Tulisan ini berawal dari refleksi panjang saya, yang hampir 4 tahun ini menjadi mahasiswa di kampus UNY. Sudah begitu lama Mazhab Colombo selaku komunitas diskusi beristirahat agak lama untuk menyampaikan ide dan gagasan-gagasan baru di ruang akademik yang sekarang sudah mulai meninggalkan tradisi baca, tulis, dan diskusi. Bukannya saya bermaksud untuk membenarkan diri sendiri atau menjadi orang yang sok benar dan sok pintar, namun setiap orang mempunyai kebebasan untuk menyampaikan pemikirannya di depan umum termasuk yang saya lakukan disini.
Ada pertanyaan yang selalu menghantui saya selama ini, banyak mahasiswa bertanya apasih gunanya diskusi? Apasih gunanya membaca buku teori, sejarah, novel dll? Apasih gunanya kita menulis dan melakukan kritik yang gak jelas itu? Itulah pertanyaan generasi abad 21 ini yang suka melakukan diskursus wacana isu politik namun kurang mau untuk belajar, berdiskusi, dan menuliskan ide-idenya untuk dibaca oleh khalayak umum. Generasi abad ini melakukan transformasi pemikiran bukan lagi melalui artikel, bukan lagi menulis koran, bukan lagi membuat kajian diskusi, namun mengandalkan status BBM, Path, Instagram, Twitter, Facebook dsb. Tentunya hal ini merupakan sebuah kemajuan peradaban yang luar biasa, seseorang ketika ingin mengkritik pemerintah ataupun lembaga tertentu dapat dilakukan dengan spontanitas melalui ponsel android, Iphone, smartphone yang di genggamnya. Namun menurut pendapat saya pribadi, hal itu menjadi sebuah boomerang bagi generasi muda kita saat ini. Mengapa hal itu menjadi masalah untuk generasi saat ini? Saya akan menjawabnya satu persatu permasalahan tersebut dengan sebaik mungkin dan mempunyai rasionalitas yang logis.
Pertama. Dengan kemajuan teknologi yang super canggih seperti sekarang banyak orang lebih memilih membuat status yang panjangnya tidak lebih dari 200 kata dan akhirnya kritikan itu tidak mempunyai kerangka berpikir dan analisis yang jelas. Karena bagaimana mungkin membuat sebuah analisis yang jelas kalau panjang tulisan hanya berkisar 200 kata.
Kedua, mandulnya budaya baca, tulis, dan diskusi pada generasi mahasiswa di kampus. Setiap kegiatan organisasi kampus memiliki berbagai cabang, mulai dari himpunan mahasiswa (HIMA), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Mereka merupakan sebuah organisasi mahasiswa, namun kalau kita lihat sekarang hampir mayoritas kegiatan yang mereka lakukan lebih mementingkan peningkatan kapital dan akumulasi modal dalam menjalankan organisasi ketimbang melatih wawasan intelektual dan mempraksiskan keilmuannya untuk terjun ke masyarakat. Hal itu memang baik untuk berwirausaha atau ingin menjadi wirausahawan muda, namun ketika meninggalkan tradisi intelektual hanya demi mendapatkan keuntungan proker dikisaran 1-10 juta rupiah, layakkah pengetahuan ini tergadaikan oleh proker yang sebenarnya kurang memberikan manfaat dari segi finansial ataupun keilmuan untuk diri kita ini selalu dilanjutkan tanpa ada kritik di dalamnya? Tentunya saya masih percaya ada sebagian kecil organisasi mahasiswa yang mempunyai konsentrasi dengan hal diskusi dan pengabdian masyarakat. Namun saya yakin porsinya sangat sedikit bahkan itu hanya digunakan sebagai program kerja yang dianggap tidak menarik dan hanya sebagai penggenap untuk mengucurkan dana kemahasiswaan, lambat laun kegiatan tersebut juga akan punah dengan sendirinya. Baik HIMA, UKM, dan BEM bisa dilihat apa program unggulan mereka dalam membentuk wawasan intelektual dan melakukan kajian terkait keilmuan yang mereka geluti, saya pastikan hal itu sangat-sangat minim dan bahkan hampir punah.
Ketiga, generasi saat ini mempunyai masalah serius terkait memahami situasi ekonomi dan politik nasional. Hal ini bisa saya jelaskan lewat isu pergantian kabinet kerja Jokowi-JK 2016 ini. Banyak mahasiswa yang merasa bahwa Pak Jokowi merupakan presiden yang sederhana, beliau mempunyai kepribadian lembut, dan tegas. Ketika Pak Jokowi dikritik oleh pengamat tertentu atau televisi tertentu mereka dengan sikap reaksioner melontarkan kata-kata makian bahwa yang mengkritik itu tidak punya solusi, yang mengkritik itu benci sama presiden, dan pak Jokowi kalau buat kebijakan pasti sudah dipikirkan matang-matang dan itu pasti baik untuk bangsa Indonesia. What? What? Bagaimana mungkin seorang mahasiswa yang menempuh pendidikan Sarjana memiliki asumsi pemikiran yang begitu dangkal, dan analisis yang serampangan serta asal-asalan. Bukan hanya isu pergantian kabinet saja mereka bersikap seperti itu, ketika terjadi isu panas mengenai korupsi reklamasi DKI Jakarta, mahasiswa-mahasiswa yang tercinta ini dengan sembarangan menuduh bahwa isu tersebut merupakan propaganda orang-orang yang anti terhadap Pak Ahok. Mereka tidak berpikir apa yang salah dari kebijkan dan sistem yang dibuat, namun bersandar pada citra seseorang dan pribadi individu. Dalam memahami sebuah sistem demokrasi dan politik tentunya kita harus melihat dengan kacamata yang luas dan dengan analisis ilmiah melalui berbagai literatur ataupun jurnal pemikiran yang mumpuni. Bukan hanya percaya saja, namun kita juga harus melakukan validitas data dan analisis. Kalau mahasiswa hanya percaya pada popularitas individu dan citra saja, kalau begitu tidak ada bedanya anatara mahasiswa yang hidup di zaman demokrasi dengan orang-orang feodal yang mengandalkan kepercayaan individu dari pada menilai kebijakan atau sistem yang dibuat.
Ke-empat, terjadi krisis dalam membicarakan hal-hal yang berat ataupun persoalan yang mengharuskan kita berpikr secara mendalam dan detail. Saya mempunyai pengalaman pribadi terkait hal ini. Sudah 4 tahun ini saya bertemu dengan banyak macam mahasiswa, baik mahasiswa yang hobinya pacaran, ada yang hobinya berolahraga, ada yang hobinya main musik, ada juga yang mempunyai hobi dugem di klub malam, dan ada juga yang hobinya penelitian. Namun saya tidak pernah bisa membicarakan hal-hal yang berbau politik, teori, atau yang intinya harus memutar otak untuk menganalisis hal-hal tertentu. Bukannya saya tidak dapat beradaptasi, saya selalu bisa beradaptasi. Saya juga mempunyai hobi olahraga terutama sepak bola, saya suka main pes, saya suka main musik, saya juga suka keluar malam, saya juga suka pacaran, dll. Ketika berkumpul dengan berbagai macam mahasiswa ini sulit bagi saya untuk membicarakan hal yang berbau berat-berat, ketika membicarakan hal yang berat mereka langsung mengalihkan topik pembicaraan. Ada apa dengan generasi mahasiswa hari ini? Tentunya hobi merupakan kebutuhan semua manusia, namun apakah ilmu pengetahuan menjadi hal yang tidak penting lagi untuk di bahas? Bagaimana mungkin generasi ini bercita-cita ingin menjadi Menteri, Artis, Sastrawan, Miss Indonesia, Miss Universe, menjadi Guru, Pengusaha, Petani, Pelaut, dll tanpa mau berpikir secara mendalam tentang persoalan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Saya pernah mendengarkan pidato kebudayaan dari Hilmar Farid yang sekarang menjadi Direktorat Jenderal Kemendikbud, ia sangat kritis terhadap persolan generasi Indonesia di Abad ke 21 ini. Berikut cuplikannya:
“Hal yang membuat negeri ini seolah-olah kecil dan tidak penting karena wawasan nusantara terkait ke-Indonesia kita yang sangat sedikit. Sebenarnya kita bisa membuat film seperti The Last Samurai, atau Pirates Of Carribean bahkan Transformers sekalipun, karena sebenarnya bangsa ini mempunyai cerita yang luar biasa dan dapat di filmkan menjadi karya yang monumental seperti kisah ekspedisi pamalayu Singasari, kisah Gajah Mada dalam membentuk negara maritim pertama di Asia, Kisah kerajaan Gowa-Tallo, dan masih banyak lagi, namun karena wawasan pengetahun kita yang minim membuat mental kita menjadi kecil ketika berhadapan dengan kebudayaan luar negeri”.
Begitulah singkat cerita pidato Hilmar Farid dengan ditutup lagu nenek moyangku seorang pelaut. Persoalan utama generasi muda di Abad ke 21 ini adalah wawasaan pengetahuan, keilmuan, dan pemikiran. Tentunya diskusi, membaca, dan menulis setidaknya akan membantu lebih jauh lagi bagaimana generasi muda kini mampu berbicara lebih di ruang publik, bukan hanya sebagai penghias Mall, penghias tempat Dugem, dan penghias bioskop film luar negeri. Generasi abad ke 21 ini mau tidak mau harus mulai membiasakan diri untuk membuka wawasan dan pemikiran, karena hal itulah yang membuat negara kita sampai sekarang dilanda krisis. Krisis negara kita yang sebenarnya bukanlah elit politiknya yang korup, atau kurangnya orang pintar di negeri ini. Masalah negara kita saat ini adalah banyaknya generasi muda yang tidak bisa mengenali wawasan ke-Indonesiaan dan kurangnya pengetahuan yang luas terkait keilmuan. hal itu sangat penting agar kita mampu berbicara banyak di forum dunia dan menjadi pemain utama dalam hal ekonomi-politik dunia.
Sekali lagi saya disini bukannya ingin menjadi orang yang sok pintar, sok benar dan sok berpengetahuan, saya disini hanya ingin mengungkapkan pendapat dan pemikiraan yang selama 4 tahun ini mengahantui tidur saya yang kurang nyenyak. Siapapun boleh untuk mengkritik tulisan ini, pasti di dalam tulisan ini banyak argumen yang kurang data ataupun kurang analisis. Namun saya selalu mencoba untuk berpikir konstruktif dan berusaha mengkritik melalui refleksi pengetahuan yang saya miliki. Karena kritikan semacam ini jarang dilakukan oleh generasi mahasiswa abad 21 apalagi mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta. Kampus dengan slogan Taqwa, Mandiri, dan Cendekia. Dengan Visi pendidikan karakter untuk memuliakan martabat manusia, namun Pusat kajian dan studi keilmuan terkait pendidikan, sosial, ekonomi, politik, dan budaya saja tidak punya. Omong kosong macam apa yang saya dapat dari kampus UNY tercinta ini?
***
Ayo kalan kita diskusi lagi ?
ayo bung mari rapatkan barisa kembali