“Mas kerja atau kuliah?”
“Kuliah mas.”
“Jurusannya apa?”
“Sosiologi mas.”
“Oooh,” sambil menghadap ke teman yang lain. Ia Meneruskan dengan penuh percaya diri.
“Mas’e ini ahli melihat kejiwaan lho. Ati-ati lho”
“Bukan, p(e)sikologi lho mas. Tapi so-sio-logi.”
“Oh, beda ya mas. Emang nanti kerja dimana setelah lulus?”
Obrolan diatas membuka sebuah hal baru, betapa asingnya ilmu sosiologi dan kesulitan kita untuk menjawab pertanyaan sederhana itu. Kesulitan itu tak hanya dalam hal menjelaskan macam pekerjaan yang bisa didapatkan ketika sudah bergelar sarjana sosiologi (kecuali keguruan), namun juga ketidaktahuan kita tentang tugas sebenarnya sebagai student sosiologi.
Sebagai ilmu pengetahuan umum, hal-hal yang bisa disebut sosiologis bisa dipelajari oleh siapapun tanpa harus intens berdisiplin sosiologi. Orang awam sekalipun yang tidak pernah kuliah semasa hidupnya mungkin akan lebih pandai dalam mengingat pola-pola dan fenomena kemasyarakatan. Ini hal yang alamiah, orang bisa bertahan hidup dalam kehidupan sosial bahkan dapat memimpin dan menyelesaikan permasalahan yang bersifat kemasyarakatan. Juga orang dari disiplin ilmu lain yang rajin membaca buku, berdiskusi, dan menulis akan lebih sosiologis ketimbang student sosiologi itu sendiri. Mereka memiliki keunggulan ganda di antara kita sebagai student sosiologi.
Seorang teman asal Purbalingga, pernah berkeluh kesah bersama dengan saya.
“Mad, sebenarnya kita ini sia-sia gak sih belajar sosiologi?”
“Maksudnya Mad?”
“Lihat, orang-orang filsafat atau bahkan orang-orang dari fakultas tehnik banyak yang lebih pinter sosiologinya dari kita.”
Lanjut,
“Apalagi yang orang teknik. Dia bisa mbengkel bisa juga ilmu sosiologi tanpa belajar sosiologi. Lha kita?”
“Iya juga ya Mad.”
Kita bisa memulai perenungan untuk mencari jalan keluar atas kebingungan ini. Kita perlu menggali ulang apa manfaat praktis dan filosofis ilmu sosiologi bagi diri kita sendiri, baik secara akademik, maupun kegunaan sehari-hari di masyarakat.
Ilmu sosiologi berkutat pada teori. Hal yang sebenarnya begitu abstrak. Apa yang bisa kita lakukan adalah dengan cara terus berpikir. Jadi perlu dibedakan antara omong kosong dengan teori, kebanyakan mikir sama berpikir itu beda. Kita telah banyak diserang dan dirugikan oleh orang-orang yang menyepelakan suatu paradigma berpikir dan nilai guna teori sosial. Padahal teori adalah alat bedah untuk memahami masyarakat, itulah senjata kita.
Berpikir adalah seni beladiri sarjana ilmu sosial. Alangkah tidak bermaknanya jika teori dan berpikir dijadikan bahan olok-olokan. Kita perlu memahami pepatah Jawa “Mikul Dhuwur Mendem Jero.” Kita harus tetap menjaga martabat keilmuan dan identitas diri kita. Kita tidak boleh nggumunan atau terlalu takjub pada suatu hal yang baru. Haram hukumnya menjadikan hal yang lebih lanjut dari teori dan pikiran, yaitu buku atau tulisan sebagai momok menakutkan. Karena setiap harinya kita selalu membicarakan mitos dan sesuatu yang dianggap tabu, gelap, dan jorok di masyarakat. Membaca akan mempengaruhi kita. Membaca akan menumbuhkan kemampuan berimajinasi hal abstrak. Membaca juga memberikan istilah dan kerangka baru. Hal tersebut diperlukan dalam memahami bagaimana kita dapat menyampaikan ide dan gagasan.
Okelah, jika pada akhirnya kita musti menghadapi resiko. Kita mudah berkata, namun bagaimana caranya untuk tidak sampai berakhir pada pepatah “Memang Lidah Tak Bertulang.” Kita perlu membicarakan hal yang aktual di tengah kehidupan sosial. Student elektro akan menerima resiko kesetrum, student mesin akan menerima resiko kecipratan oli di tubuhnya. Student sosiologi ya harus siap di debat oleh kaum sana dan kaum sini, terkait upaya kita untuk menelanjangi segala bentuk ketabuan – kegelapan yang masih terselubung di dalam struktur masyarakat.
Sebagai student sosiologi kita jangan sampai lupa untuk hadir dalam permasalahan yang muncul disekitar kita. Mungkin itulah jalan yang menjadikan ilmu sosiologi berguna secara praktis. Kehadiran itu tak lain adalah ide-ide dan gagasan segar yang selalu tumbuh dan mengalir untuk membuat strategi alternatif guna membuat cara pandang baru. Sekali lagi tak hanya membaca namun juga melakukan kontribusi. Paling tidak, sosiologi memberikan ilmu untuk dapat berkamuflase dengan masyarakat manapun. Tinggal teknisnya saja yang kita perbincangkan di luar kelas.
Meminjam istilah Rocky Gerung, student sosiologi harus netral, tidak didikte oleh siapapun. Keberpihakan itu selalu ada, mustahil berada di tengah-tengah. Sangat tidak bertanggungjawabnya apabila kita tidak bisa bersikap dalam pelbagai permasalahan sosial yang ada. Meski dalam menelaah khazanah keilmuan sosiologi, kita dituntut bersikap non-etis (tidak berpihak)
Corak dan spirit itu akan menjadi jalan dan energi kita untuk memberikan sumbangan pada masyarakat atau secara internal menambah wawasan serta kedalaman guna mendapatkan temuan-temuan baru. Mari kita memulainya dengan senang hati, melatih diri untuk membaca. Membaca buku yang paling kita senangi, seperti novel percintaan misalnya. Atau membaca novel erotis Eny Arrow, mungkin?
***
Leave a Reply