Pembubaran Badan Pendukung Sukarnoisme: Dinamika Politik Pers Orde Lama

Beberapa hari ini Kota Lampung selalu diguyur hujan. Tak begitu deras, hanya saja udara dinginnya yang aku tak tahan. Seperti biasa, ruang yang kudiami dalam kesendirian selalu bersuguhkan kopi. Kali ini berteman beberapa gorengan yang ku beli sebelum petang. Dalam suasana bosan, aku nyalakan TV sambil mencari tayangan yang pas untuk mengusir kepenatan.

Jujur, jarang sekali aku menonton TV. Malas mungkin. Padahal kalau sudah lewat petang sampai tengah malam, bapak-ibuku selalu menghadap TV. Yah, sekedar menyaksikan “tingkah semi-lawakan” dari para politisi negeri. Memang kedua orangtuaku cukup aktif mengikuti berita yang disajikan media televisi. Apalagi acara dengan muatan berita-berita politik, senang sekali mereka menontonnya.

Selain acara-acara yang tidak memiliki nilai edukasi terhadap penonton, prinsip independensi  dalam pemberitaan pun jadi alasan kemalasanku menonton TV. Menurutku, media sebagai pilar demokrasi haruslah menyajikan berita yang berimbang, namun tetap memiliki nilai lebih. Seperti yang dikatakan Abdul Manan, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) September tahun lalu, publik memang memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang akurat, tepat dan berimbang. Di kutip dari laman Tirtod.id;

“Kenyatan hari ini banyak pemilik media yang berkecimpung kedalam urusan politik.   Apalagi sebentar lagi pemilu.” Ucap Abdul Manan.

Sama seperti tahun 2014, hari ini aku merasa media (televisi, cetak, dan online) telah memainkan peran-nya dalam menggiring pilihan rakyat ke salah satu kandidat yang bertarung dalam pemilu. Isu yang dimainkan pun terkesan mengada-ada. Dari tempe sampai kebangkitan PKI. Dari SARA sampai ke hal teknis manipulasi surat suara. Semuanya dikemas sedemikian rupa menjadi pemberitaan dengan embel-embel “Hoax”. Menurutku biarlah publik menentukan mana informasi yang mencerdaskan. Paling tidak media hadir sebagai obat kerisauan rakyat terhadap dinamika kehidupan politik negara ini. 

Untuk mengusir kepenatan politik hari ini, aku membaca buku “Perlawanan Pers Indonesia BPS Terhadap Gerakan PKI,” Buku itu kudapatkan dari gudang pakde saat bersih-bersih rumah. Kondisinya sudah sangat “parah,” beberapa halamannya pun sudah dimakan rayap. Tapi setidaknya masih dapat dipergunakan untuk mengetahui bagaimana sejarah pers saat politik Indonesia sedang panas-panasnya. Pernah aku mereview buku ini untuk dituliskan dibuletin gerakan mahasiswa. Karena dulu, tema kekirian mendapatkan respon baik dikalangan mahasiswa. Selain itu, memang pribadiku pun tertarik dengan bahasan dinamika pers zaman orde lama.

Munculnya Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS)

Berawal dari pertemuan pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 13 November 1982 di Jakarta Pusat. Pertemuan ini menghasilkan suatu keputusan. Yaitu, mengumpulkan data sejarah berkaitan dengan perlawanan pers yang tergabung dalam Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS) terhadap Partai Komunis Indonesia PKI pada periode 1964-1965.

Guna meninaklanjuti pertemuan itu, Harmoko yang kala itu merangkap jabatan sebagai Ketua Pelaksana PWI dan Menteri Penerangan Republik Indonesia memberikan tugas kepada Tribuana Said dan Moeljanto untuk menuliskan buku tentang sejarah perlawanan BPS terhadap PKI. Singkat cerita, dilakukanlah penelitian sejarah “objektif” dan menghasilkan buku kecil dengan jumlah halaman sekitar 140-an, berjudul Perlawanan Pers Indonesia BPS Terhadap Gerakan PKI.

Pers dan Politik Era Orde Lama

Suhu politik Indonesia semakin memanas setelah 17 Agustus 1959. Ketika itu Bung Karno membacakan pidato kenegaraan yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidatonya ini kemudian dijadikan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau Manifesto Politik (Manipol) Indonesia oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara pada tahun 1960.  

Ditambah lagi ketika pemerintah Demokrasi Terpimpin mencanangkan sistem penyederhanaan partai. Kebijakan ini menimbulkan polemik dalam percaturan politik Indonesia saat itu. Pertentangan politik terlihat mencolok ketika banyak golongan atau partai politik tertentu menggunakan pers sebagai corong propagandanya.

Pada tanggal 2 Juni 1964 harian Merdeka menampilkan satu tajuk yang mendukung penyederhanaan partai mengingat pancasila telah ditegaskan sebagai dasar negara. Selain itu Bung Karno juga telah melayangkan statemen politik.

“Untuk mencapai revolusi sosialisme, maka Demokrasi Terpimpin membutuhkan dukungan dari persatuan semua kekuatan revolusioner (de samenbundeling van alle revolutionare krachten)”

Dua hari kemudian Harian Rakjat koran yang berafiliasi dengan PKI, langsung menyerang koran Merdeka. Bahkan secara vulgar Harian Rakjat menuduh Merdeka adalah jelmaan baru dari “Manikebuisme” yang sudah dilarang oleh Presiden. Kedua surat kabar itu, seterusnya terlibat polemik dan saling tuding.

Pada 8 Juni 1964 Berita Indonesia (BI) mempopulerkan seri tulisan Sayuti Melik berjudul “Belajar Memahami Soekarnoisme.” Dalam tajuknya, BI menuliskan;

 “Bung Karno menggali Pancasila dan Marhaenisme sebenarnya tidak untuk diperjuangkan secara terpisah, tetapi haruslah diamalkan menjadi satu unit sebagai satu kesatuan ideologis.”

Ternyata pemuatan tulisan yang diterbitkan BI ini membuat PKI gerah. Apalagi tulisan Sayuti Melik juga diterbitkan oleh Pikiran Rakjat, Mimbar Umum, Patriot, Aman Makmur, Merdeka, Marhaen, Bintang Timur, dan lain-lain. Karena kesamaan sikap dan pandangan dari berbagai unit pers di Indonesia, kemudian dibentuklah satu wadah yang dinamai Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS) pada 1 Sebtember 1964. BPS dikepalai Adam Malik sebagai pimpinan tertinggi dan Soemantoro sebagai pimpinan redaksinya.

Awalnya BPS dibentuk dengan tujuan mengawal revolusi Indonesia yang diamanatkan dalam Pancasila dan USDEK-nya Soekarno. Namun kalau dicermati,  motif dibentuknya BPS adalah untuk membendung kekuatan PKI yang memang saat itu sedang kuat-kuatnya. Selain massa pendukungnya banyak dan militan, kedekatan pimpinan CC PKI dengan Soekarno menimbulkan sentimen politik baru.

Soekarnoisme ataukah Marhaenisme? Kritik Harian Rakjat

Dimuatnya tulisan Sayuti Melik di beberapa media cetak saat itu mendapat kritikan tajam dari Harian Rakjat. Hal yang paling sering diserang Harian Rakjat adalah terkait penafsiran Sayuti Melik terhadap ajaran-ajaran Soekarno. Harian Rakjat beranggapan bahwa, apa yang dituliskan Sayuti Melik sarat akan kepentingan politik praktis. Secara vulgar Harian Rakjat menuduh Sayuti Melik telah mengaburkan ajaran Soekarno. Sebagaimana tertulis dalam editorial Harian Rakjat berjudul Yuti Tidak Mengemukakan Ajaran-Ajaran Bung Karno.

“Mereka sekarang mendapatkan dalam tulisan serial Sayuti Melik “senjata” dalam membelokan dan mengaburkan ajaran-ajaran Bung Karno itu sambil memecah-belah persatuan nasional.., Jadi jelas-jemelas: Kita mengangkat pena, karena BPS dan tulisan-tulisan Yuti dipakai aktif untuk memecah-belah persatuan.” (Harian Rakyat, 20-11-1964)

Lebih dalam lagi, Harian Rakyat menuding pers BPS bertindak seolah-olah lebih Soekarnois ketimbang Soekarno itu sendiri. Bagi mereka, ajaran Bung Karno adalah Marhaenisme, bukan hanya celoteh-celotehnya yang di tafsirkan secara subjektif. Menurut Harian Rakjat, munculnya Marhaenisme itu dibangun dari kondisi riil bangsa dengan mengedepankan pertimbangan-pertimbangan filosofis yang ilmiah, bukan semata-mata datang melalui mimpi tidur. Terlebih lagi, menurut Harian Rakjat, tulisan Sayuti Melik memang berusaha menjauhkan ajaran Bung Karno dari Marxisme; Khususnya soal agama dalam pembangunan karakter nasional. Dalam hal filsafat pun penafsirannya tak luput dari kritik.

“Yuti lebih menyukai “panduan kreatif,” dia kawinkan mekanisme dengan vitalisme, materialisme dengan idealisme, dan Marxisme dengan Mistik!” (Harian Rakyat, 24-11-1964)

Padahal Bung Karno sendiri pun mengatakan, untuk memahami Marhaenisme, haruslah berangkat dari realita objektif sejarah bangsa dan tahu Marxisme. Keduanya memiliki kesamaan cita-cita yaitu melenyapkan penindasan dari sistem Kapitalisme dan Imperialisme. Kendati demikian, Bung Karno pun merinci soal-soal klas dan perjuangan klas. Menurutnya, perjuangan klas tidak dapat dijadikan landasan dalam perjuangan nasional. Namun, klas tertindas dalam terminologi Marx, yaitu proletar juga telah masuk dalam definisi Marhaen (Lebih jelas lihat, Soekarno, DBR jilid I, bagian “Marhaen dan Proletar”)

Jawaban Bung Karno: Pembubaran BPS

Usaha untuk menjauhkan Bung Karno dari PKI nampaknya menemukan jalan buntu. Dengan dalih to kill Soekarno with Soekarnoism dan Nekolim, PKI mampu mendesak Bung Karno untuk membubarkan BPS. Dengan berbagai pertimbangan politik, Bung Karno mengeluarkan keputusan No. 72/KOTI/1964 tentang pembubaran BPS di seluruh Indonesia dan pada 17 Desember 1964, BPS resmi dibubarkan.

Pada Mei 1965 pemerintah demokrasi terpimpin mengeluarkan kebijakan baru tentang pers. Sejalan dengan strategi politik NASAKOM, pers haruslah menginduk pada kekuatan politik yang diakui keberadaannya pemerintah. Pers yang tidak memiliki afiliasi dianggap tidak revolusioner. Dari sini lah, pers PKI mendapatkan porsi lebih dalam pemberitaan dan propagandanya.

***

Penulis: Bima Saputra 7 Articles
Sejarawan Freelance, pengagum ide-ide gendeng. Sekarang ini bekerja serabutan sebagai penulis bebas dan tukang gali sumur. Penulis bisa dihubungi lewat email: bimo674@gmail.com

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.