Entah mengapa di tahun-tahun politik wacana terkait kebangsaan minim untuk didiskusikan secara serius. Para kandidat lebih menyukai politik pencitraan di media ketimbang membicarakan hal-hal serius, seperti; apakah benar dasar negara kita masih relevan? Bagaimana sistem ekonomi yang paling cocok untuk negara ini? Atau apakah pendidikan perlu dikembalikan lagi ke komunitas masyarakat? Menurut saya pertanyaan mendasar ini sangat penting untuk didiskusikan lebih lanjut oleh pasangan capres dan cawapres.
Namun, sampai sekarang tidak ada yang membahas hal itu! Para kandidat Lebih memilih memperdebatkan tempe setipis ATM, Politik Genderuwo, Politik pecah belah dan Tampang Boyolali.
“Ya Allah, iki negara cap opo! Perdebatan sing ra mutu pun di wartakan di acara televisi sekelas Indonesia Lawyer Club (ILC) maupun acara-acara lain.”
Dahulu waktu mahasiswa, saya suka sekali dengan perdebatan politik, tapi sekarang saya sudah tidak tertarik lagi dengan hal semacam ini. Hanya jargon, slogan, dan kekonyolan yang saya dapatkan dari debat politik. Sekarang, malas rasanya menonton acara debat di televisi, semua akun youtube saya blok karena membicarakan politik remeh temeh, dan yang terakhir para vlogger politik yang biasanya saya subscribe, sudah saya blok juga. Saya sudah tidak mau lagi mendengar cocot-cocot yang meresahkan pikiran dan hidup saya.
Pada titik inilah, saya ingin mencoba hal baru dalam melihat politik. Karena membaca buku sudah jarang saya lakukan dikarenakan rutinitas kerja yang padat. Mendengarkan pengajian Cak Nun di youtube menjadi alternatif saya dalam memaknai politik sekarang. Saya ingin belajar agama sekaligus politik secara mendalam dan khusyuk. Masyallah, saya suka sekali dengan kajian-kajian yang dilakukan komunitas Maiyah ini. Ditengah diskusi politik norak ala televisi, ternyata Cak Nun dan pengajiannya mampu menyehatkan pikiran, dan hati saya. Pengajian ini sangat kompleks membahas banyak hal. Mulai kebudayaan, adat, agama, kehidupan, politik, ekonomi sampai persoalan remeh temeh terkait serawung tangga.
Figur seperti Cak Nun ini hampir sulit ditemukan di Indonesia. Sosok yang memiliki pemahaman ilmu keagamaan yang dalam, Intelektualitas berpikirnya juga moncer, berkarya dengan kesenian, dan ahlinya ndagel. Beliau juga kalau bicara ceplas-ceplos, dan selalu membuat orang tertawa. Itu yang membuat banyak orang tidak bosan mendengar dan mengikuti kajiannya.
Bagi saya, Cak Nun adalah suatu anomali yang terjadi sekarang ini. Ditengah naiknya popularitas Gerakan Politik Islam yang berlomba-lomba mencari sekutu untuk pemenangan masing-masing kandidat di pilpres 2019. Dari Ulama sampai Ustadz pun ikut-ikutan dalam politik, yang awalnya mereka biasanya ngisi ceramah pengajian, sekarang mulai jadi tim sukses dan tampil di media. Pada akhirnya, mereka sudah kehilangan rasionalitas dan kebijaksanaannya.
Tetap Berjuang Di Akar Rumput
Sementara itu, Cak Nun yang mempunyai massa dan pengikut setia, tetap tidak mau tampil di atas panggung politik. Ia dan para pengikutnya memilih jalan yang sepi. Turun ke desa-desa menggelar pengajian, dan berbicara mengenai problem keseharaian warga. Cak Nun seperti menampar muka para politikus yang tiap hari bicara tentang rakyat, namun bertemu dengan rakyat saja jarang. Politikus ini kalau turun ke bahwa pasti langsung diikuti awak media, dan akhirnya beritanya pun jadi viral.
Hal ini yang membuat saya tidak suka, seolah-olah naturalitas sebagai manusia untuk bertemu dengan sesama harus dibungkus sedemikian rupa. Lha mosok misale, saya jadi Ketua DPR yang mau berkunjung ke desa. Mosok saya harus bilang ke asisten saya begini;
“Tolong ya kamu atur semua acara , besok saya mau berkunjung ke desa A, undang semua wartawan biar saya dianggap peduli dengan masyarakat bawah.” Lha nek kabeh politikus koyo ngene, yo Asu Cok!
Belajar Konsep Kebangsaan Dari Cak Nun
Kembali lagi ke sosok Cak Nun. Saya tidak hanya pendengar ceramahnya di YouTube, tapi juga pernah dua kali datang langsung ke Pengajian Maiyah. Hal yang paling saya ingat ketika pada acara pengajian Maiyah di UGM tahun 2017 lalu, saya diberikan kesempatan bertanya dan Cak Nun menjawab pertanyaan itu dengan simpel namun tajam sekali. Saya bahkan tidak menduga ia akan menjawab dengan cara yang nyleneh seperti itu. Kira-kira dulu saya bertanya begini kepada Cak Nun.
“Saya itu bingung Cak, sekarang kok Pancasila digunakan untuk mendiskrimnasikan orang-orang yang berbeda dan minoritas. Padahal kan seharusnya Pancasila melindungi mereka. Dulu Pancasila digunakan oleh Bung Karno untuk mendukung agenda sosialisme, pas Jaman Suharto digunakan untuk mendukung Pembangunanisme, jaman reformasi digunakan untuk mendukung agenda perdagangan bebas. Apakah pancasila masih relevan cak sampai saat ini?”
Dengan santainya Cak Nun, kira-kira menjawab begini;
“Pancasila iku ora salah. Yang bersalah adalah manusianya yang menggunakan Pancasila untuk agenda dirinya dan kelompoknya sendiri. lha saiki opo Al-Qur,an kui salah mergo ada orang yang menggunakan ayat-ayat suci untuk aksi terorisme. Opo terus Al-Qur,an kui salah? Yo ora, sing salah manusianya yang tidak paham dan bijak menggunakannya.”
Jawaban seperti inilah yang tidak saya dapatkan di debat-debat politik masa kini, dan forum pengajian yang selalu membahas surga dan neraka. Cak Nun adalah seorang komunikator ulung, ia bisa menjelaskan konsep yang rumit dan fiolosofis menjadi kalimat yang mudah dipahami oleh orang awam sekalipun. Banyak orang-orang cerdas di negeri ini yang tahu banyak hal persoalan bangsa, namun cara penyampaiannya tidak dapat dipahami oleh orang awam.
Ada juga orang cerdas yang sukanya bilang bodoh kepada orang-orang yang dianggap tidak berpendidikan. Cak Nun sangat berbeda dengan orang-orang seperti ini. Bahwa kecerdasan itu harusnya memudahkan orang untuk berkomunikasi dan berdialog. Cak Nun mampu meramu itu semua menjadi satu, dan akhirnya semua orang mau mendengar dan bertanya dari persoalan yang berat sampai persoalan ringan.
Gagasan mengenai kebangsaan juga ia ulik dengan serius. Dalam suatu pengajian ia berbicara mengenai apa gunanya demokrasi. Disitu saya mulai tercerahkan, bahwa demokrasi tanpa keadilan sosial dan ekonomi sama saja dengan perbudakan. Indonesia yang memiliki budaya dan adat istiadat serta sistem sosial yang rumit membutuhkan orang-orang sing gelem mikir jero, ora mung uwong sing waton ngomong untuk kepentingan sesaat para kelompok politik. Cak Nun dan pengajian Maiyah adalah harapan baru. Bahwa gagasan kebangsaan yang miskin di layar kaca, harus diganti dengan gagasan kebangsaan yang nyleneh namun mampu memberikan alternatif solusi untuk masa depan.
***
Leave a Reply