Bripda Puput Nastiti Devi, perempuan berumur 22 tahun asal Nganjuk dikabarkan berpindah agama dari Islam menjadi Kristen. Sampai di sini, sebenarnya tidak ada hal yang perlu ditanggapi secara berlebihan. Karena kita sadar, setiap warga negara bebas memeluk agama apapun dan dijamin oleh undang-undang. Hal tersebut menjadi sorotan ketika kabar berpindahnya agama Bripda Puput menjadi langkah awal rencana pernikahannya dengan Ahok. Sebagian orang menganggap kepindahan agama sebagai hal yang biasa, namun tak sedikit pula yang menentang.
Ketakutan Profesor yang Akut
Musni Umar, profesor sosiologi, sekaligus Rektor Universitas Ibnu Chaldun Jakarta membagikan kicauan di twitter atas kabar pernikahan Bripda Puput dan Ahok.
“Sebagai sosiolog saya kecam rencana Ahok kawin dgn Puput krn Puput akhirnya murtad. Ahok sdh menista Alqur’an membuat murtad lagi si Puput. Saya protes Karena bkn hanya urusan pribadi tapi sdh masuk ranah social membahayakan hub. Muslim dan non Muslim.” @musniumar.
Twit ini per 31 Januari sudah banjir tanggapan netizan, 2.160 kali di re-tweet dan mendapat 5.300 balasan. Tanggapan warganet, banyak mengecam Musni Umar yang tidak sepantasnya berkicau demikian. Saya, sebagai mahasiswa yang berusaha menyelesaikan studi sosiologi dibuat bingung oleh Musni Umar. Bagaimana tidak, klaim sosiolog (profesor pula) oleh Musni, membuat saya berpikir ulang. Apakah selama ini saya salah dalam mempelajari sosiologi? Apakah rujukan saya keliru? Apakah saya gagal menjadi calon sosiolog? Selama saya menempuh perkuliahan, saya selalu dituntut menguliti fenomena sosial tanpa mempermasalahkan baik-buruknya fakta sosial. Sebaliknya, apa yang dilakukan Musni Umar, bagi saya tak lebih dari sekadar mereproduksi ketakutan dengan dalih masalah sosial.
Kendati demikian, cobalah kita memahami Musni Umar sejenak. Ketakutan professor sosiologi ini ada baiknya kita tanggapi pula secara (sok) sosiologis, seperti klaim sosiolog yang ia lakukan. Kita ketahui, Ahok adalah salah satu public figure yang selalu mendapatkan perhatian masyarakat. Mungkin saja, prof ini takut adanya Kristenisasi terselubung yang dilakukan oleh Ahok. Berlebihan? Bagi saya kepindahan agama adalah hal yang wajar. Tapi bagi orang lain, mungkin kepindahan agama dapat menggoyahkan iman bagi umat lain. Ini bisa jadi bencana besar. Jangankan pindah agama, lha wong masih ada kok yang melihat mozaik paving saja, sudah disangka mirip salib. Bahkan sudah ada demo anti salibisasi, untung saja demo ini tidak berjilid-jilid.
Urusan keyakinan tidak dapat dipaksakan oleh kelompok mayoritas, meskipun mereka yang menguasai wacana publik. Karena demokrasi adalah sistem yang menjamin hak semua warga. Dalam perpaduan kekuasaan agama dan kekuasaan politik, agama seringkali dijadikan kendaraan demi kepentingan politik yang sempit. Sebaliknya, kekuasaan politik dimanfaatkan untuk kepentingan sebagian kelompok agama. Ketika agama menjadi ideologi politik, maka unsur nilai spiritualitasnya juga terdegradasi, dan menyesuaikan kepentingan-kepentingan politik yang pragmatis.
Pertautan Kelam Agama dan Politik
Ngomong-ngomong tentang agama dan politik, saya jadi ingat Sistem Gereja Katholik Romawi dan Sistem Khilafah Islamiyah. Yang pertama, diceritakan pada masa Kekaisaran Romawi terjadi pertautan antara kekuasaan politik dan kekuasaan agama. Hal tersebut menimbulkan malapetaka dan penderitaan, bukan bagi pemeluk agama-agama lain, melainkan bagi umat Katholik itu sendiri. Karena kesewenang-wenangan yang mengakibatkan penindasan, penganiyayaan, dan kekejaman bagi umat. Semuanya dilakukan atas nama Kristianitas dan demi kemurniannya. Kristianitas dipandang sebagai sumber legitimasi kekuasaan. Orang yang tidak setuju dengan doktrin gereja, akan dicap bidah (sesat).
Untuk yang kedua, saya memilih rujukan Farag Fouda yang mengkritik Sistem Khilafah Islamiyah. Ia pemikir Islam yang mati dibunuh dengan cara ditembak oleh seorang fundamentalis Islam. Karyanya “Kebenaran yang Hilang” mengupas sisi kelam praktik politik dan kekuasaan dalam sejarah Islam. Ia memandang, konsep “negara Islam” dalam sistem khilafah memiliki banyak kekurangan. Salah satu hal yang paling mendasar, sistem ini tidak memiliki mekanisme pemilihan pemimpin yang tetap. Rakyat tidak mendapatkan kedaulatan karena khilafah hanya percaya pada “Kedaulatan Tuhan”. Selain itu, disebutkan pula khilafah tidak memiliki mekanisme pertanggungjawaban dan kontrol atas penguasa.
Urgensi Masa Kini
Kita hidup di tahun 2019, bukan pada ratusan tahun yang lalu, dimana pertautan agama dan politik justru menjadi jembatan legitimasi kekuasaan bagi elite agama tertentu. Pertautan agama dan politik selalu menghasilkan monopoli, diskriminasi, dan kekerasan. Tak perlu pula kepindahan agama Bripda Puput didikte oleh elit politik, tokoh agama, bahkan siapapun itu. Agama adalah urusan privat masing-masing orang, bukan urusan publik. Karena negara ini bukan negara agama, tapi negara yang menganut prinsip republikan, yang seharusnya urusan privat dan publik harus dibedakan. Seharusnya Musni Umar kembali belajar Teori sosiologi Emile Durkheim, bagian Agama: “Yang Sakral” dan “Yang Profan”. Oh ya, beliau juga harus baca kisah Karl Marx yang kecewa dengan bapaknya; bapaknya Marx berpindah agama dari Yahudi menjadi Kristen karena takut pekerjaannya sebagai pengacara terancam oleh rezim fundamentalis agama!
***
Leave a Reply