Pertanyaan yang sebenarnya lebih penting daripada pertanyaan kapan menikah adalah sudah siapkah kita untuk menikah?
Pertanyaan kapan menikah seolah menjadi beban pikiran, padahal sejatinya kesiapan inilah yang berperan besar dalam mempertahankan bahtera rumah tangga percintaan. Banyak kisah kapal yang karam tersandung karang karena kurangnya bekal untuk berlayar, membuat kapal karena desakkan orang bukan karena sebuah kebutuhan. Pastinya tidak akan mampu menerabas ombak yang ganas.
Menikah, bukan saja sebuah instrumen ritus agama maupun lembaga lainnya yang mengesahkan sepasang manusia untuk hidup bersama. Menikah, sebagai bentuk dasar bagaimana dirimu menjadi zoon politicon, bahwa seorang manusia membutuhkan bantuan manusia yang lain, mencipta harmoni sebelum beranjak pada tataran makro yang lebih majemuk. Jadi, pengkondisian yang seharusnya terjadi dimana kamu bisa harmonis berdua saja dahulu baru bisa harmonisasi dengan khalayak luas. Bukan khalayak luas yang merepresi kamu untuk membuat harmoni ditataran mikro.
Pernah suatu hari seorang guru agama bercerita, bagaimana kita harus bersikap dalam ruang lingkup rumah tangga, dari hal remeh temeh sampai hal-hal tabu diperbincangkan. Beliau mengatakan bahwa suami sejatinya kepala rumah tangga, sedangkan istri adalah pemimpin rumah tangga. Bayangkan bahwa suami adalah presiden dan istri adalah perdana menteri, sekilas peranan vital diampu oleh sang suami. Padahal jobdesk yang vital justru diampu oleh istri, karena peran menjaga stabilitas dapur, rumah, dan mendidik anak adalah kelebihan seorang istri.
Tentu sebagai suami harus mampu membantu meringankan beban kerja istri, karena rumah dan keluarga adalah milik berdua, tidak boleh ada istilah menguasai dan dikuasai. Jika istri sedang memasak, seorang suami harus mendekat dan menanyakan apakah istrinya perlu dibantu. Jika istri lelah maka suami juga berkewajiban untuk memijat, bukan istri mulu!
Aturan istri yang bepergian harus seizin suami pun sebenarnya sebuah aturan yang dinawaitukan agar suami-istri harus saling mengkomunikasikan segala hal, bukan malah mengurung wanita dalam sangkar emas. Suami diberi kuasa perizinan agar mampu bersikap bijaksana.
“Dan kayaknya biar ada fungsinya karena segala sesuatu wanita bisa, termasuk tanpa peran pria
hahaha.”
Semakin sayang kepada istri maka pintu rejeki akan dibukakan semakin lebar. Beliau mengatakan gombalan termasuk ibadah, karena gombalan akan selalu memupuk rasa cinta pasangan. Bahkan ketika posisi berkeinginan “ngibadah” seorang suami diharuskan menanyakan persetujuan istri terlebih dahulu, apakah sepakat atau tidak. Disinilah yang sering terlewat diajarkan, karena berumah tangga bukan hanya istri yang mengabdi pada suami, tapi suami juga mengabdi pada istri.
“Gumun? Baru tau? Kurang tabbayun dirimu akhi-ukhti.”
Lalu frasa pasanganmu adalah pakaianmu bukan semata tentang kewajiban menutupi aib suami atau istri, makna yang lebih dalam dari itu adalah bagaimana dengan bersamanya dua insan ciptaan Tuhan ini mampu menjadikan keduanya lebih baik dari sebelumnya. Saling melengkapi dan mampu merangkul disaat salah satu lemah, bagaikan kisah cinta dalam film Korea, jangan malah meniru sinetron Indonesia, lebay!
Jadi pada akhirnya menikah atau membangun bahtera rumah tangga, bukan sekedar untuk melepaskan libidomu ataupun melepaskan pelor-pelor. Akan tetapi menjadi awal dari dirimu memahami hak dan kewajiban sebagai individu untuk bersikap di dalam skup terkecil yaitu keluarga. Menikah sejatinya sebuah kemantapan akan kesadaran.
“Jadi sudah siapkah dirimu untuk menikah?”
***
Leave a Reply