Potret Penindasan dalam Teater

Di sebuah desa dimana sumber air yang tersedia berlimpah ruah, hiduplah para petani dan keluarganya yang aman dan tentram, namun ketentramannya akan segera terusik tanpa mereka tahu sebelumnya. Di tempat lain,Bambang sang kepala desa yang terlihat gagah dan berwibawa sedang bersantai dan berbicara sendiri tentang jabatnnya sebagai lurah.

Dari mulutnya keluar perkataan :

  “sebagai kepala desa, saya harus mensejahterakan masyarakat dan mensejahterakan desa ini. Tapi sebelum mensejahterakan masyarakat dan desa ini, saya harus mensejahterakan diri saya dan keluarga saya terlebih dahulu hahaha”.

   Tidak lama kemudian datanglah bapak Michael yang berpenampilan rapi dan klimis layaknya pengusaha – pengusaha pada umumnya. Ya Michael adalah seorang investor yang berencana mendirikan perusahaan air minum ASUA di desa yang dikepalai oleh pak Bambang tersebut. Kedatangannya adalah untuk meminta izin, berunding, dan membuat kesepakatan dengan sang penguasa desa itu. Pertemuan singkat antara Bambang dan Michael telah menelurkan kesepakatan tentang pendirian perusahaan air minum ASUA didesa itu. Tentunya dengan syarat seberapa besar komisi yang diterima oleh sang kepala desa, sehingga Michael bisa mendirikan perusahaan air minum dengan lancar.

  Itulah kurang lebih kutipan awal pertunujukan oleh komunitas teater LOEMINTHU dengan judul “Gonggongan” yang dipentaskan pada tanggal 3 Maret 2016 bertempat di gedung CND Fakultas Ilmu Sosial UNY. Kutipan awal pertunjukan yang sekaligus juga menjadi awal potret penindasan yang akan dialami oleh petani yang tanahnya akan dijadikan pabrik air minum ASUA di desa itu.

   Dengan kesepakatan yang telah dibuat antara dirinya dengan sang pemodal yang akan mendirikan perusahaan air minum. Tentunya juga dengan kesepakatan komisi yang diperolehnnya Bambang mulai menjalankan tugasnya untuk merealisasikan pendirian perusahaan air minum itu. Langkah awalnya adalah memberitahu kepada para petani yang tanahnya akan digunakan untuk mendirikan pabrik ASUA itu dengan iming – iming harga ganti rugi tanah yang lumayan dan juga pekerjaan di pabrik ASUA dengan upah yang tinggi pula sehingga para warga tidak perlu susah – susah bertani lagi. Dengan penawaran yang diberiakan oleh pak lurah sontak saja para petani langsung mengiyakan dan menjual tanahnya kepada perusahaan ASUA lewat perantara pak lurah. Selang beberapa waktu berdirilah perusahaan air minum ASUA itu dan para petani yang tanahanya dibeli untuk mendirikan perusahaan memang mendapatkan pekerjaan di tempat tersebut. Tetapi dari situlah para petani mulai merasakan ketertindasan. Ketertindasan yang dialami oleh petani yang sekarang bekerja di parusahaan air itu yang pertama adalah upah atau gaji yang tidak mencukupi kehidupan sehari – hari da juga kebutuhan sekolah anak mereka. Yang kedua adalah mereka dengan upah yang serba pas – pasan itu masih harus membeli kebutuhan akan air minumnya. Dahulu sebelum ada perusahaan ASUA itu mereka bebas mendapatkan air untuk mencukupi kebutuhan mereka tanpa harus membayar. Namun sekarang mereka harus membeli untuk memenuhi kebutuhan air minum mereka. Inilah konsep alienasi yang diungkapkan Marx terjadi, dimana para pekerja/buruh tidak bisa menikmati secara cuma – cuma air minum hasil dari pabrik dimana ia bekerja. Dalam hal ini pekerja terasing dari barang yang sudah ia produksi karena harus membayar terlebih dahulu untuk mendapatkan apa yang sudah ia produksi.

    Penindasan yang dalami tidak berakhir sebatas itu saja. Setelah salah satu pekerja yang merasa mendapatkan ketidakadilan ia berencana untuk menghadap pak kepala desa untuk protes tentang apa yang dialaminya. Karena menurutnya tugas dari seorang kepala desa adalah melindungi dan mengayomi warganya. Namun setelah dia bertemu dengan pak lurah, apa yang didapatkan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pak lurah berdalih sudah tidak bisa lagi mengembalikan tanah yang sudah dibeli dan dijadikan pabrik karena itu sudah kesepakatan yang dibuat dahulu. Malah sang lurah menyalahkan pekerja yang meminta haknya itu karena kurang giat bekerja, sehingga tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. Sang kepala desa bahkan sampai memberitahu kepada warga yang menuntutnya itu agar tidak berani dengan pemimpinnya. Peristiwa seorang warga yang menuntutnya menjadikan ia harus mengambil tindakan represi agar posisi jabatannya sebagai lurah tidak terancam. Demi menyelamatkan jabatannya, sang kepala desa mencari preman untuk diberinya tugas mengancam warga yang memprotesnya itu dengan menculik salah satu anggota keluarga dari warga yang memprotesnya itu. Bahkan orang yang diculiknya yang sudah tua itu dibunuh didepan mata anak dan cucunya. Sang warga tak bisa melawan apa yang sudah dilakukan oleh kepala desanya itu. Warga hanya bisa berteriak akan ketidak adilan tanpa bisa berbuat apa – apa. Karena apapun ditentukan oleh sang kepala desa sebagai penguasa.

    Walupun cerita di dalam teater masih menggunakan paradigma lama, yaitu dimana tindakan represi yang dilakukan sang kepala desa sebagai penguasa masih menggunakan jasa preman, atau dimana pemodal masih betah dengan sikap penguasa desa yang selalu meminta komisi pribadi. Namun sebagai media pencerahan, pertunujukan teater semacam itu sangat perlu diapresiasi. Dari pentas tersebut memberi tahu kita yang pertama bahwa kepala desa yang hakikatnya mengayomi, melindungi warganya bisa saja malah menjadi aktor penyengsara warganya sendiri. Kedua adalah memberitahu kita bagaimana lobi – lobi politik, bisnis dan investasi pembagunan desa hanya terjadi di level atas, yaitu antara pengusaha dan penguasa saja. Masyarakat sebagai elemen yang terkena dampaknya secara langsung tidak diajak untuk berunding tentang dampak apa yang ditimbulkan oleh pembangungan pabrik air di atas tanah mereka nantinya.

Abdulah. Penulis adalah Mahasiswa Kebijakan Pendidikan 2013 UNY, dan Anggota Humas Mazhab Colombo

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.