Kampus dewasa ini telah bertransformasi sedemikian rupa menjadi lembaga yang sangat birokratis dan bervisi industri, tentunya hal ini tidak terlepas dari perkembangan kapitalisme kontemporer bahwa perputaran arus modal telah merasuk kedalam segala sendi-sendi kehidupan, termasuk lembaga pendidikan. Terjebaknya pendidikan dalam skema indutrialisasi dimulai pada saat Orde Baru berkuasa dengan membangun infrastruktur secara massif diseluruh Indonesia dengan jalan pembukaan terhadap modal asing untuk memuluskan agenda modernisasi di Indonesia. Pemerintah Orba menggunakan skema pembangunan bertahap dengan konsep Repelita (Rencana Pembangunan Per Lima Tahun) untuk mengubah masyarakat Indonesia yang awalnya masih terbatas pada corak produksi pertanian ke corak produksi industri padat karya dan eksplorasi sumber daya alam. Agenda pemerintah ini tidak mungkin terlaksana tanpa dukungan sumber daya manusia yang cakap dan terampil untuk memasok tenaga kerja yang profesional untuk memenuhi tuntutan agenda indusri secara besar-besaran. Oleh sebab itu Orba menggunakan lembaga pendidikan untuk membentuk manusia Indonesia yang siap pakai dengan kecakapan yang mumpuni untuk memenuhi kebutuhan industri yang tujuannya menaikkan pendapatan negara dan memajukan kesejahteraan sosial.
Keinginan pemerintah ternyata sangat didukung oleh pemodal multinasional yang mempunyai agenda langsung dalam meraup keuntungan semaksimal mungkin untuk mengakumulasikan modalnya untuk di investasikan ke bidang-bidang yang strategis dalam pembangunan nasional. Maka dari kebijakan ini pada tahun 1970-an pemerintah membangun sarana prasarana pendidikan dengan massif terutama penambahan tenaga pengajar, pembangunan gedung-gedung baru, menambah kuota mahasiswa, dan pembuatan kurikulum pendidikan yang memperkokoh agenda pembangunan nasional. Ketika melihat secara sekilas saja tentu kita akan merasa bahwa pemerintah Orba sangat tepat dalam membuat konsep pendidikan dan bekerja keras dalam mensejahterakan masyarakat Indonesia.
Akan tetapi hal itu tidak bisa dilihat secara sekilas saja, kalau kita menelisik jauh lebih dalam lagi maka kita akan menemukan kejanggalan yang luar biasa dalam agenda pembangunan nasional ini. Terutama ketika kita melihat situasi pendidikan pada zaman Revolusi Indonesia sejak tahun 1945-1965, konsep pendidikan yang dibangun oleh pemerintahan Soekarno lebih menekankan pada pembangunan karakter bangsa dan kepribadian nasional untuk mencapai sosialisme Indonesia. Tentunya konsep pendidikan ini sangat kental akan perdebatan Ideologis tentang perjuangan bangsa Indonesia dalam melepaskan belenggu kolonialisme dan imperealisme menuju bangsa yang merdeka secara materill dan fisik. Oleh sebab itu pendidikan memang benar-benar melatih kesadaran kritis masyarakat untuk selalu menjunjung tinggi kepribadian bangsa dengan berlandaskan Doktrin Manipolusdek (Manifesto Politik UUD 1945 dan Demokrasi Terpimpin), dan agenda penyatuan front nasional melalui paham Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Sehingga dari hal itu pendidikan benar-benar melatih cara berpikir dan menekankan kepentingan politik yang cukup kuat untuk memperkokoh persatuan nasional.
Kemudian hal itu berubah sangat drastis ketika Soekarno dilengserkan dan digantikan Soeharto ketika sidang MPR tahun 1967 yang sampai sekarang masih menjadi perdebatan politik. Karena pada tahun 1963 Presiden Soekarno dilantik MPR sebagai Presiden seumur hidup namun tiba-tiba pada tahun 1967 Soekarno dilengserkan dari jabatannya oleh MPR yang diketuai Jenderal A.H Nasution. Tentunya hal ini berhubungan dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965 pada saat itu yang memojokkan posisi Soekarno sebagai kepala pemerintahan dan Presiden mandataris MPR yang dianggap terlibat dalam peristiwa G30S. Padahal sampai sekarangpun peristiwa tersebut masih memunculkan banyak pertanyaan dan perdebatan yang tidak berujung pada kesimpulan apapun. Hal ini memang memunculkan polemik yang begitu panjang di dunia pendidikan sampai sekarang, karena masih banyak literatur-literatur yang menyebutkan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah dalang dari semua persitiwa tersebut, dan dari stigma yang buruk terhadap PKI kemudian lembaga pendidikan menjadi lahan untuk menyerang paham komunisme yang dianggap sesat dan tidak bertuhan serta patut disalahkan atas kejadian tersebut. Hal itu sangat berpengaruh pada pembelajaran baik disekolah-sekolah terutama perguruan tinggi yang sangat memusuhi ajaran Marxisme-Leninisme, Neo-Marxisme, Marxisme Ortodoks, teori kritik, maupun Marxis-Anarkis. Upaya ini ternyata sangat ampuh untuk menekan daya kritis dan sikap intelektual untuk tidak melawan kebijakan Orba dan cenderung totaliter karena anti terhadap kritik sosial. Hal ini tercermin dari sedikitnya karya akademisi dalam negeri yang melakukan kritik sosial ataupun melakukan penelitian yang bersinggungan langsung dengan pemerintah terkait peristiwa G30S maupun penolakan terhadap agenda pembangunan nasional yang pro pada praktik liberalisasi ekonomi di Indonesia.
Miskinnya sikap kritis intelektual Indonesia ternyata sangat berpengaruh atas karya-karya yang diciptakan dan dinilai kurang berbobot, karena pemerintah Orba melakukan pengawasan ketat terhadap karya intelektual yang sekiranya membahayakan pemerintah akan segera di bredel. Fenomena akademisi berdiam diri melihat penindasan masyarakat dan meng-iyakan segala bentuk penindasan merupakan sesuatu yang ditanamkan pemerintah Orba untuk menghabisi semua musuh-musuh politiknya. Gerakan-gerakan sosial terutama mahasiswa pada tahun 1970-1980 yang sangat kritis terhadap pemerintahan dilumpuhkan dengan berbagai cara yang sebenarnya ilegal kemudian dilegalkan menurut hukum pemerintah. Semisal ketika seseorang mengkritik kebijakan pemerintah kemudian orang tersebut langsung dicap merong-rong wibawa Presiden dan melakukan tindakan subversif yang membahayakan persatuan nasional. Oleh karena itu dalih-dalih semacam ini menjadi praktik yang dilakukan sewenang-wenang oleh pemerintah untuk menekan sikap kritis kaum intelektual. Anehnya lagi hampir sebagian besar intelektual Indonesia tidak punya sikap kritis dan keinginan melawan secara sistematik untuk menggulingkan kekuasaan Orba yang cenderung fasis dan totaliter. Produksi wacana dan hegemoni kekuasan Orba telah menguasai sistem sosial masyarakat Indonesia termasuk dalam dunia pendidikan. Pendidikan yang seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa berubah menjadi arena pendisiplinan masyarakat untuk patuh kepada penguasa. Pendidikan yang seharusnya memanusiakan manusia berubah menjadi pendidikan yang mengecilkan harkat martabat masyarakat Indonesia. Pendidikan yang seharusnya sebagai institusi paling kritis menyuarakan aspirasi masyarakat berbalik menjadi agen penindas di dalam masyarakat itu sendiri.
Pendidikan Indonasia dewasa ini memang tidak lebih dari sekedar mesin pencetak tenaga kerja yang siap pakai untuk dunia industri, pendidikan hanya sebagai pelengkap agenda liberalisasi ekonomi semata yang jauh sekali dari sikap kritis emansipatoris untuk membela kaum tertindas. Setelah peristiwa Reformasi 1998, ternyata hal ini tidak merubah struktur lembaga pendidikan di Indonesia, pendidikan malah semakin jauh dari realita masyarakat proletar, pendidikan menjadi institusi eksklusif karena hanya bisa diakses oleh kelas sosial tertentu. Hal yang paling parah lagi pendidikan terlibat terlalu jauh dalam iklim indutrialisasi sehingga sikap ilmiah, dan bersungguh-sungguh dalam melakukan kajian keilmuan hanya menjadi proyek sampingan untuk mendapatkan keuntungan finansial semata. Pada tahun 1940-an tentunya kita tidak mempunyai ratusan akademisi yang bergelar Profesor, tidak mungkin kita mempunyai ratusan orang yang bergelar Doktor, bahkan orang yang bergelar Sarjana dan Magister tidak berjumlah ribuan seperti sekarang. Akan tetapi mengapa ratusan Profesor, ratusan Doktor, ribuan lulusan Magister dan Sarjana kurang memberikan dampak apapun atas kesejahteraan sosial masyarakat? Mengapa karya intelektual Indonesia kurang memberikan perhatian atas kondisi yang memilukan terkait praktik penindasan-penindasan yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya? Minimnya karya yang berbobot dari intelektual dalam negeri untuk melihat masyarakat Indonesia secara luas, layaknya karya intelektual Indonesianis seperti Cliffford Gertz, Benedict Anderson, Max Lane, Cindy Adams, Max Havelar dll, yang telah melakukan kajian masyarakat secara luas dan dipakai sebagai rujukan utama dalam melihat masyarakat Indonesia. Padahal karya yang saya sebutkan diatas berusia ratusan tahun tetapi belum ada akademisi Indonesia yang mampu membuat karya tandingan sebagai bahan rujukan atas kondisi masyarakat Indonesia di era-kontemporer ini.
Pendangkalan Intelektual ini memang menjadi permasalahan pokok mengapa pendidikan Indonesia mutunya sangat rendah dan kalah bersaing dengan pendidikan di luar negeri. Pendangkalan yang dilakukan secara sistemik ini merupakan settingan langsung dari kekuasaan negara untuk mengkondiskan kaum intelektual Indonesia agar tidak bersuara apapun atas penindasan yang dilakukan pemerintah. Hal yang sangat lucu ketika mahasiswa mendiskusikan peristiwa G30S, kampus malah membubarkan diskusi ilmiah yang seharusnya disikapi dengan kedewasan berpikir dan mengedepankan aspek kajian intelektual, bukan malah melakukan pembubaran secara paksa. Anehnya kampus malah ikut-ikutan dalam membodohi mahasiswanya lewat pembelajaran-pembelajaran yang tidak bermutu dengan memasukkan pendidikan agama agar mahasiswa tidak terpengaruh ajaran Marxisme atupun tokoh-tokoh kiri, dan melarang keras setiap acara yang intinya tidak bersesuaian dengan kepentingan kampus dalam mengundang simpati para politisi, masyarakat maupun Presiden. Perubahan radikal dalam sistem pendidikan merupakan pokok utama yang harus diusahakan sendiri oleh kaum intelektual. Penjajahan akademik, pembodohan keilmuan, dan pengingkaran terhadap tanggung jawab intelektual harus diselesaikan secepat mungkin. Stigma-stigma bahaya laten komunis dan politik identitas seharusnya sudah diberangus dari peradaban perguruan tinggi. Semangat ilmiah dan kemajuan progresif kaum intelektual untuk memajukan masyarakat harus berdasarkarkan pada sikap asketis dan kritik emansipatoris, hal ini dilakukan agar kampus tidak hanya sebagai menara gading saja. Kampus jangan hanya sebagai agen pencetak tenaga kerja instan untuk kaum pemodal, tetapi harus sebagai pendorong kemajuan kepribadian nasional dan menjadi agen penyambung lidah masyarakat. Kalau pendidikan hanya berpihak pada pemerintah dan kaum pemodal saja maka tidak usah ada namanya lembaga pendidikan, tidak perlu ada kebijakan wajib belajar bagi masyarakat, karena belajar ataupun tidak belajar pendidikan hanya memberikan pembodohan bagi masyarakat Indonesia.
***
Leave a Reply