Tentang Seksualitas: Dari Seksisme Sampai Pelacuran

Gadis-gadis muda yang menawan dan para laki-laki melakukan hubungan seks di dalam lingkungan istana Singasari. Mereka memanjatkan doa dan pujian kepada dewa-dewi sambil tubuhnya saling tindih diatas ranjang besar yang sudah disiapkan istana. Memupuskan segala maksud duniawi demi mencapai kesempurnaan rohani. Sayang, tak jarang diantara mereka malah terangsang dalam kenikmatan seks. Alih-alih mendapat kedigdayaan dengan seksualitas, malah ritual ini menyesatkan moral para pelakunya.

“Itulah Tantra. Sebuah ritus keagamaan yang dilakukan Kertanegara, dalam mencapai kedigdayaan supaya dapat membendung kekuatan militer maritim Mongol dibawah pimpinan Khubilai Khan.” (Earl Drake, 2012)

Saat itu, pasukan Mongol memang sudah berkumpul di sekitar laut Jawa, bersiap melancarkan serangan ke Singasari. Selain menghadapi kekuatan Mongol yang sudah diperkirakan, ternyata Kediri pun melakukan penyerangan kedalam Istana. Singkat cerita, hancurlah kekuasaan Singasari di pulau Jawa. Inilah yang dikisahkan Earl Drake dalam bukunya, Gayatri. Nampaknya dia mencoba mengupas masalah prilaku seks dan kekuasaan melalui cerita masa lampau.

Seks dalam Kuasa

Nada sinis selalu saja menjadi pengganjal diskusi-diskusi soal seksualitas. Padahal sejak dulu seks telah mendapat posisi penting dalam membangun peradaban. Sebagaimana yang tertulis dalam epos-epos kuno, sejarah, dan kajian humaniora lain. Apalagi zaman sekarang, kalau tidak mau tahu dan masih menganggap persoalan ini sebagai hal yang tabu, maka akan timbul distorsi dalam memaknai realita sosial yang ada. Alhasil, pemahaman soal seksualitas pun mandek. Hanya berkutat pada kata asusila dan mesum.

Eits, kok mesum sih ngomongnya? Sudahlah jangan bicara soal begini nanti dosa.”

Tentu, ketika berbicara soal seks. Cibiran sok suci sering keluar dari masyarakat kita. Seakan persoalan ini memang tabu untuk dibicarakan. Karena anggapan bahwa seksualitas sebagai kegiatan biologis semata, lalu memandangnya secara inklusif dengan embel-embel “kedewasaan”? Pun kalau bukan umur sebagai ukuran, bisa jadi agama dengan segala ajarannya sering kali menempatkan persoalan seksualitas jadi hal yang abstrak untuk diperbincangkan. Meskipun tidak semua agama bicara soal perilaku dosa dalam seks. Semisal, ritual Tantra-nya Hindu yang sudah saya singgung diawal.      

Narasi tentang harta, kekuasaan dan wanita adalah bukti bagaimana seksualitas memainkan peran-nya dalam perkembangan budaya. Terlebih, narasi seperti itu adalah bentuk objektifikasi kaum laki-laki terhadap perempuan. Maka tak heran jika raja-raja jaman dahulu ber-istri banyak. Bukan tanpa alasan. Beristri banyak secara simbolis telah menunjukkan keperkasaan dan kejantanan laki-laki, ini adalah pola keyakinan masyarakat feodal dengan budaya patriarki yang kuat.

Raja sebagai pemegang kuasa dalam pemerintahan tradisional, haruslah memiliki daya seksual yang tinggi, karena dengan itu negeri akan terlihat kuat dan aman bagi rakyat-nya. Pun di era sekarang, politik sebagai sebuah kontruksi pemikiran manusia tentu saja tidak dapat dilepaskan dari persoalan seksualitas dan kekuasaan.

Foucault menyandingkan seksualitas dengan kekuasaan. Ia berpandangan bahwa semua yang terjadi pada suatu pola pemerintahan baik persoalan ekonomi, sosial dan budaya selalu memiliki keterkaitan dengan seksualitas.

Baginya, kekuasaan bekerja dengan cara mengontrol. Sementara, seksualitas selalu berhubungan dengan populasi dan perilaku manusia. Tentu inilah yang nantinya mempengaruhi keputusan politik penguasa dalam mengontrol rakyatnya. Contohnya adalah, wacana seksualitas yang termanifestasikan dalam kebijakan politik negara melalui lembaga pendidikan.

Lembaga pendidikan di negara ini beranggapan bahwa, seks sebagai hal yang berbahaya bagi masa depan anak sebagai tenaga produktif.  Oleh sebab itu, anak perlu dijauhkan dari persoalan seksualitas. Bukan hanya pemahaman, membicarakannya saja bisa mendatangkan hukuman. Sepertinya produktifitas ekonomi menjadi motivasi tersendiri untuk mengaburkan pemahaman seks terhadap peserta didik, dengan mereduksi nilai agama dan moralitas yang ada. Karena tubuh yang patuh terhadap produktifitas merupakan sasaran dari kekuasaan.

Seksisme; Perempuan dan Masyarakat

Persoalan seks tentu tidak dapat dilepaskan dari posisi perempuan di dalamnya. Baik secara sadar maupun tidak, perempuan memiliki kedudukan yang spesial. Setidaknya, realita hari ini menggambarkan bagaimana seksisme selalu bersinggungan dengan tubuh perempuan.

Sebagai contoh. Dalam kehidupan sehari-hari nampaknya perempuan seringkali menerima perlakuan seksis dari masyarakat. Semisal, ketika dalam kegiatan kerja, olahraga dan aktifitas yang menunjukan lekuk tubuh perempuan akan mendapatkan tatapan sinis dari sekitar. Bukan hanya menatap. Tak jarang pula mereka di “goda” baik secara verbal maupun tindakan fisik. Apalagi kalau ada perempuan yang pulang kerumah larut malam. Tanpa mau tahu kepentingannya apa, kebanyakan orang malah mengolok soal pergaulan si perempuan. Objektifikasi terhadap perempuan ini sepertinya sudah menjadi norma sosial yang sudah sepantasnya para perempuan tunduk dan menerima-nya.

“Semacam (takdir) yang mengikat melalui hukum kepatutan, yang terkadang justru menawarkan bentuk pewajaran tindakan seksis kepada perempuan.”

Memang, antara perempuan dan laki-laki mempunyai perbedaan. Paling tidak dalam peranannya dalam kehidupan. Mungkin semacam kodrat atau hukum alam yang siapapun tidak punya kuasa untuk merubahnya. Akan tetapi, yang jadi persoalan adalah nilai kodrat itu sering kali direduksi menjadi suatu sikap repsresif dan diskriminatif.  

Persoalan diskriminasi terhadap perempuan adalah perkara kurang sadarnya masyarakat. Tentu, pandangan remeh dan seskis harus diruntuhkan. Dengan saling menyadari peran masing-masing, baik laki-laki maupun perempuan.

Pelacuran; Sekedar Opini

Belakangan, masyarakat kita diramaikan dengan berita prostitusi online yang melibatkan sederet artis dalam negeri. Tidak tanggung-tanggung, harga yang dipatok kelompok ini kepada pemburu kenikmatan seks pun sangat fantastis. Beragam tanggapan pun dilontarkan masyarakat, khususnya warganet. Ada yang mengutuk perbuatan itu, ada pula yang mem-parodikannya dalam berbagai bentuk kreatifitas. Terlepas dari itu, saya beranggapan bahwa isu-isu seperti ini memang menjadi primadona di masyarakat kita.

Bicara soal pelacuran tidak dapat dilepaskan dari persoalan gender dan ekonomi. Motif bisnis lebih terlihat dibanding dengan kepuasan seksual. Anehnya, moralitas dengan dalih pemberdayaan perempuan dijadikan alasan pemerintah untuk mempersempit ruang gerak dunia kepelacuran. Masyarakat akan beranggapan kalau prostitusi semakin turun, maka martabat berkehidupan akan selalu terjaga. Anggapan ini tidak dibarengi dengan penghargaan terhadap kehidupan perempuan, apalagi kepada eks pelacur. Padahal perempuan pun berhak mendapatkan penghargaan terhadap keberadaannya, sebab  kata Nietsche;

“Perempuan sempurna adalah makluk yang memiliki derajat paling tinggi dibandingkan laki-laki sempurna.” (Nietsche, dalam Peter Levine: 1976)

Igauan Nietsche Ini mengingatkan saya pada cerita yang di tuliskan Socrates, tentang seorang perempuan bernama Theodote yang berprofesi sebagai Hetairai (pelacur kelas atas Athena). Berbeda pada perempuan Yunani pada umumnya, Hetairai menduduki posisi lebih tinggi dalam masyarakat. Hetairai tidak hanya piawai dalam urusan pemuas hasrat seksual saja, ia juga memliki kecakapan dalam ilmu pengetahuan, filsafat, dan seni.  Hal ini yang membuat posisinya selalu dihormati.  Konon Hetairai selalu disandingkan dengan perwujudan Athena sebagai Dewi Kebijaksanaan dalam kepercayaan Yunani Kuno.

Kedudukan perempuan dalam masyarakat memang seharusnya dimuliakan. Tidak terkecuali mereka yang berkecimpung dalam dunia pelacuran. Tanpa mereka tidak akan ada perkembangan dalam peradaban. Sejarah pun mencatat, bahwa rumah bordil khususnya di Indonesia sangat memainkan peranan dalam perjuangan. Setidaknya para serdadu dan bangsawan kelas menengah kolonial sangat membutuhkan keberadaan prostitusi di Hindia, supaya hasrat seksnya terpenuhi tanpa harus pulang ke negeri asalnya. Di lain sisi, lokalisasi pun kerap dijadikan sarang diskusi para penuntut kemerdekaan, pelacur pun memainkan peran nya dalam mengumpulkan informasi-informasi penting dari para penjajah.

Kondisi historis seperti itu jelas menunjukan adanya keterkaitan antara perempuan, kekuasaan dan seksualitas. Hubungannya tidak dapat dilepaskan. Bahkan Rendra pun dalam sajak-nya Bersatulah Pelacur-pelacur kota Jakarta, telah mengisyaratkan secara jelas bagaimana keterkaitan itu.

Kembali ke kondisi hari ini, dimana ruang gerak prostitusi selalu dihantam dengan persoalan moralis yang terkadang tak logis. Maraknya penutupan prostitusi dan upaya pengkerdilan sosial terhadap pelakunya justru malah menimbulkan dampak baru.

“Setidaknya, nikah muda, kriminalitas seksual sampai seks bebas adalah akibat yang ditimbulkan.”

Pengalaman seksual remaja dari teman dekatnya (pacar) membuat pemuasan kebutuhan seksual mereka memadai. Dengan hanya berceloteh tentang ke-absurd-an makna cinta, mereka dengan kuasa-nya memperlakukan seks sebagai bentuk pembuktian perasaan dalam hatinya. Sedangkan pada orang dewasa, perselingkuhan menjadi alternatif pemuas kebutuhan seksualnya.

Seksualitas semacam ini adalah bentuk perampasan terhadap kemerdekaan (eksistensi) orang lain dengan pembiasan makna dari hasrat saling suka.  Kenikmatan yang dicapai dalam hubungan seks semacam ini tidaklah lain adalah kematian terhadap keinginan bebas.

“ Karena hubungan seks dapat merampas eksistensi manusia seketika! Dengan ultimate goal-nya, yaitu berhentinya ketegangan dan kenikmatan hanya dengan ejakulasi.”­(Sactre, dalam Muzairi: 2002)

Lalu dimanakah kenikmatan seks yang abadi? Cinta dengan laku kebebasan individual yang akan menerangi manusia. Seks bukan perkara moralitas, namun kebutuhan biologis setiap manusia untuk ber-eksistensi menemukan jati diri. Sudah seharusnya persoalan seks menjadi diskursus kritis di ruang publik, tidak hanya menjadi desas-desus dalam budaya patriarki.

***

Penulis: Bima Saputra 7 Articles
Sejarawan Freelance, pengagum ide-ide gendeng. Sekarang ini bekerja serabutan sebagai penulis bebas dan tukang gali sumur. Penulis bisa dihubungi lewat email: bimo674@gmail.com

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.