian terjerat kasus korupsi.

Disinilah pentingnya kita mempelajari apa itu makna negara Republik, bahwa ada pembedaan yang jelas antara urusan politik dengan agama. Agama bersifat privat yaitu berhubungan kepercayaan individu dengan sang pencipta. Sementara politik merupakan urusan publik yang berhubungan dengan cara bagaimana mensejahteraan warga dalam bentuk kebijakan dengan menanggalkan identitas baik suku, agama, ras dan golongan untuk berontribusi aktif dalam menyelesaikan persoalan sosial warganya. Amat penting kita disini mulai menanyakan dan mengkritisi posisi MUI di dalam pembuatan kebijakan publik untuk masyarakat Indonesia terkait pembuatan keputusan fatwa. MUI bukanlah lembaga negara ataupun lembaga pemerintahan, lantas wewenang dan otoritas apakah yang membuatnya begitu kuat sehingga dapat menyaingi lembaga pemerintahan. Karena dalam beberapa kasus terdahulu Ormas keagamaan ini selalu mencampuri urusan publik dan membuat kegaduhan di dalam negeri. Pembakaran rumah dan pengusiran warga Ahmadiyah merupakan bukti bagaimana MUI kurang bijaksana dalam memutuskan hal yang publik terkait fatwa sesat terhadap Ahmadiyah. Mereka mencampuradukkan agama dengan urusan politik warga masyarakat sehingga ketika kebijakan melalui fatwa di utarakan, terjadi kegaduhan sosial-politik di dalam masyarakat. Namun ketika MUI ditanya soal bagaimana situasi ini berkembang menjadi aksi pembakaran rumah dan pembunuhan warga Ahmadiyah, dengan entengnya mereka merasa tidak bertanggung jawab. Hal ini yang menjadi titik persoalan sebenarnya, dimana MUI yang “mengklaim” sebagai representasi umat Islam dan Ulama ternyata belum tentu mendamaikan sistuasi konflik sosial bahkan memperkeruh keadaan.

Pada kasus penistaan agama yang diduga dilakukan Ahok, MUI juga mempunya andil besar dalam membuat persepsi publik dan secara tidak langsung memicu terjadinya aksi demonstrasi besar-besaran dan membuat persepsi bahwa Ahok merupakan orang yang harus segera di tangkap dan di hukum seberat-beratnya. Sudah seharusnya MUI mengetahui bahwa peran vitalnya ini mempunyai dua mata pisau yang berbahaya bagi keberlangsungan kegiatan keagamaan di Indonesia, oleh sebab itu jika ada kritik dan masukan MUI diharapkan menjadi penyejuk bagi umat beragama dan tidak memperkeruh suasana.

Kita selama ini sering dimanfaatkan oleh orang-orang yang menggunakan dalil agama untuk bisa berkuasa. Namun apakah agama dengan mudah di putar-putar agar sesuai dengan tujuan politik semata? Saya kira agama sangatlah suci dan luhur, semua agama mengajarkan agar manusia berbuat adil dan mencintai sesama. Agama merupakan penuntun agar kita menuju ke dalam kehidupan yang damai dan penuh kebersamaan. Bukankah penggunaan agama untuk memenangkan politik pilkada itu adalah sebuah kekeliruan, karena politik selalu berhubungan dengan manusia dan kepentingan duniawi semata. Maka sudah saatnya bagi elit di daerah agar tidak memanfaatkan agama untuk menyerang orang lain, dan tidak menggunakannya untuk mendapatkan suara.

Kita mendapatkan pelajaran penting apabila kita sering membaca sejarah peradaban di dunia mengenai digunakannya agama untuk sarana kekuasaan dan politik negara. Berakhirnya dominasi Gereja pada abad ke 17 di Eropa, Runtuhnya Khalifah Islamiyah di Turki, dan perang besar di Timur-Tengah sampai saat ini, merupakan gambaran dimana ketika agama digunakan untuk kegiatan politik praktis, sarana mendapatkan kekuasaan, dan mengukuhkan dominasi, sulit bagi kita untuk menilai apakah itu benar agama atau hanya tipu muslihat kepentingan politik praktis individu dan kelompok saja. Pada akhirnya bukan agama lagi yang berbicara, namun adalah nafsu dunia dan kelicikan manusia itu sendiri yang memelintir agama sesuai dengan kepentingannya. Tentunya hal ini jangan sampai terjadi di Indonesia, karena Presiden Soekarno dengan jelas mengungkapkan bahwa pentingnya persatuan dan kesatuan nasional. Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas memeluk agama Islam dan sejak zaman dahulu nenek-moyang kita sudah memeluk agama. Oleh sebab itu Bung Karno menyatakan bahwa filosofi dasar Pancasila adalah Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan Ketuhanan yang berkebudayaan. Indonesia merdeka karena adanya persamaan atas nasib keterjajahan yang disebabkan penjajahan kolonial, Indonesia merdeka bertujuan menciptakan kesejahteraan ekonomi dan kebebasan berpolitik. Indonesia merupakan negara yang terbuka soal agama. Sebelum agama-agama besar masuk seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu ke Nusantara, sudah ada agama nenek moyang yang masih dipegang teguh oleh sebagaian masyarakat di Indonesia. Oleh sebab itu kemerdekaan merupakan anugerah dari tuhan kepada bangsa ini. Hal ini membuktikan bahwa nenek moyang dan pendiri bangsa tidak pernah menggunakan isu SARA dan keagamaan untuk membangun kekuasaan politik, namun menggunakan nilai-nilai perjuangan nasional dan keagamaan untuk memperkuat negara.

Namun dimasa pilkada tahun 2017 mendatang masihkah kita menyaksikan keluhuran pemikiran pendiri bangsa ini dapat hadir di dalam hati sanubari para politisi kita, yang dengan terang-terangan mengggunakan dalil agama untuk kepentingan dirinya sendiri dan menyerang musuh-musuh politiknya. Sebagai masyarakat Indonesia yang peduli akan jalannya perpolitikan nasional tentunya kita harus mengawal proses demokrasi ini berjalan sesuai dengan cita-cita pendiri dan pahlwan nasional. Kita juga sebaiknya harus kritis terhadap oknum dan ormas yang bersifat reaksioner yang menggunakan dalil agama untuk kepentingannya sendiri dan membuat kekacauan sosial serta memaksakan kehendak dengan melakukan ancaman-ancaman yang sama sekali menjauhi nilai-nilai keagamaan yang menjunjung rasa kemanusiaan, kesetaraan sosial dan demokrasi. Seperti apa yang dikatakan oleh Gusdur “Berbuatlah kebaikan kepada semua orang, ketika kau berbuat baik orang tidak akan bertanya apa agamamu”. Mungkin itu adalah kalimat yang damai untuk keadaan sosial-politk yang tidak menentu di Indonesia sekarang ini.

Penulis: Danang Pamungkas 19 Articles
Jurnalis lepas, dan Pengajar Partikelir di Sekolah Swasta. Penulis bisa dihubungi lewat email: danangpamungkas637@gmail.com

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.