Dengan Uang Kuliah Tunggal (UKT), benarkah biaya pendidikan di Perguruan Tinggi (PT) akan turun? Ditilik kembali sejarahnya, yaitu ketika status Perguruan Tinggi Negeri (PTN) berubah menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) pada 2000, biaya pendidikan di PTN meroket. PT BHMN diberi keleluasaan menarik dana dari masyarakat untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sejak itu, muncul berbagai macam biaya seperti uang pangkal, SPMA, SPP, dan BOP. Lebih memprihatinkan, biaya pendidikan di PTN lain yang bukan PT BHMN juga ikut-ikutan naik. Celakanya, biaya pendidikan SD, SMP, dan SMA pun ikut naik. Sepertinya pemerintah tak berdaya mengendalikannya. Jadilah biaya pendidikan tidak terjangkau seluruh lapisan masyarakat. Hanya orang kaya yang mampu menyekolahkan anaknya di PT.
Dengan berubahnya PT menjadi PT BHMN, adanya upaya pengalihan beban finansial pemerintah dan menyerahkan sektor pendidikan dalam arena pasar. Pemerintah keberatan untuk mensubsidi terus-menerus PT dan memilih untuk ‘membebaskan’ PT dalam mengutip biaya. Ide ini bergulir searah dengan otonomi PT untuk mengatur rumah tangganya sendiri.
Untuk mengurangi banyaknya biaya yang tak jelas yang dikeluarkan oleh mahasiswa dan agar hanya satu pintu aliran dananya, maka diberlakukan Uang Kuliah Tunggal (UKT). UKT adalah sebuah sistem pembayaran dimana biaya kuliah mahasiswa selama satu masa studi di bagi rata per semester (jadi tidak ada lagi uang pangkal). UKT ini diibaratkan kita beli motor pake cara kredit, tapi tidak ada uang DP awal. Bayarnya rata per semester. Khas dari UKT, ada mekanisme pengelompokan pembayaran. UKT telah dibuat dalam permendikbud no 55 tahun 2013, ada beberapa daftar Universitas dengan rincian biayanya.
Pada awal tahun ajaran baru, semua PTN menghitung besaran UKT yang kemudian hasilnya diserahkan ke Ditjen Dikti untuk mendapat persetujuan dan ditentukan besaran Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) yang akan diberikan kepada masing-masing PTN. Besar kemungkinan UKT yang dihitung PTN tak banyak berbeda dengan biaya yang sudah berjalan sebelum adanya UKT. Kemungkinan PTN akan menghitungnya berdasarkan pembiayaan pendidikan tahun sebelumnya yang sudah telanjur mahal. Uang pangkal yang nilainya besar bisa saja diratakan untuk delapan semester sehingga kelihatan kecil.
Kuliah dengan sistem kredit tak sesuai dengan biaya pendidikan yang tetap sepanjang masa studi. Misalnya, uang kuliah Rp 3 juta per semester. Seorang mahasiswa di semester akhir yang tinggal mengerjakan tugas akhir dengan bobot 4 SKS akan keberatan jika harus membayar Rp 3 juta.
***
Data BPS tahun 2015 menunjukkan, jumlah penduduk miskin—seseorang yang pengeluarannya kurang dari Rp 248.707 per bulan— 28,59 juta orang (11,22 persen), bertambah sebesar 0,86 juta orang dibandingkan dengan kondisi September 2014 yang sebesar 27,73 juta orang (10,96 persen). Pengeluaran (yang hanya) sebesar itu adalah untuk biaya makan, perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Apabila ditambah dengan orang hampir miskin yang pengeluarannya kurang dari 1,2 dari nilai tersebut, jumlahnya lebih dari 55 juta jiwa. Biaya pendidikan yang mahal tak masalah bagi golongan kaya untuk bisa menyekolahkan anaknya. Namun, bagaimana dengan golongan ekonomi lemah?
Kondisi perekonomian masyarakat sangat bervariasi. Ada warga miskin, sedang, menengah, kaya, dan sangat kaya. Kemampuan masyarakat untuk membiayai pendidikan anak-anaknya beragam. Bagi warga miskin, ada kesempatan mendapatkan beasiswa, antara lain beasiswa Bidik Misi bagi warga miskin berprestasi untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi.
Namun, bagi warga dengan kondisi perekonomian sedang dan menengah yang tak masuk kriteria untuk mendapat beasiswa, UKT yang nilainya sama untuk semua mahasiswa dirasa tak adil dan memberatkan. Seorang PNS golongan IV dengan gaji dan tunjangan sebesar Rp 5 juta per bulan akan kesulitan untuk menyekolahkan anaknya di PT. Apalagi, kalau jumlah anak yang kuliah lebih dari satu. Gaji Rp 5 juta per bulan habis untuk biaya hidup yang semakin tinggi. Namun, sebagai orangtua mereka punya harapan untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya agar kehidupan mereka bisa lebih baik di kemudian hari meski dengan berbagai cara, termasuk utang sana utang sini. Kalau PNS golongan IV saja kesulitan untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya, bagaimana dengan masyarakat yang pendapatannya lebih rendah, tetapi tidak termasuk miskin?
Karena itu, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir menginstruksi para rektor untuk turun langsung mengecek ke lapangan akurasi data mahasiswa untuk menetapkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) agar tidak menimbulkan ketidakadilan dan merugikan mahasiswa yang tidak mampu. Nasir mengatakan tujuan pelaksanaan sistem ini sangat baik, yakni untuk memberikan keadilan kepada mereka yang tidak mampu agar dapat menikmati pendidikan yang sama. Namun, apakah tiap tahun sejak dimulainya sistem UKT ini masih banyak mahasiswa yang mengeluh tidak tepat sasaran dan menghendaki penurunan harga? Coba cek saja di data BEM.
***
UNY sendiri pada awal adanya sistem UKT (2013) menerapkan 5 kategori pembayaran, dari Rp500.000 yang paling murah hingga Rp4.950.000. Lalu pada 2015/2016, menjadi 7 kategori pembayaran, dari Rp500.000 hingga Rp6.350.000. Sistem UKT di UNY adalah sistem ala Robin Hood, yaitu subsidi silang. Semua pengurus PT pasti bersikeras bahwa walaupun PT-nya mahal tapi telah menunjukkan ‘jiwa-sosial’-nya yang nampak untuk upaya komersialisasi pendidikan.
Harapan UKT lebih murah hanya tinggal bertumpu pada kebijakan Mendikbud dan Dirjen Dikti dalam memutuskan UKT. Ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan. Pertama, menyetujui usulan UKT PTN dengan cara hitungan yang dilakukan PTN, yang berarti UKT mahal. Kedua, pemerintah memberikan BOPTN dalam jumlah besar sehingga UKT terjangkau. Ketiga, pemerintah berani menghapus pos-pos pembiayaan dengan prioritas rendah yang diusulkan PTN.
Dana Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) pada tiap tahunnya selalu naik, pada tahun 2015 saja ada kenaikan sebesar Rp787 miliar. Dengan penambahan ini, dipastikan uang kuliah tunggal (UKT) tahun 2016 pun aman dari kenaikan. BOPTN tahun 2015 menjadi Rp4,550 triliun.
Menurut Eko Prasetyo, dalam bukunya “Orang Miskin Dilarang Sekolah!”, kebijakan mahal pendidikan ini memang sangat merisaukan karena akan mengubur impian mobilitas kelas sosial bawah untuk memperbaiki status kelasnya. Melalui sistem ini maka yang bisa diserap dalam lingkungan pendidikan adalah mereka yang memiliki kecukupan modal. Sekolah (PT) kian menjadi lembaga elite dan malahan menjadi kekuatan yang menghadang arus mobilitas vertikal kelas sosial bawah. Jika diusut penyebab semua ini semua, tentu kebijakan neo liberalisme adalah biang keladi. Neo Liberalisme berangkat dari keyakinan akan kedigdayaan pasar serta pelumpuhan kekuasaan negara. PT tidak perlu menjadi tanggungan negara, cukup diberikan pada mekanisme pasar.
Sistem Pendidikan di Indonesia seperti hukum naik angkutan umum, jika ingin pelayanan dan fasilitas terbaik harus bayar mahal. Toh, nantinya, apakah fasilitas yang mahal itu bisa membuat mutu pendidikan lebih baik? Membikin kualitas lulusan menjadi lebih baik?
Atau, sebelum melangkah jauh, setelah bayar kuliah mahal, apakah fasilitas (seperti buku, ruangan) dan pelayanan dari UNY sudah memuaskan? Adakah ketransparasian UKT kalian mengalir kemana? Buat apa? Mungkin itu yang saat ini harus dipikirkan.
Arci Arfrian. Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Sejarah 2013 UNY dan anggota Jaringan Ekspresi
Komplek sekali ya ternyata permasalahan UKT ini. Penentuan penggolongan UKT pun menurut saya juga sangat tidak merata. Misalnya saja PTN yang membuka seleksi mandiri. calon mahasiswa yang lolos dalam seleksi tersebut akan dikenakan UKT dengan golongan tertinggi, padahal belum tentu kan pendaftar merupakan anak dari keluarga yang mampu?
iya kenyataan memang UKT sangat memberatkan perekonomian masyarakat dan mahasiswa. pendidikan telah menjadi ajang bisnis yang menggiurkan, kampus sekarang berubaha menjadi perusahaan besar. oleh sebab itu kita harus rajin mengkritik dan bergerak agar kampus kemablai seperti semestinya