Dunia pendidikan saat ini, beberapa kali mengalami perubahan dalam bentuk sistem, pola serta kebijakan. Hal ini dimulai dengan adanya kebijakan Badan Hukum Milik Negara (BHMN), Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan berlakunya Badan Layanan Umum (BLU). Proses keberlangsungan dunia pendidikan di Indonesia cukup mengalami perubahan makna dari kata ‘pendidikan’ sebagaimana tanggung jawab Negara yang harus hadir untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai akan amanah tertuang di pembukaan UUD 1945 adalah dasar dari pentingnya pendidikan bagi kemajuan suatu bangsa. Disisi lain pendidikan yang memiliki kata dasar dari ‘didik’ mengandung makna mencerdaskan masyarakat dari kebodohan, kemunafikan, penjajahan dalam bentuk pikiran serta membuat manusia seutuhnya.
Kehadiran Negara akan keberlangsungan hidup rakyat juga termaktub dalam pendidikan sebagai salah satu yang terpenting mendidik generasi bangsa, keinginan akan terciptanya kehidupan masyarakat yang jauh akan ke-Jahiliyahan. Kondisi pendidikan kita saat ini terkena arus arus globalisasi yang menciptakan kompetisi untuk umat manusia. Hal materiil sebagai sebuah tuntutan di arena yang di sebut globalisasi membawa kita kepada ketiadaan akan kemanusiaan. Tentu hal ini berbeda jauh akan pengertian pendidikan menurut Paulo Freire bahwa pendidikan haruslah memanusiakan manusia, sisi kemanusiaan seperti saling bergotong royong, menghormati perbedaan, tidak saling membunuh satu sama lain. Bentuk pendidikan seperti yang di sebutkan tadi, harusnya di mulai atau di tradisikan dalam sistem pendidikan.
Hal yang menarik untuk di bahas juga, adalah jangkauan rakyat akan biaya pendidikan di Indonesia harus di tinjau kembali oleh pemerintah kita saat ini. Menerapkan biaya kuliah tunggal menjadi salah satu gambaran semakin jauhnya akses dunia pendidikan terkhusus di perguruan tinggi bagi masyarakat menengah kebawa di lihat dari sisi ekonomi. Akan kita bahas bagaimana menurut penulis tentang system Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan amanah UUD 1945 tentang mencerdaskan kehidupan bangsa, berikut kita ulas.
- Sistem UKT
Dihapusnya uang pangkal di perguruan tinggi dengan alasan banyaknya pungli dalam pelaksanaannya, dimulai pada tanggal 9 April 2012, rektor se-Indonesia berkumpul bersama Direktorat Perguruan Tinggi (Dikti) tentang Uang Kuliah Tunggal atau UKT. Kumpulan ini, mengawali di berlakukannya UKT di seluruh perguruan tinggi negeri melalui Permendikbud No. 55 Tahun 2013. Diberlakukannya UKT merupakan sistem biaya kuliah baru di Indonesia, adanya UKT meniadakan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) dan Uang Pangkal, UKT juga hadir dengan syarat pembayaran gedung, almamater, KKN, wisuda secara terpisah dan pungutan liar lainnya, karena sistem ini menjadi akumulasi dari seluruh tunggakkan kuliah akan dipaketkan dalam satu pembayaran yang disebut UKT. Adapun prinsip UKT adalah subsidi silang antara yang ‘kaya’ menopang yang ‘miskin’, melalui hitungan BOPTN-BKT=UKT merupakan rumus dasar akan UKT yang selanjutnya. BOPTN atau Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri merupakan bentuk bantuan pemerintah pusat untuk menutupi BKT atau Biaya Kuliah Tunggal, sedang BKT merupakan kalkulasi kebutuhan operasional perguruan tinggi. Dari bantuan dan total kehutuhan perguruan tinggi tidak bisa tertutupi BKT oleh BOPTN inilah yang akan di bebankan kepada mahasiswa yang di sebut UKT tadi.
- Dalil Pokok UKT
Sistem UKT mulai di anggap baik, karena memiliki dalil-dalil tipu oleh pemangku kepentingan dan penyelenggaran perguruan tinggi seperti, sistem pembayaran dalam UKT memiliki prinsip (1) subsidi silang, bahwa besaran beban biaya kuliah yang berada dalam golongan tinggi akan menopang beban biaya kuliah yang golongan rendah (selain bentuk BOPTN, BKT, UKT juga di golongkan menurut logika ekonomi). Tetapi, di sisi lain penyelenggara perguruan tinggi tidak memiliki sistem yang kongkret untuk memilih golongan mana yang akan di tempatkan ke mahasiswanya. Kondisi ini, yang membuat protes bermunculan karena ketidaksesuaian konsumsi per-bulan oleh keluarga mahasiswa dengan penempatan golongan, sebagai contoh; semisal si A yang konsumsi perbulan hanya 250 ribu per-bulan di tempatkan di golongan 2 atau 3 yang beban biayanya bahkan 2 kali lipat konsumsi perbulan dari pada beban biaya kuliahnya. (2) BOPTN sebagai sebuah ‘bantuan’ akan terus di lebihkan oleh pemerintah dengan maksud memperkecil UKT contoh, di kampus UIN SuKa di tahun 2014 UIN mendapat BOPTN 21 Miliyar tetapi besaran beban biaya kuliah mencapai 1 juta dan di tahun 2015 UIN mendapat BOPTN 26 Miliyar sedangkan beban biaya kuliah mencapai Rp. 4.500.000,- sampai Rp. 6.000.000.-. Logika sederhananya adalah jika BOPTN semakin naik, maka biaya kuliah yang dibebankan ke mahasiswa akan menurun. Pertanyaannya kemudian, kenapa BOPTN yang naik tidak membuat UKT turu? Sedangkan, pemerintah berfungsi sebagai penjamin hak pendidikan lewat bentuk BOPTN kemudian beralih fungsi sebagai donator pendidikan, syarat akan ciri khas dari korporasi yang kapitalistik dan menjadikan pendidikan sebagai komoditi.
Secara dasar, dari berlakunya sistem UKT merupakan bagian yang sama dengan Uang Pangkal dengan SPP, hanya saja UKT lebih rapi secara sistem karena menggunakan satu paket pembayaran. Berbeda dengan SPP dan Uang Pangkal yang memisahkan pembayaran sesuai dengan unit kebutuhan semisal, pada angkatan 2012 sebagai angkatan terakhir yang mendapat sistem pembayaran SPP dan UP pada awal masuk registrasi mahasiswa di bebankan Uang Pangkal sebesar Rp. 2.300.000.- (jika di UIN SukA), selanjutnya mahasiswa di bebankan biaya SPP sebesar Rp. 600.00.-, almamater sebesar Rp. 80.000.- dan jika mahasiswa pada semester tertentu diharuskan mengambil praktikum, dalam pembayarannya yaitu SPP Rp. 600.000 di tambah uang praktikum Rp. 150.000 sehinggal pada semester itu anda akan membayar semester sebesar Rp. 750.000. Begitulah, pembayaran biaya kuliah sesuai kebutuhan terpisah-pisah tergantung kebutuhan mahasiswa per-semester, hanya saja jika dibandingkan dengan sistem UKT, seluruh akumulasi kebutuhan seperti KKN, wisuda, almamater tidak akan di bayar secara terpisah per-semester sebagaimana pembayaran mahasiswa angkatan 2012 yang dijelaskan di atas.
Mindset seperti kuliah hanya bisa dirasakan oleh golongan ‘kaya’ saja, menjadi benar adanya jika kita lihat bagaimana pendidikan kita saat ini. Dari sekian ribu masyarakat miskin hanya beberapa saja, mungkin yang hanya mendapatkan pendidikan tinggi, sedang di era-globalisasi masyarakat Indonesia dituntut kompetitif dengan sesama untuk sekedar mendapat sesuap nasi dan kehormatan. Munculnya kampus-kampus elit di Indonesia seperti UGM, UNY, UI, ITB, IPB dan kampus elit lainnya, menjadi kuat mengakar dalam pikiran masyarakat bahwa kuliah haruslah mengeluarkan biaya mahal, jika ingin mendapatkan kampus dengan kualitas Internasional juga harus dengan biaya mahal. Kondisi ini, menggambarkan kepada kita pendidikan hari ini bukan mengukur seberapa cerdas seseorang, seberapa jauh menelaah teori-teori dan mempraktekannya atau seberapa besar sumbangsi perguruan tinggi negeri dalam mencerdaskan anak bangsa secara menyeluruh. Tetapi pendidikan sekarang hanya sebagai mesin penghisap yang memiskinkan, kemudian menjadi candu dalam masyarakat setelah itu menjadi mesin penindas bagi masyarakat itu sendiri.
Hilful Fudhul. Penulis adalah Mahasiswa UIN SunanKalijaga dan Anggota FAMJ
Leave a Reply