Ngudhari konflik antar suporter sepakbola di Indonesia memang sulit, karena sudah lama berlarut tak ditangani secara serius oleh federasi kita. Terlebih kasus mafia bola yang mencuat, membuat lini masa semakin panas, menjadi medan tempur antar suporter untuk saling menuding dan memperolok kesalahan yang telah dilakukan klub rivalnya. Seperti di Daerah Istimewa Yogyakarta, dimana dua klub besar menjadi poros utama menghegemoni dengan basis militansi suporternya.
Dimana ada dua matahari berjajar maka disanalah gesekan terjadi, ya seperti itulah kira – kira yang terjadi antar pendukung PSIM dan PSS. Sikap ketidakdewasaan menjadi batu sandungan pendukung kedua klub ini untuk melakukan rekonsiliasi dan saling merangkul kembali. Kebanyakan, jatuhnya korban menjadi dendam bukannya pelecut untuk berdamai, ya seperti suporter pada umumnya.
Tapi, tak selamanya benar bahwa mereka senang berkonflik, banyak arus bawah yang menginginkan adanya perdamaian keduah belah pihak, namun sering kali menguap begitu saja karena takut akan adanya penolakan dari saudara sendiri. Selain itu, upaya rekonsiliasi pun sering kali berujung buntu karena adanya ketidakpercayaan antar kedua kubu, takut akan aksi nglimpe yang sudah menjadi phobia.
Muncul melawan arus mainstream, Guyub ing Seni Mataram bersama Jakal Tampil, berani unjuk gigi lewat karya kolaborasi mereka dalam corat-coret tembok. Pesan yang mereka bawa jelas. Mereka ingin melawan arus konflik yang tak akan pernah berhenti jika tidak ada yang memulai untuk menghentikannya secara nyata. Seolah karya mereka meneriakkan dengan keras “Kami sudah, Besok giliran kalian” agar pesan kedamaian tak hanya berhenti di mereka, akan tetapi mampu menyebar ke setiap sudut hati fans bal-balan Ngayogyakarta.
Guyub Ing Seni Mataram dan Jakal Tampil
Hal ini tentu mengingatkan kita, Semangat yang dibawakan Guyub ing Seni Mataram adalah semangat yang sama ketika PSIM membangun Federasi, sebuah semangat persatuan. Bentuk nyata Nguri–uri warisane simbah, jika memakai kalimat sakti Bung Karno “mewarisi apinya, bukan abunya.” Bahwa setiap goresan kuas mereka memiliki arti untuk menjaga apa yang sejatinya menjadi identitas mereka, semangat klub para pendiri.
Begitu pula dengan Jakal Tampil, apa yang mereka lakukan merupakan sebuah bentuk nyata dari cita-cita BCS dulu. Bagaimanapun “satu lawan, kelebihan. Seribu kawan kurang.” Membebaskan keterjebakan mereka pada romantisme konflik yang sejatinya tidak membangun. Melalui cat tembok sebagai sarana mengalihkan sebuah rivalitas berdarah menjadi rivalitas karya, bukan menjadi sosok Top Boys .
Tentu apa yang mereka lakukan membuat nggrudel segelintir orang yang tidak suka jika perdamaian terjadi. Akan tetapi kalau kita mampu bersama menyambut momen ini, di masa depan yang sangat dekat kita dapat memakan arem- arem dalam stadion bersama lagi. Mengembalikan lagi sifat khas masyarakat Ngayogyakarta ke dalam stadion, yang telah lama menghilang. Hingga besok ketika bertemu dalam stadion yang sama dapat bertukar gaplek, gudek, salak, dan makanan khas Nga-yogyakarta lainnya, bukan lagi pecahan keramik.
Membayangkan seperti apa yang terjadi di Mersyside, antara pendukung Liverpool dan Everton. Mereka tetaplah keluarga walaupun berbeda kebanggaan. Hingga tensi yang tinggi dalam lapangan berbanding terbalik dengan keadaan di kursi suporter yang penuh dengan rasa kekeluargaan. Sudahi rivalitas yang tak waras ini, mari kita kembalikan keistimewaan Yogyakarta di dalam dunia sepakbola. Menciptakan suasana dimana kawan-kawan tak perlu takut lagi memakai syal kebanggaan ketika berangkat dari rumah. Tak ada lagi istilah “jalur gaza” karena diriku, dirimu dan kita semua, masih memiliki leluhur yang sama.
***
Leave a Reply