Peringatan!!! Sebelum masuk ke tulisan ini lebih dalam, ada baiknya bagi anda yang membaca untuk tidak tersinggung ataupun berprasangka buruk sebelum membaca penuh apa yang Kocang tuliskan disini.
Sebelum masuk kuliah di Universitas ‘Haru Biru’ Yogyakarta, Kocang mempunyai angan-angan yang besar, karena kampus ini begitu megah dan besar, ditambah kakak-kakak yang kece sehingga membuat Kocang percaya diri bahwa angan-angan untuk meraih impian bisa terwujud dengan mudah disini. OSPEK menjadi sarana bagi semua mahasiswa untuk mengetahui seluk-beluk kampus, fakultas dan jurusan. OSPEK juga sebagai wahana dimana mahasiswa baru, bisa mengaktualisasikan ide, keinginan, dan cita-citanya. Sungguh heroik melihat kakak-kakak panitia yang berjiwa sok-aktivis dan sok-pembela kebenaran ini! Cuih! paling juga dikasih uang diam. Itulah prasangka pribadiku ketika mengikuti OSPEK. Selama 5 hari jalannya OSPEK, semua mahasiswa berubah menjadi lebih berani, progresif, dan tiba-tiba jadi kreatif! Hebat sekali ya? Aku kagum dan terkesan akan itu semua, jujur sih aku agak “nyinyir” dengan omong kosong kakak angkatan itu, maklum karena mereka belum membuktikan perjuangan melawan ketidakadilan didepan mataku sendiri. Kemudian dilanjut dengan kegiatan OSPEK Jurusan, lagi-lagi sama semuanya, jadi sok-bijaksana dan sok-dewasa. Tak ada hal yang liar dan nakalnya anak muda. Semuanya jadi orang tua, hebat sekali! Kakak-kakak itu berpesan sangat mulia, kira-kira bunyinya begini:
“Kalian jadi mahasiswa harus berani, dan bertanggung jawab. Kalian bukan anak kecil lagi. Harus kreatif, melakukan apa saja yang kalian inginkan dan semuanya bebas untuk berpendapat serta melawan ketidakadilan”
Jargon-jargon diatas sungguh membuatku sedikit merevisi asumsi dasarku sendiri, yang menyebut mereka omong kosong belaka. Ternyata mereka pemberani dan heroik! Yes! Kemudian aku percaya dengan banyolan itu, dan terhanyut dalam suasana romatisme ala-mahasiswa baru. Walaupun begitu aku heran dengan teman-teman digugus OSPEK yang begitu semangat ketika ber-orasi, dan tampil didepan panggung untuk mengkritik kebijakan negara. Ada puluhan teman yang mengajakku untuk ikut orasi dan demonstrasi “Woy kamu jangan cuman diam, kita ini mahasiswa ayo bergerak dan demo”! Itulah kata-kata yang kuingat, namun aku tetap duduk santai saja, tak mau ikut-ikut kegiatan macam itu.
Pada waktu itu aku hanya duduk dan diam, tak punya keberanian apapun untuk bicara, bahkan ketika semua orang naik panggung OSPEK, aku hanya dibelakang pohon taman Gudegsari, karena tak bisa berbicara dan tak berani seperti mereka, Sial aku anak pemalu! Aku kagum dengan teman-temanku yang berani berbicara lantang dengan Speaker ala Che Guevara, tapi aku bukanlah lelaki si pemberani itu. Aku bukan pembacot seperti mereka!
Kemudian OSPEK berakhir, dan hari-hari kuliah menanti, kampus menjadi normal lagi, tak ada orasi dan tak ada demonstrasi. Semuanya tiarap didalam kelas, mengamati dosen bertutur kata, mematuhi perintahnya, “manggut-manggut” kalau dosen membahas persoalan teori atau analisis sosial, yang terakhir dan sangat penting adalah segera kerjakan tugas walaupun itu copy-paste, lakukanlah! Karena tugas adalah ilmu! Hanya dengan tugas yang kamu kerjakan nilaimu akan keluar dengan sempurna, dan kalaupun beruntung, kamu bisa dapet nilai A++”. Hihihi. Seru bukan? Hanya kuliah di Jurusan Sosi-linggis semuanya serba sulapan, instan, tanpa proses, dan “mak “byuuk” jadi nilai A++! Hebat sekali ya? Bisa mencetak tenaga profesional dengan metode singkat ala-peternakan ayam broiler, dikasih makan langsung kenyang dan siap panen! Mantap sekali bung dan nona! Hari-hari kuliah semacam rutinitas yang membosankan, tak pernah membaca buku, kalau tugas kelompok cukup copy-paste dari internet, kalau diskusi sebisa mungkin menyamar menjadi “batu”, yang terakhir ketika datang banyak tugas dari dosen, mereka hanya bisa mengumpat dalam hati dan berkata “Tidaaakkkk”!
Omong kosong macam apa ini? mana kata-kata yang lantang saat OSPEK yang mengatakan bahwa “mahasiswa harus berani, kreatif, dan menentang ketidakadilan” hahahaa itulah omong kosong! Dan baru kusadari semuanya itu salah, OSPEK yang tak ada gunanya meracuni pikiranku, dan obrolan-obrolan tidak penting menjadi hobiku yang menyenangkan. Menjadi mahasiswa sok-kaya dan sok-modis adalah mimpiku! Aku berubah haluan, aku harus up-to-date dengan mode baju, pakaian, film, sepatu, kosmetik, pacar, gadget, laptop, salon, semuanya harus aku beli! Titik! Tak ada buku, dan tak ada novel! Hidupku miskin pengetahuan, yang aku tahu hanyalah pengetahuan dari Dosen yang kadang se-enaknya sendiri tidak masuk kelas dan memberikan tugas berat.
Walaupun begitu aku harus kuliah, biar bisa jadi guru, punya mobil, rumah mewah, motor trendi seperti artis di film “anak jalanan”, dan pacarku harus seperti “Pevita Pearce/ Raisa”! Bergaya lebih bahagia, ketimbang punya pengetahuan tapi tak bisa bergaya didepan kamera. Lebih baik punya teman “ngrumpi atau genk” ketimbang punya teman diskusi. Apa sih itu Diskusi? Enggak penting deh! “yang penting gue kuliah bayar, terus keluar kampus dapet ijazah”. Apa itu Karl Marx, Max Weber, Emile Durkheim, Antonio Gramsci, Adorno, Habermas, Herbert Marcuse, Foucault, Boudrilard? Siapa itu mereka? Enggak penting tauukkk! Yang penting mereka enggak ganggu hidup gue, biar gue bisa tenang, dan hidup seneng-seneng! Fiks
Tiba-tiba sudah semester 4, artinya sudah 2 tahun ini kuliah, namun aku tak tahu apa itu kuliah? Kenapa harus belajar? Kenapa harus tahu teori? Kenapa sih harus jadi guru? Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui pikiranku selama berbulan-bulan. Ku-amati ketika ada diskusi kelas yang membahas “Masalah Sosial Budaya Masyarakat Indonesia”, Aku melihat dengan jelas bahwa temanku sudah malas untuk belajar, apalagi kuliah! Teman-temanku hanya tiduran saat diskusi, ada yang diam seribu bahasa, ada yang dengerin lagu lewat headshet, ada juga yang bercanda-ria, ada yang bersenang-senang dengan bribikan, dan yang paling parah lagi, ada yang streaming film “Bokep”! Gilaa! Di dalam hati aku berkata, pendidikan macam apa ini! Omong kosong apa ini! Benar-benar membuatku muak, setelah itu aku berani untuk keluar dari kelas dan mengumpat dengan kata-kata kasar. Aku kembali merefleksikan mengapa ketika kuliah aku menjadi bodoh? Padahal waktu SMA aku sangat menyukai pelajaran Sosi-linggis. Ada apa denganku? Ketika tak ada harapan, semuanya serba bulshit. Dan kata-kata hanyalah jargon semu yang penuh tipuan! Tak ada masa depan! Adanya soal diangkat jadi PNS titik! Aku mulai berkata dalam hati, “Pendidikan kampus di ‘Haru Biru’ sama saja dengan mengkerdilkan pikiran, otak, mental dan memiskinkan manusia”.
Bayangkan orang tuaku tiap bulan mentransfer uang untuk biaya hidupku sekitar Rp. 800,000 – 1,000,000, dan hasil yang kudapatkan hanya hepi-hepi! Masih mending hepi-hepi, tapi jangan Happy Puppy, atau Liquid, wah itu mahal sewanya! Belum saat ada KKL, orang tua harus merogoh kocek jutaan rupiah untuk membayar transportasi dan uang saku untuk oleh-oleh. Belum lagi KKN, PPL, dan lain-lain, sungguh menyebalkan! Belum lagi bayar uang SPP yang mahal, sekitar 2 jutaan lebih. Pendidikan yang benar-benar membuat kita miskin ilmu dan ekonomi!
Kalau dihitung-hitung orang tuaku harus merogoh kocek kurang lebih senilai 70 juta rupiah, untuk aku bisa kuliah 4 tahun dan lulus. Mahal sekali, dan sangat sayang kalau kuliah hanya hepi-hepi seperti ini! Namun teman-temanku yang lain mungkin punya perasaan yang sama padaku, tapi karena mereka takut ancaman, maka mereka tak berani berbicara lantang seperti saat OSPEK Fakultas dimasa lalu! “Hahaha”. Bayangkan saja uang sebesar itu, ketika kita benar-benar bisa jadi PNS, mengembalikan uang 70 juta membutuhkan waktu yang bertahun-tahun bukan?
Aku mulai menyadari mengapa lingkungan kelasku begitu nyaman dengan keadaan ini, bahkan seperti menikmatinya! Karena sistem pendidikan yang menaunginya benar-benar tak manusiawi dan menindas semua orang, bayangkan saja setiap dosen yang masuk kelas memberikan tugas sangat banyak dengan estimasi waktu yang mepet, hampir tiap masuk kelas hasil akhirnya adalah tugas. Tugas, tugas, dan tugas! Padahal teman-teman jarang membaca buku, apalagi membeli buku, bagaimana mereka bisa mengerjakan tugas kalau jarang membaca? Bagaimana mereka menjadi guru yang baik bagi siswanya kalau membaca buku saja ogah-ogahan? Rusaklah pendidikan kita ini, di Indonesia kalau semua gurunya meniru perilakuku dan teman-temanku, Mantap jiwa bos! Dan lagi, yang penting hepi! Sekali lagi yang penting kita itu masuk kelas, duduk, gak usah banyak tanya, dilarang protes, dan bermuka baik ketika ketemu dosen. Hihi lucu banget sumpah!
Kemudian setelah muak dengan ‘kebulshitan’ ini aku mencoba membaca buku cetakan penerbit Kreasi Wacana yang ditulis oleh George Ritzer, membuatku sedikit mengetahui apa itu Sosi-linggis? Apa gunanya disiplin ilmu ini? dan bagaimana menjadi Sosi-linggis? Aku mulai bernapsu dengan buku apa saja, yang kukira menarik untuk dibaca langsung kulahap dengan nikmat! Dari bukunya Antonio Gramsci, Max Weber, Karl Marx, Durkheim, Foucault, Boudrilard, Derrida, sampai Mazhab Frankfurt bahkan Post-Modern telah aku baca.
Ketika membaca buku, disitu aku melihat sebuah dunia yang begitu luas dan penuh mimpi, keindahan berseri-seri, dan langit yang jauh itu seperti dekat dengan tangan kita. Sangat mempesona! Namun ketika aku melangkah sedikit demi sedikit, aku menjadi tahu bahwa mahasiswa masuk kuliah, bukan berarti ia ingin belajar ilmu pengetahuan, tapi hanya sekedar untuk menjadi kelas priyayi atau kelas menengah ‘ngehek! Tau kelas menengah ‘ngehek enggak? Kelas sosial yang dimana dia tidak punya alat produksi dan modal, kemudian mengandalkan jasa pendidikannya untuk kaya raya dan ingin menjadi kelas borjuis, tapi mereka tak bisa masuk dalam kategori borjuis karena itu sebutan terlalu tinggi bagi mereka! Mereka tak bisa menjadi kelas borjuis karena kekurangan modal dan tak punya infrastruktur industrial, tapi mereka juga tidak mau kalau disebut sebagai kelas proletariat. Kelas menengah ngehek’ ini menjadi lintah darat bagi pendidikan, bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi menjadi pengikut trend setia pasar dan merek dunia! Bergaya hidup mewah, minim ilmu pengetahuan, dan ber-ideologi priyayi. Maunya dihormati dan tidak mau dibantah! Hebat sekali kelas sosial ini, dibuat dari apa mereka itu?
Selang beberapa tahun dan akhirnya lulus kuliah, aku mulai sadar bahwa lingkungan pendidikan itu adalah neraka yang susah untuk dihilangkan! Ia adalah sumber kemiskinan, karena mengeruk harta kekayaan orang tua, dan belum tentu ketika lulus bisa langsung mendapatkan kerja dengan gaji yang tinggi! Pendidikan kampus ‘Haru Biru’ mirip pameran sirkus, karena yang ada hanyalah kekonyolan, bualan, percintaan, pencitraan, dan selangkangan! Lihat saja kalau ada demonstrasi ketika mahasiswa menolak tarif UKT naik, pasti jumlahnya lebih sedikit ketimbang mahasiswa yang ngantri nonton film “Warkop DKI Reborn”!
Ada pengalaman menarik saat KKN, ada simbah-simbah petani yang sudah tua bertanya kepada mahasiswa, “bagaimana cara bertani dengan baik dan menghasilkan komoditas tanaman yang besar dan hasilnya bisa buat naik haji dek”? Tanya simbah-simbah itu kepada calon sarjana pertanian tersebut. Kemudian si mahasiswa ini menjawab “Bentar ya mbah, tak search google dulu di HP”. Si embah langsung menimpali jawaban si mahasiswa “kamu kuliah 3 tahun lebih kok gak tau apa-apa, saya tidak sekolah saja tahu kok dek”! hahaha guyonan yang menggelitik saat aku sedang melaksanakan Program KKN Universitas ‘Haru Biru’ disuatu daerah.
Kritikan semacam ini yang dibutuhkan oleh pendidikan sirkus dan pendidikan yang memiskinkan ilmu dan perekonomian, Kata Filsuf Pendidikan Taman siswa, Darmaningtyas! Membuang-buang uang secara percuma dan hanya mendapatkan sedikit saja ilmu, itu-pun sebenarnya bisa didapatakan tanpa kuliah. Pendidikan kehewanan macam apa ini? Gila loe ndro! Mending kuliah seneng-seneng aja, emang gue pikirin, udahlah jangan sok-sok-an, mending patuh aja deh dari pada kena banyak masalah. Oke jargon kita hari ini adalah, yang penting hepi aja boskuh!!!
Leave a Reply