Perubahan Masyarakat Yogyakarta Dilihat dari Aspek Sejarah dan Kebudayaan

Dalam konteks dan skema yang berlaku, kita tidak dapat melihat perkembangan masyarakat Yogyakarta hanya dari satu sisi, melainkan dari dua sisi. Yakni pertama,sosial-historis: yaitu ketika kita melihat daya dan upaya perubahan masyarakat dari nilai-nilai sejarah perkembangan masyarakat. Proses ini ditandai dengan krisis legitimasi—ketika pengaruh geliat VOC masih kental— antara Solo-Yogya pada pertengahan abad ke-18 yang berujung pada ditandatanginya perjanjian ‘Giyanti’ dan menjadikan dua fragmen berbeda antara Yogyakarta dan Surakarta. Hal tersebut mengakibatkan pada pemberian legitimasi kepada Hamengkubuwono I untuk dapat memaksimalkan stabilisasi daerah Yogya dan otonomi yang didapatkan setelah perseteruan panjang dengan Pakubuwono IIIDengan kata lain Yogyakarta telah memiliki hak otoritas untuk mengatur dan mengeksploitasi daerahnya dengan caranya sendiri dan bertahan hingga era modern sekarang ini(Hamengkubuwono X).

Tahapan kedua, adalah perubahan dan perkembangan masyarakat Yogya dapat kita tilik dari kacamata “sosio-cultural”: yakni sebuah proses dimana dari sejarah yang berkembang, kita dapat melihat hegemoni masyarakat—khususnya sekitar benteng keraton—Yogyakarta terdapat perubahan yang terjadi secara evolusionis sesuai dengan kebutuhan setiap zamannya, terutama kajian sosial dan budaya. Pada pertengahan abad ke-18, sebagian masyarakat mataram telah bersikukuh terhadap dalam kritik mereka terhadap kolonial. Hal ini memicu pemisahan kekuatan Mataram menjadi dua tersebut. Ketegangan tersebut menandakan bahwa masyarakat mataram—daerah yogya—menilai bahwa stabilisasi kolonial dianggap gagal. Bahkan perpecahan tersebut tidak hanya berdampak pada konsensus masyarakat saja, akan tetapi merambat pada sektor pemisahan antar karakter budaya Solo-Yogya. Disinilah mulai tampak kepermukaan, bahwa masyarakat Yogya setelah tahun 1755 merealisasikan dan mampu mengolah stabilisasi sosial budayanya sendiri (Ricklefs. M.C., 2011: 145)

Setelah dinamika diatas, kondisi masyarakat Yogya—khususnya area Jeron Benteng—kian pesat perubahannya. Wilayah tersebut menjadi pusat distrik administratif wilayah Kasultanan Yogyakarta. Hingga saat ini, arah modernis telah hinggap baik secara evolusionis maupun revolusionis. Area-area tersebut melingkupi sentra administratif, batik tradisinonal, taman bermain, hingga sentra makanan khas Yogyakarta.

Perkembangan paling pesat adalah ketika wilayah Jeron benteng—pada masa Hamengkubuwono IX—dibuka secara umum sebagai daerah pariwisata. Daya tarik kepariwisataan di kota Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari pengaruh saat Keraton Yogyakarta mulai dibuka sebagai salah satu obyek kunjungan pariwisata di kota Yogyakarta pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX pada tanggal 1 Oktober 1969. Hingga beberapa waktu yang lalu, daya tarik wisata Keraton Yogyakarta berupa atraksi di mana pengunjung atau wisatawan dapat memasuki bangunan Keraton Yogyakarta dan menikmati keindahan arsitektur lokal, seni budaya yang ditampilkan dan museum mengenai salah satu raja Keraton Yogyakarta yang memiliki jasa besar terhadap lahir dan berdirinya Negara Republik Indonesia. Daya tarik wisata lain yang terkait langsung dengan keberadaan Keraton Yogyakarta yang ada saat itu adalah objek tempat pemandian keluarga  raja  di Tamansari dan Museum Kereta Kuda milik Keraton Yogyakarta.

Seiring dengan perkembangan jaman, daya tarik wisata Keraton Yogyakarta meluas hingga mencakup daerah di dalam benteng pertahanan Keraton Yogyakarta atau yang lebih sering disebut sebagai daerah Jeron Beteng. Jeron artinya adalah di dalam. Jadi Istilah Jeron Beteng berarti wilayah di dalam benteng. Kawasan Jeron Beteng terdiri dari perkampungan-perkampungan rakyat dan tentara keraton yang memiliki peran khusus bagi penyelenggaraan kehidupan Keraton Yogyakarta di samping keberadaan kompleks-kompleks pemukiman bangsawan Keraton Yogyakarta yang sering disebut sebagai dalem dan fasilitas-fasilitas lain milik Keraton Yogyakarta. Kawasan Jeron Beteng pun akhirnya juga lambat laun berkembang menjadi daerah tujuan wisata yang dapat dilihat sebagai bentuk ekstensifikasi daya tarik kepariwisataan Keraton Yogyakarta sebagai objek wisata heritage yang mampu membangkitkan kunjungan wisatawan baik dari dalam negeri maupun luar negeri ke kota Yogyakarta setiap tahunnya.

Sektor budaya adalah hal yang tidak akan pernah lepas dari kehadiran manusia. Ahli antropologi aliran fungsional menyatakan, bahwa budaya adalah keseluruhan alat dan adat yang sudah merupakan suatu cara hidup yang telah digunakan secara luas, sehingga manusia berada di dalam keadaan yang lebih baik untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya dalam penyesuaiannya dengan alam sekitarnya untuk memenuhi kebutuhannya (Malinowski, 1983: 65) atau “Budaya difungsikan secara luas oleh manusia sebagai sarana untuk mengatasi: masalah-masalah yang dihadapi sebagai upaya penyesuaiannya dengan alam dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya”. Kemudian ditegaskan pula dalam Teori Orientasi Nilai Budaya ‘Theory Oreantation Value of Culture’. Menurut Kluckhon dan Strodberck, soal-soal yang paling tinggi nilainya dalam kehidupan manusia dan yang ada dalam tiap kebudayaan di dunia ini menyangkut paling sedikit lima hal, yakni (1) Human Nature atau makna hidup manusia; (2) Man Nature atau persoalan hubungan manusia dengan alam sekitarnya; (3) Persoalan Waktu, atau persepsepsi manusia terhadap waktu; (4) Persoalan Aktivitas ‘Activity’, persoalan mengenai pekerjaan, karya dan amal perbuatan manusia; dan (5) Persoalan Relasi ‘Relationality’ atau hubungan manusia dengan manusia lainnya.

Dari skematologi diatas, maka akan timbul beberapa dalih yang mengatakan bahwa sosio-kultural dalam lingkungan abdi ndalem pun ‘dapat berubah’ seiring dengan kebutuhan dan realisasi hidup. Karena dilain sisi, manusia—apapun status, kelas, dan jabatannya sekalipun—tidak akan pernah terpisah dari periodesasi waktu dan hegemoni zaman yang terus menggilas dan berputar. Perubahan ini pun diamini ketika daerah keraton Yogyakarta menjadi pusat kota dan atau pusat adnimistratif provinsi D.I.Yogyakarta. Dari tutur kata hingga gaya hidup pun mulai ikut-ikutan mengalir. Hal ini juga diperkuat beberapa fakta, mulai dari keraton yang dibuka secara umum sebagai wisata hingga datangnya para investor yang mendirikan barbagai asetnya secara terbuka dan besar-besaran.

Faktor-faktor pengubah masyarakat di Yogyakarta

Perubahan masyarakat Yogyakarta dimulai sejak zaman kolonial hingga sekarang. Kolonialisme di Indonesia membawa perubahan-perubahan mendasar di dalam masyarakat dan menggeser pusat kekuasan. Dengan adanya kolonial Belanda, kapitalisme terbentuk secara massif di Indonesia. Kapitalisme merubah sistem ekonomi tradisional dan merubah sistem sosial dengan membentuk kelas-kelas berdasarkan level ekonomi. Sebelum masuknya kolonial Belanda, sistem ekonomi yang digunakan adalah sistem ekonomi feudal, dimana ekonomi didasarkan pada hirarki kerajaan. Petani memberikan hasil tani mereka kepada Raja sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di zaman kolonial, sistem ini digunakan oleh pemerintah kolonial pada awalnya, tetapi pada akhirnya pemerintah kolonial Belanda bertransaksi langsung dengan petani ketika lahan pribadi mulai berkembang sehingga pengaruh kapitalisme dapat dirasakan hingga ke seluruh sendi masyarakat (Kroef, 1952). Masuknya masyarakat Indonesia ke dalam sistem perekenomian pasar membuat beberapa perubahan yang fundamental. Pertama, secara sosial, ikatan-ikatan tradisional berubah menjadi ikatan rasional berdasarkan kedudukan masing-masing lembaga ekonomi.  Hal ini menyebabkan berpindahnya simbol otoritas dari pembesar-pembesar tradisional kepada kaum intelektual berpendidikan sehingga keraton sebagai sumber otoritas tradisional melemah.

Kedua, dengan perkembangan kapitalisme, masyarakat kelas menengah mulai terbentuk di Indonesia. Hal ini terjadi terutama di wilayah urban, wilayah yang berkembang pesat di zaman kolonial. Golongan ini hidup dengan bebas, dengan patron(pendukung) baru, yaitu kelas menengah itu sendiri dan pasar. Ikatan golongan ini tidak terletak kepada keraton tetapi pada pasar. Di sini, hubungan patron-client dalam budaya tradisional digantikan oleh hubungan produsen-konsumen, hubungan vertikal diganti dengan hubungan horizontal (Kuntowijoyo, 2006). Status sosial tidak lagi ditentukan oleh keturunan, siapa saja yang mampu mengangkat dirinya secara ekonomis, sosial, dan intelektual dapat menjadi elit sosial. Bangkitnya kelas menengah merusak hegemoni elit sosial tradisional dan menciptakan elit baru berdasarkan status ekonomi. Kepemimpinan sosial mulai berpindah tangan kepada kaum elit baru.

Selain pembentukan sistem ekonomi, perubahan juga terjadi karena pembentukan sistem pemerintahan kolonial yang merubah golongan priyayi. Kaum priyayi yang tadinya berada di bawah Keraton digunakan dalam administrasi kolonial sehingga ikatan subordinasi mereka berpindah, tidak lagi pada keraton tetapi kepada pemerintah kolonial. Golongan ini menjadi patron dan pembentuk selera baru dalam kebudayaan dan menggeser hirarki lama dimana keraton adalah pusat dari segala aspek kehidupan masyarakat. Bersamaan dengan munculnya golongan priyayi baru, kelas menengah urban yang terdiri dari kaum intelektual, pedagang, dan pengusaha juga mulai terbentuk di kota-kota. Dua golongan baru ini membentuk sebuah rasionalitas baru, rasionalitas modern yang berdasarkan kebebasan, produktivitas, partisipasi, dan perubahan (Kuntowijoyo, 2006). Kelas-kelas baru ini berpusat di kota sehingga membuat sebuah locus (tempat) budaya baru di dalam kebudayaan Jawa. Kebudayaan baru ini berlawanan dengan kebudayaan tradisional yang hirarkis dengan sifat dominasi yang menonjol. Perlawanan budaya ini menyatakan dirinya dengan Gerakan Jawa Dipa dan penggunaan bahasa ngoko oleh kelas priyayi dan wong cilik di awal abad 20. Pembentukan kebudayaan baru ini menyurutkan otoritas keraton dengan membentuk sebuah kekuatan tandingan yang bersifat modern dan menentang feodalisme tradisional. Pada akhirnya, keraton akan tergantikan dengan birokrasi rasional dan modern.

Pergerakan nasionalisme di Indonesia juga berperan dalam pelemahan kekuatan tradisional karena ideologi pergerakan nasionalisme ingin menghapuskan ikatan-ikatan tradisional dan menggantikannya dengan ikatan-ikatan modern. Ideologi dari pergerakan kemerdekaan Indonesia sangat dipengaruhi oleh ideologi modern Barat karena pemimpin-pemimpin intelektual mendapatkan pendidikan Barat. Baik itu liberalisme, komunisme, ataupun humanisme, semua menentang hirarki sosial yang dimiliki oleh sistem sosial tradisional Indonesia. Pergerakan kemerdekaan Indonesia adalah pergerakan anti-feudal. Untuk Sjahrir, feudalisme adalah alasan utama untuk keterbelakangan dan penghambaan, bukan hanya sebuah sistem dominasi tetapi cara berpikir yang mengerikan (Elson, 2008). Dengan pemikiran ini, nasionalisme Indonesia berkembang dengan ide tentang masyarakat egaliter, sebuah masyarakat tanpa hirarki sosial dimana semua orang setara dan berkesempatan sama untuk mewujudkan potensinya.

Perubahan di dalam sebuah masyarakat selain bisa menyebabkan erosi budaya juga bisa menyebabkan retradisionalisasi (Kuntowijoyo, 2006). Retradisionalisasi adalah dampak dari ketakutan masyarakat yang menganggap modernisasi tidak bisa dikontrol sehingga akan menghapus budaya Indonesia seluruhnya (Ferzacca, 2002). Ketakutan akan perubahan ini membuat beberapa masyarakat kembali kepada budaya tradisional dengan menghidupkan kembali simbol-simbol tradisional seperti jimat, pusaka, atau upacara-upacara. Akan tetapi, penghidupan kembali tradisi ini bersifat semu karena hanya bernilai ekstrinsik, yaitu sebagai lambang status setelah orang memperoleh kedudukan kelas tertentu dalam masyarakat atau bersifat politis sebagai gejala nasionalisme-protradisi-antiasing. Tradisi disini dijadikan sebagai fashion oleh kelas menengah kota sebagai tanda kelimpahan ketika tanda-tanda kelas modern seperti mobil, rumah, atau pangkat tercapai (Kuntowijoyo, 2006). Walaupun ada gerakan retradisionalisasi dalam masyarakat, gerakan ini tidak memberikan banyak otoritas kepada sistem hirarki tradisional karena gerakan ini hanya mengambil kulit dari budaya Jawa, bukan resureksi budaya yang menyeluruh.

Perubahan di dalam masyarakat Yogyakarta telah menggeser nilai-nilai yang dahulu dianut oleh masyarakat tersebut. Walaupun secara falsafah nilai-nilai ini dipahami banyak orang, di dalam berperilaku, nilai-nilai ini tidak diterapkan sepenuhnya. Falsafah budaya Jawa sudah menjadi sesuatu yang usang di dalam masyarakat Yogyakarta, sesuatu yang ada tetapi tidak sepenuhnya terpakai. Hal ini tentu berpengaruh pada peran dan posisi keraton di dalam masyarakat Yogyakarta. Pandangan masyarakat berubah dari yang dahulu melihat keraton sebagai sumber otoritas utama di masyarakat, sekarang melihat keraton menjadi cagar budaya yang harus dilestarikan. Otoritas politik keraton tetap ada di masyarakat bukan karena pengakuan hirearki kesultanan tetapi pengakuan hirearki pemerintahan Republik Indonesia. Keraton mempunyai otoritas politik di masyarakat karena Sultan Hamengkubuwono X menjadi gubernur DI Yogyakarta bukan karena beliau menjabat Sultan.

Perubahan budaya di dalam masyarakat Yogyakarta menggeser otoritas politik Kesultanan Yogyakarta dengan menggeser legitimasi Kesultanan Yogyakarta. Saat ini, otoritas politik Kesultanan Yogyakarta ada karena status Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa. Sumber otoritas Sultan adalah posisinya sebagai Gubernur DI Yogyakarta. Tanpa status ini, Kesultanan Yogyakarta akan sama dengan kesultanan di daerah lain seperti Cirebon dimana kesultanan ada tetapi tidak memiliki kemampuan untuk mengatur daerahnya. Keistimewaan Yogyakarta memberikan kemampuan ini pada Kesultanan Yogyakarta. Legitimasi pemerintahan di Yogyakarta diberikan kepada Keraton oleh rakyat Yogyakarta karena Kesultanan Yogyakarta adalah bagian dari negara Republik Indonesia bukan karena Keraton adalah lembaga pemerintahan tradisional di Yogyakarta.

Pemisahan antara otoritas Sultan dalam pengaturan masyarakat Yogyakarta tidak diinginkan oleh masyarakat Yogyakarta terjadi karena banyak hal antara lain ketidakpercayaan pada pemerintah pusat, pandangan bahwa Sultan adalah manifestasi Tuhan di Bumi masih cukup kuat, dan keinginan untuk melestarikan budaya lokal yang unik dari daerah lain. Dengan disahkannya RUU Keistimewaan Yogyakarta, dimana pemerintah daerah terpisah dari kesultanan dengan pembedaan fungsi antara gubernur yang dipilih oleh rakyat dan gubernur utama yang dipegang oleh Sultan, otoritas budaya Kesultanan tidak akan hilang tapi otoritas politiknya akan terkikis sehingga kedudukan Sultan sebagai pemegang otoritas di Yogyakarta akan pudar.

Kita boleh saja melontarkan berbagai macam kritik solutif terhadap keberadaan mereka. Namun kita juga musti ingat, bahwa masyarakat yang satu dengan yang lain memiliki konsensus-konsensus yang berbeda-beda pula. Karena pada dasarnya, hakekat masyarakat—dimanapun ia berada—telah lebih dulu mengetahui tentang bagaimana cara solusi hidup mereka lebih jauh sebelum kita terang-terangan melakukan penelitian pada suatu masyarakat yang kita jadikan objek tersebut. Mereka adalah unik, dan karena unik tersebut maka mereka ada.

Mashofi Maulana. Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Sosiologi 2014 UNY, dan Anggota DPH Mazhab Colombo

Sumber:

Daldjoeni, N. Drs. 1992. Seluk Beluk Masyarakat Kota (Pusparagam Sosiologi Kota dan Ekologi Sosial). Bandung: Alumni.

Gauthama, M. P. (Ed.). 2003. Budaya Jawa Dan Masyarakat Modern. Jakarta: P2KTPW BPPT.

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Kuntowijoyo, Dr. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Ricklefs, M. C. 2011. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: UGM Press.

Soemardjan, S. 1962. Social Changes in Jogjakarta. New York: Cornell University Press.

Weber, Max. Studi Komprehensif Sosiologi Kebudayaan (The Handbook of Sosiology) Yogyakarta; Pnerbit IRCiSoD, Tahun 2006

Marzali, Amri. 2006. Dalam Jurnal: Pergeseran Orientasi Nilai Kultural dan Keragaman di Indonesia. Depok: UI Pers-Jurnal Antropologi Indonesia. (diakses pada tangal 10

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.