Dewasa ini seorang ilmuan sosial ataupun orang-orang yang bergelut dalam bidang teori sosial sedang menghadapi krisis tentang kegunaan teoritis dan tujuan praktis sebuah ilmu pengetahuan dalam kehidupan sosial-ekonomi-politik di masyarakat. Dialektika sebagai prasayarat utama menuju perubahan revolusioner tidak jarang menimbulkan kontradiksi internal di antara sekian banyak polemik tentang tujuan teori dengan ranah praksis. Sebuah ilmu pengetahuan memang tidak pernah lepas dari perasaan subyektif individu, ilmu pengetahuan tidak bebas nilai tetapi syarat akan kepentingan. Sesudah masa Renaisans ilmu pengetahuan menjadi kebenaran absolut yang mewajibkan seluruh manusia untuk tunduk terhadapnya. Pencerahan di Eropa pada abad ke-15 telah membawa dampak yang besar terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dibelahan dunia, hal ini berangsur-angsur menyingkirkan kekuatan agama yang telah mendominasi Eropa selama berabad-abad. Francis Bacon pernah mengungkapkan “The Power Of Knowledge” atau kekuatan ilmu pengetahuan menjadi motor penggerak utama sejarah manusia modern. Kekuatan ilmu pengetahuan telah membuktikan diri sebagai satu-satunya alat yang paling rasional dalam membedah fenomena dan sebagai alat ukur terpercaya dalam memahami realitas dunia.
Setelah berhasilnya gerakan “Renaisans” masyarakat berlomba-lomba untuk mencari ilmu pengetahuan, sehingga kebutuhan akan pendidikan semakin meningkat. Pendidikan masih menjadi cara yang ampuh untuk menginternalisasikan nilai-nilai humanisme dan rasionalitas, walaupun terkadang ilmu pengetahuan tersebut membuat orang-orang semakin angkuh dan mencengkramkan dominasinya di dalam masyarakat. Selama beratus-ratus tahun ilmu pengetahuan telah menjadi raja yang tidak bisa dilawan dan selalu harus dipatuhi, memang tidak selamanya ilmu pengetahuan memperbudak masyarakat, masih banyak ilmu pengetahuan yang sangat kritis dan radikal dalam menyikapi kasus persoalan masyarakat modern. Masih banyak ilmuan sosial yang kritis, seperti: Karl Marx, Freiderich Nietzsche, Antonio Gramsci, Jurgen Habermas, Marx Horkheimer, Theodor Adorno, Jacquest Derrida, Herbert Marcuse, Pierre Felix Bourdieu, Michel Foucault, dan Jean Paul Boudrillard. Tentunya masih banyak ilmuan sosial lain yang kritis, namun saya tidak bisa menyebutkan satu-persatu. Dari tokoh yang saya sebutkan diatas tentunya mempunyai berbagai teori dan perspektif yang berbeda-beda untuk melakukan transformasi sosial untuk kehidupan yang egalitarian.
Manusia mendahului esensi dengan eksistensi, dari materi menjadi objek yang khas untuk diamati. Manusia merupakan mahkluk yang rasional yang selalu ingin menguasai alam dan menjinakkan alam dengan segala daya upaya agar eksistensinya terpenuhi. Kehendak untuk mendapatkan kuasa merupakan hal yang alami didalam masyarakat industri. Persaingan tenaga kerja, munculnya pemodal besar, dan berbagai persaingan ideologi antar negara telah membuat ilmuan sosial mau tidak mau harus ikut terjun dalam ayunan deras antara ingin menyikapi ini secara kritis atau hanya menjadi penonton dilur arena pertandingan.
Pada abad ke-18, Auguste Comte menemukan metode ilmiah dalam menganalisis masyarakat, ia disebut-sebut sebagai penemu ilmu Sosiologi. Comte merupakan filsuf yang diakui seluruh dunia dengan metode ilmiahnya, ia telah menggemparkan dunia ilmu sosial. Ia memadukan penelitian ilmu alam dan ilmu sosial dalam memahami gerak perkembangan masyarakat. Comte berpendapat bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa disebut “kredibel” dan dapat dipercaya, apabila tidak bisa memprediksi sesuatu bahkan bisa memprediksi masyarakat. Layaknya ilmu alam, ilmu sosial-pun dapat memprediksi segala peristiwa yang ada di masyarakat dan bersifat universal. Metode ilmu alam juga bisa diterapkan untuk ilmu sosial. Ia berteori tentang tahap-tahap perkembangan masyarakat melalui tiga tahap yaitu teologis, metafisis, dan positivis. Aliran ini menganggap bahwa semakin maju sebuah masyarakat maka semakin rasional-lah tindakan sosialnya, namun dalam beberapa hal realitas konkret yang ada kehidupan masyarakat walaupun sudah rasional masih tetap saja ada ketertindasan dan keterbelakangan peradaban sehingga menyebabkan ketimpangan yang sulit diatasi.
Hal inilah yang menyebabkan pandangan Comte tidak dapat menjembatani realitas sosial yang begitu rumit dengan teori perkembangan masyarakat yang mereduksi ilmu alam ke dalam ilmu sosial. Paradigma Comte ini juga disebut Positivisme karena menganggap bahwa metode ilmu alam yang mekanistis dapat digunakan untuk membedah realita sosial maupun teori sosial.
Tumbuh Kembangnya Marxisme dan Kritik Terhadap Kapitalisme
Oleh sebab itu pada abad ke-19 lahirlah sebuah teori baru yang dipopulerkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, keduanya mengkritik landasan positivisme yang terlalu mekanistis dan meniadakan faktor kekuasaan ekomomi-politik di dalam membedah realitas sosial. Marx dan Engels melihat adanya sebuah tatanan sosial yang benar-benar baru pada abad ke-19, mengenai bangkitnya kelas borjuasi di Eropa yang menghancurkan tatanan feodalisme yang begitu lama menjadi sistem sosial masyarakat Eropa. Dengan munculnya kelas baru ini sebuah tatanan sosial kuno yang bertumpu pada garis hirarki raja, tuan tanah, dan keturunan, berubah menjadi tatanan yang mengistimewakan pemodal dan pengusaha dalam memainkan sistem ekonomi-sosial-politik disuatu negara. Akumulasi modal, perdagangan bebas secara besar-besaran, penguasaan alat-alat produksi, dan eksploitasi buruh menjadi gambaran umum dimana masyarakat menuju penindasan baru di dalam sistem kapitalisme.
Di dalam sistem kapitalisme terjadi perubahan sosial yang progresif di Eropa, munculnya pusat-pusat industri baru, pusat perdagangan, dan perniagaan, industrialisasi menjadi kekuatan utama dalam pembangunan ekonomi dan pasar. Institusi negara merupakan sarana utama bagi kelas borjuasi untuk mengamankan posisinya sekaligus sebagai alat untuk memuluskan agenda-agenda industrialisasi yang menjadi semangat utamanya. Marx dan Engels melihat terjadinya dampak industrialisasi besar-besaran ini menyebabkan ketimpangan yang luar biasa antara buruh dan kelas borjuasi, sehingga kontradiksi antar dua kategori sosial ini tidak mungkin terdamaikan.
Namun di dalam analisanya, Marx menyebutkan bahwa yang berkontradiksi bukan hanya buruh dengan kelas borjuis saja, namun melibatkan kelas borjuis dengan kelas borjusi yang lain. Hal ini dikarenakan kapitalisme menyimpan benih-benih konflik yang terjadi diantara kaum borjuasi itu sendiri, seperti persaingan perdagangan antar kelas kapitalis, pengakumulasian modal dan penciptaan industri baru tentunya akan bersaing satu sama lain. Seperti antara pengusaha yang berdagang kelapa sawit di daerah A pasti ingin menguasai perdagangan di daerah B, sementara pengusaha kelapa sawit di daerah C juga mempunyai keinginan untuk menguasai perdagangan daerah B. Oleh sebab itu mereka akan saling bertarung dalam memenangkan pasar, karena untuk memenangkan penjualan membutuhkan produktivitas kerja yang tinggi dan menekan angka upah buruh, hal ini menyebabkan buruh tertindas di alam produksi perusahaan, mereka harus bekerja siang dan malam hanya untuk hidup dengan gaji yang rendah.
Pertentangan kelas ini hanya bisa di damaikan melalui revolusi sosial. Oleh sebab itu Marx menyebutkan bahwa sejarah peradaban adalah sejarah perjuangan kelas. Dalam teorinya ini Marx menyebutkan bahwa krisis dalam kapitalisme terjadi bukan hanya karena pertentangan buruh dan kelas borjuis, namun adanya krisis besar di dalam ekonomi yang menyebabkan revolusi sosial mungkin untuk terjadi.
Terjadinya krisis diakibatkan produktivitas kerja tidak sebanding dengan penawaran pasar, sementara bahan mentah produksi harganya melambung tinggi, serta ketidakberdayaan negara dalam mencegah terjadinya krisis ekonomi karena ketergantungan negara kepada kelas kapitalis yang menyebabkan revolusi akan muncul dengan sendirinya. Teori Marx tentang kehancuran kapitalisme oleh revolusi sosial pernah terbukti ketika terjadinya revolusi-revolusi di negara-negara Eropa Timur, Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Seperti Revolusi Bolshevik di Rusia, Revolusi di Iran, Revolusi di Venezuela, Revolusi Kebudayaan di Cina, Revolusi Nasional di Indonesia, dan Revolusi di Kuba serta masih banyak lagi.
Namun dari fakta keberhasilan analisa Marx ada banyak kritik dari para ilmuan sosial mengenai determinisme ekonomi-politik dalam teorinya. Namun beberapa kritikan itu ternyata tidak berarti mengeliminasi teori Karl Marx tentang ekonomi-politik, hal ini juga disebabkan luasnya lingkup pengetahuan yang dimiliki oleh Marx, ia mewakili tradisi Idealisme Jerman, kemudian ia juga mewakili tradisi Rasionalisme Perancis, dan tradisi ilmu ekonomi-politik Inggris. Ketiga hal inilah yang sampai saat ini tiada teori yang begitu dalam mengulas ketimpangan sosial, ekonomi, dan politik dalam sebuah negara tanpa menggunakan analisisnya Karl Marx.
Setelah Karl Marx meninggal, terjadi banyak perdebatan mengenai apakah harus ada perombakan dan pembaharuan terhadap teori Marx atau menggunakannya sebagai garis ideologi dalam perjuangan kelas melawan kapitalisme. Meninggalnya Marx membuat para pengikutnya menamakan ajaran Marx sebagai “Marxisme”. Tentunya ada banyak varian Marxisme yang tumbuh sedemikian pesat lantaran kekuatan analisis ekonomi-politiknya yang berpengaruh pada masa itu. Seperti aliran Marxisme Ortodoks yang menganggap bahwa teorinya Marx sudah final dan tidak ada pembaharuan, sehingga Marxisme menjadi sebuah ideologi politik partai seperti yang dilakukan oleh Lenin, Stalin, dll. Namun dalam beberapa hal, Lenin juga menggunakan analisisnya pribadi tentang gunanya partai pelopor Rusia untuk memimpin kelas buruh, padahal di dalam teori asli Marx, menyebutkan bahwa buruh sadar akan posisinya ketika membuat perserikatan sedunia dan melakukan perjuangan kelas. Sementara Stalin menggunakan ideologi Marx tidak lebih sebagai alat untuk mengukuhkan kekuasaanya sendiri, bahkan mengorbankan rakyat Soviet untuk mengikuti anjuran revolusi borjuis demokratik yang sebenarnya melenceng jauh dari teori Karl Marx yang menyebutkan bahwa revolusi proletariat menjadi sebuah keharusan dalam sosialisme. Stalin juga memanfaatkan sentralisasi kekuasaan dan birokratisasi Soviet untuk menindas kelas buruh.
Neo-Marxisme Sebagai Alternatif Teori Kritik Sosial
Otoritarianisme Stalin dan corak politik yang begitu beku menyebabkan Aliran Neo-Marxisme tumbuh di Eropa barat, para tokohnya seperti Antonio Gramsci menganggap bahwa harus ada pembaharuan-pembaharuan teori Marx untuk menyingkap problem terbaru masyarakat pada abad ke-20. Bagi Gramsci kegagalan Revolusi sosial di Eropa Barat di karenakan tingkat pengetahuan dan ekonomi berkembang pesat, sehingga gagasan revolusi sosial kurang diterima dengan baik oleh kelas buruh itu sendiri. Dalam sistem kapitalisme di Eropa Barat, kelas buruh, borjuis, dan pemerintahan malahan saling berkolaborasi untuk menegakkan sistem kapitalisme, walaupun dalam hal ini kelas buruh tidak mendapatkan keuntungan yang berarti. Hal ini menurut Gramsci disebabkan lantaran negara-pemerintah menggunakan Hegemony kekuasaan dan budaya kepada kelas proletariat melalui nilai-nilai dan norma yang secara tidak sengaja membuat buruh tetap berada di dalam kesadaran palsunya.
Oleh sebab itu Gramsci hampir meniru konsep Lenin dalam membuat Partai pelopor di Italia, namun menggunakan kaum intelektual sebagai basisnya untuk menyerang balik hegemony penguasa. Ia menyebutkan bahwa kelas yang paling potensial untuk melakukan revolusi sosial adalah kelas intelektual organik. Intelektual ini adalah orang-orang yang dididik oleh ilmu pengetahuan modern namun bersikap kritis dan radikal terhadap penindasan kapitalisme, serta buruh-buruh yang terdidik yang sudah sadar akan posisinya sebagai kelas pelopor. Namun dalam praktiknya Neo-Marxisme Gramsci harus takluk dengan Fasisme Hitler-Mussolini yang pada saat itu menghancurkan partai dan kelas intelektual organik. Ia-pun juga mengalami kepahitan hidup lantaran di penjarakan oleh Fasis Mussolini yang kegiatannya berpolitik dianggap melakukan pemberontakan terhadap pemerintah.
Mazhab Frankfurt Dan Tradisi Pencerahan Eropa Dalam Membedah Otoritarianisme dan Totalitarianisme
Setelah kegagalan gerakan revolusioner baik Marxisme Ortodoks dan Neo-Marxisme dalam memenuhi agenda egalitarianisme. Sekelompok ilmuan Jerman dari berbagai disiplin ilmu membentuk Pusat Studi yang bernama Mazhab Frankfurt yang bertujuan mengembalikan Marx sebagaimana mestinya. Sebagai ilmuan sosial Karl Marx dan teori ilmiahnya mengenai sosialisme dapat di bedah dengan beragam displin ilmu untuk menambah kekurangan-kekurangan teori Marx serta mengkritik asumsi Marx yang salah. Mazhab Frankfurt tidak tertarik kepada gerakan politik revolusioner untuk menjadikannya saluran utama perjuangan kelas, mereka lebih berkonsentrasi dalam lingkungan akademis sembari melakukan penyadaran melalui gagasan-gagasan ilmiah untuk membangun masyarakat yang egaliter seperti yang menjadi visi Marxisme. Mereka ini adalah Mark Hokheimer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse, dan Jurgen Habermas, yang berkolaborasi secara aktif membangun jaringan intelektual untuk membebaskan Marx dari kepungan ideologi dan gerakan politik revolusioner.
Dalam membedah Marxisme, ilmuan Mazhab Frankfurt juga menggunakan analisisnya Immanuel Kant mengenai kehendak bebas, Sigmund Freud melalui analisis psikoanalisis, dan Max Webber dalam melihat dinamika fakta sosial dan kekuasaan di sebuah negara. Karya Mark Hockheimer dan Theodor Adorno yang berjudul “Dialektika Pencerahan” mencoba membongkar asumsi-asumsi idelogi otoritarianisme dan fasisme yang berkembang pada masa perang dunia ke-II, dengan cemerlang keduanya membedah bagaimana ideologi apapun menyebabkan bencana kemanusiaan apabila ia anti kritik dan bersifat tertutup.
Oleh sebab itu segala yang bersifat beku, kaku dan tertutup, haruslah di kritisi. Namun dalam beberapa hal, baik Adorno dan Hockheimer bertindak seakan-akan naif terhadap gerakan politik, teorinya tidak lebih dengan Filsafat Idealisme Friedrich Hegel yang menganggap bahwa sebuah gagasan yang progresif dengan sendirinya akan menciptakan perubahan sosial, alih-alih untuk mengembalikan Marx dari sudut pandang intelektual, keduanya mereduksi pemikiran Marx mengenai Ekonomi-Politik menjadi pandangan humanisme idealis yang sebelumnya pernah di kritik Marx dalam tesisnya semasa kuliah untuk membongkar asumsi teologis humanisme Hegel yang cenderung metafisis dan tidak mampu melihat realita sosial secara nyata.
Kemudian untuk menutupi kekurangan pendahulunya di Mazhab Frankfurt, Herbert Marcuse membuat gebrakan baru dengan karyanya dalam membahas industrialisasi dan dominasi pasar dalam melanggengkan sistem kapitalisme. Marcuse mencoba untuk mengkritik sistem kapitalisme yang mengeksploitasi manusia dan menawarkan sebuah gerakan alternatif politik di Amerika Serikat yang bernama “Kiri Baru”. Karyanya berjudul “One Dimension A Man” sangat populer di kalangan pemuda kiri dan membuat gerakan mahasiswa begitu memujanya, dan berusaha menggunakan analisa Marcuse untuk melakukan kegiatan politik radikal. Namun ketika gerakan mahasiswa ini begitu kuat dan melakukan perlawanan di berbagai penjuru Amerika, Marcuse menolak dan mengacuhkan gerakan mahasiswa dengan menyebut bahwa gerakan mahasiswa tidak lebih dari massa reaksioner yang mengatasnamakan perjuangan kelas, namun sebenarnya kelas proletariat sendiri tidak merasakan atmosfer perlawanan mahasiswa. Hal itu terjadi karena ketidaksukaan Marcuse melihat gerakan mahasiswa yang cenderung melakukan aksi-aksi kekerasan di pelbagai penjuru kota, oleh sebabnya Marcuse menolak untuk bergabung dengan Gerakan Mahasiswa. Dari hal itu Marcuse mulai menjauh dari realitas politik dan kembali ke iklim akademisnya.
Dari kegagalan Marcuse, menyebabkan Jurgen Habermas berusaha menyelidiki kekurangan-kekurangan pada pendahulunya di Mazhab Frankfurt untuk di sempurnakan secara teoritis. Habermas menggunakan Teori Demokrasi Deliberatif dalam mengatasi kontradiksi antara kelas borjuasi dan proletar, disini Habermas menjauhi praksis politik menjadi sebuah tindakan komunikasi radikal untuk menyeimbangkan kontradiksi anatara kedua kelas tersebut. Disini ia mengungkapkan pentingya masyarakat sipil yang kuat dan sistem demokratis untuk menciptakan harmoni sosial. Disini Habermas menyebutkan bahwa harus ada demokrasi radikal untuk kehidupan masyarakat yang egaliter, namun dalam beberapa hal konsepsinya itu sangat kontradiktif dengan fenomena ekonomi-politik yang mempunyai agenda lain dalam iklim demokrasi.
Dengan sengaja Habermas menafikan kepentingan politis dan lebih bersandar pada budaya egalitarian borjuis yang sebenarnya tidak mungkin diterapkan tanpa sebuah kekuatan politik yang konkret. Namun dalam beberapa hal Mazhab Frankfurt telah menyumbangkan paradigma ilmu pengetahuan yang baru untuk menutupi kekurangan-kekurangan Marxisme, namun ada beberapa hal juga Mazhab Frankfurt secara sengaja mereduksi ajaran Marx menjadi metafisis semu, dan menghilangkan kerangka analisis kelas yang jelas-jelas menjadi sebuah kenyataan hidup yang tidak bisa di sangkal lagi. Akhirnya Mazhab Frankfurt menjadi Marxis Kanan yang berkolaborasi dengan sistem kapitalisme secara tidak sadar. Namun dalam lingkup keilmuan, setidaknya Mazhab Frankfurt menawarkan perspektif yang berbeda mengenai teori Karl Marx.
Post-Modernisme Dalam Mengkritik Proyek Modernitas dan Pandangan Nihilisme
Di awal abad ke-21 terjadi peruban radikal dalam teori sosial, terdapat pembacaan baru atas realitas dunia yang berubah drastis. Kemudian muncullah aliran Post- Modernisme yang di populerkan ilmuan Perancis seperti Michel Foucault, Jean Paul Boudrilard, Jacques Derrida dan Pierre Felix Bourdieu. Aliran baru teori sosial ini menitik beratkan pada kegagalan proyek modernitas dalam mewujudkan semangat kebebasan dan egaliatianisme yang semula menjadi semangat utama Renaisans. Asumsi ini dirujuk pada Filsafat Nihilisme Nietzsche yang menganggap bahwa tidak ada kebaharuan di dalam dunia, modernisme sebagai semangat perubahan tidak lebih sebagai upayanya untuk mendominasi masyarakat. Hal yang dikritik oleh Nietzsche adalah dominasi ilmu pengetahuan dalam menentukan kebenaran, dan kekuasaannya untuk menghegemoni segala musuh-musuhnya. Ia mempertanyakan bagaimana Ilmu pengetahuan juga menjelma sebagai metafisika dan Roh yang harus dipercaya dan diikuti oleh semua orang agar disebut ilmiah. Dari kritik Nietzsche inilah Post-Modernisme memulai pembahasan tentang dampak dari kebenaran absolut ilmu pengetahuan dan membedah kegagalan proyek modernitas dalam me-universalisasi dunia, sehingga keunikan peradaban pinggiran harus tersingkir oleh peradaban eropa yang begitu memuja rasionalitas dan ilmu pengetahuan.
Dalam Karya “Arkeologi Pengetahuan” Michel Foucault mengupas habis bagaimana dominasi pengetahuan atas manusia mulai muncul. Foucault menyebutkan bahwa diskursus wacana pengetahuan tidaklah kontingen, namun terpisah-pisah satu sama lain. Sejarah ilmu pengetahuan tidak lepas dari kekuasaan untuk mendominasi, adanya ilusi akan kebenaran mutlak dan ide absolut menyebabkan ilmu pengetahuan bagaikan metafisika yang sebenarnya tidak berbeda jauh dengan zaman kegelapan di Eropa sebelum abad ke-15. Kemudian dalam karya “Hantu-Hantu Marx” Jacques Derrida membongkar narasi Marxisme tentang humanisme radikal yang menjelma sebagai sistem diktaktur dan totaliter. Narasi Marxisme yang menginginkan dunia baru dan berharap mengubah dunia, merupakan gambaran utopianisme Hegelian, yang sebenarnya tidak berbeda jauh dengan Filsafat Yunani yang begitu metafisis dan percaya kepada roh-roh dewa. Derrida mendekonstruksikan kembali makna Marxisme dalam kaca mata filsafat modern, ia melihat adanya wacana tunggal dan narasi berapi-api Marxisme menimbulkan suatu fantasi yang berlebihan bagi pengikutnya. Namun Derrida tidak menampik bahwa Revolusi sosial yang di mimpikan Marxisme dalam dunia Post-modern ini akan terwujud dengan berkembangnya pengetahuan di masyarakat.
Kemudian dalam karya “Masyarakat Konsumsi” Boudrillard melihat tahap dimana sistem kapitalisme sudah bertransformasi secara progresif untuk membentuk citra akan dunia yang humanis. Boudrillard melihat bahwa kapitalisme di abad ke-19 yang dikritik oleh Marx sudah berubah ke dalam kapitalisme tahap lanjut di abad ke-21. Kapitalisme di abad ke-21 bertumpu pada sektor konsumsi masyarakat, adanya booming industri membuat masyarakat berlomba-lomba untuk membeli barang dan memujanya, mereka begitu menyukai industrialisme yang menjadi gaya hidup universal manusia. Boudrillard melihat adanya pendamaian kontradiksi oleh sistem kapitalisme melalui produk-produk yang dijualnya yang mampu menghipnotis masyarakat untuk tidak menolak dan bahkan menjadi budaknya pasar. Penindasan kapitalisme tahap lanjut ini bukan saja menindas kelas buruh, namun juga menindas para konsumen. Oleh sebab itu Boudrilard melihat bahwa upaya Marxisme untuk mengemansipasi manusia tidak akan ada gunanya karena manusia sudah teremansipasi oleh adanya kapitalisme dan barang-barang yang diperjualbelikan kepada konsumen.
Kemudian Piere Felix Bourdieu dalam teori Arena, Agen-Struktur, dan Habitus, begitu percaya akan sebuah perubahan sosial. Ia merupakan tokoh Post-modernisme yang begitu gigih mencampuradukkan teori-teori para pendahulunya untuk menghasilkan sintesa untuk merubah struktur sosial. Sebagai akademisi yang lahir dari penindasan pendidikan di Perancis, ia melihat adanya sebuah medan pertempuran yang memungkinkan adanya perubahan sosial radikal oleh gerakan sosial. Namun bagi Bourdieu, perjuangan kelas bukanlah alternatif utama dalam melawan kapitalisme-Industri yang begitu buas, namun ia percaya pada sistem demokratis yang sudah berlangsung di negara-negara Eropa Barat mampu meredam kapitalisme neoliberal. Di dalam Arena pertarungan politik antara kelas yang di kuasai maupun yang menguasai terdapat sebuah kesempatan untuk memenangkan pertarungan di ruang publik.
Namun Bourdieu menambahkan pentingnya agensi ataupun saluran perubahan untuk menghasilkan individu-individu progresif tidak tergantung dengan struktur sosialnya namun juga tidak dapat memisahkan antara individu dengan struktus sosial. Baginya invidu dan struktur sosial meruapakan satu-kesatuan, oleh sebab itu yang terpenting adalah adanya modal sosial, kultural, budaya, dan ekonomi untuk selalu berkontradiksi dengan sistem penguasa. Dari penjelasan Bourdieu mengenai apakah mungkin perubahan sosial dilakukan, Ia dengan tegas menjawab bahwa hal itu sangat mungkin. Ia merupakan teoritisi Post-Modernisme yang begitu kencang menolak asumsi kapitalisme neoliberal dan berusaha membangun gerakan sosial untuk memperkuat peran masyarakat dalam hal berpolitik. Sungguh jarang ada teoritisi Post-Modernisme yang begitu percaya akan sebuah gerakan pembaharuan dibandingkan pendahulunya terdahulu.
Dari paradigma Marxisme Ortodoks, Neo-Marxisme, Mazhab Frankfurt, dan Post-Modernisme terdapat alur dialektis yang sampai sekarang ramai akan perdebatan. Eksistensi teori-teori diatas merupakan gambaran dimana pertarungan wacana begitu kuat dan masing-masing teoritisi berusaha mendapatkan para pengikut setia. Uraian singkat ini merupakan upaya untuk menumbuh kembangkan semangat pembaharuan masyarakat. Karena pada dasarnya Teori sosial adalah teori yang revolusioner maka dibutuhkan kejelian baik para akademisi dan mahasiswa untuk selalu berdialektika di ruang publik yang sampai saat ini masih dikuasai oleh aliran positivisme dan otoritarianisme. Di butuhkan sebuah paradigma berpikir baru di kalangan intelektual kampus untuk selalu mencari kebenaran di dalam teori sosial. Dekadensi arus zaman yang mulai pragmatis haruslah disikapi secara kritis oleh intelektual, kondisi sosial-ekonomi-politik dunia saat ini menuntut kita untuk selalu meng-update pengetahuan dan selalu berusaha membongkar sistem penindasan yang dilanggengkan oleh penguasa. Hanya teori revolusioner yang bisa menjadi pijakan untuk melakukan gerakan pembaharuan dan semangat demokratisasi.
Tulisan ini mungkin merupakan tulisan terakhir saya di Harian Mazhab Colombo, karena ada pekerjaan dan kegiatan yang sudah tidak memungkinkan bagi saya untuk selalu mengisi rubrik harian Mazhab Colombo. Sampai berjumpa di lain kesempatan, dan terimakasih untuk semuanya yang sudah mendukung, membantu, dan membaca tulisan-tulisan saya selama ini. Sekian ***.
Daftar Rujukan:
Berlin, Isaiah. 2007. Biografi Karl Marx. Yogyakarta: Jejak
Boudrilard Jean, Paul. 2012. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Foucault, Michel. 2012. Arkeologi Pengetahuan. Yogyakarta: IrciSoD
Fromm, Erich. 2004. Konsep Manusia Menurut Marx. Yogyakarta: Pustaka pelajar
Hardiman Budi. F. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Yogyakarta: Kanisius
Jay, Martin. 2013. Sejarah Mazhab Frankfurt: Imajinasi Dialektis Dalam Perkembangan Teori Kritis. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Kusumandaru, Ken Budha. 2004. Karl Marx, Revolusi, dan Sosialisme: Sanggahan Terhadap Franz Magnis Suseno. Yogyakarta: Resist
Levine, Peter. 2013. Nietzche: Potret Sang Filsuf Besar. Yogyakarta: IrciSoD
Marcuse, Herbert. 2000. Manusia Satu Dimensi. Yogyakarta: Bentang
Patria, Nezar & Arief, Andi. 2015. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Trotsky, Leon. 2016. Stalinisme dan Bolshevisme. Bandung: Sega Arsy
Yusuf Lubis, Akhyar. 2014. Postmodernisme: Teori dan Metode. Jakarta: Rajawali Pers
Leave a Reply