Warung Makan itu Bernama Indonesia

Setiap manusia pasti butuh makan, itu kebutuhan dasar manusia untuk menyambung hidup. Seperti diriku pada siang hari ini, terik panas matahari sampai menyengat perut, aku tak kuasa untuk segera memberinya asupan gizi. Segera aku menaiki sepeda butut kesayanganku, kukayuh dengan santai sembari memandangi hamparan sawah yang kini menumbuhkan bangunan mewah, bukan lagi padi. Sekian menit perjalanan ku tempuh, diantara warung makan yang berserakan, pada akhirnya kuberanikan diri untuk menjejakkan kakiku pada sebuah warung sederhana disudut jalan.

Ternyata di dalamnya sudah dipenuhi para pelanggan, hampir setiap meja sudah ada yang menempati. Sejenak aku memandangi sudut ruang warung ini, cukup mewah ternyata. Apa yang ada didalamnya tak seperti penampakan luarnya. Pada dinding tembok timur warung terdapat lukisan burung cendrawasih di antara pohon hutan hujan yang sangat lebat, sungguh indah. Pada sisi utara terdapat sepasang patung suku Dayak, pria dengan perisai beserta mandaunya dan wanita yang memakai sejenis mahkota dari bulu burung enggang. Selain itu meja dan kursinya juga menyita perhatianku; ukiran jepara jelas merupakan mahakarya.

Diantara lamunanku tentang keindahan ruang ini, muncul seorang wanita paruh baya dengan pakaian adat Jawa, dengan atasan batik lurik Jogja. Sambil tersenyum dia memberikanku daftar menu makanan yang tersedia. Terbelalak mataku memandang daftar menu itu, bukan tentang harga yang dapat aku sanggupi, akan tetapi pada jenis makanan yang sejatinya sangat aku hindari; Sup udang dan kepiting bakar. Kutanyakan pada pelayan tadi apakah ada pilihan lauk lain yang dapat kusantap, dia menyanggahnya dengan halus dan mengatakan bahwa hanya dua menu ini yang tersisa. Dengan bimbang aku menimbang. Bagaimana aku bisa dengan tenang menyantap sup udang, sedangkan mencium aromanya saja bisa membawaku ke klinik kesehatan untuk meminta obat alergen.

Begitu pula dengan kepiting bakar, jika aku berani menggigit secuil saja. Bisa-bisa aku menginap di rumah sakit satu minggu. Pada akhirnya aku hanya meminta nasi putih kepada si pelayan. Namun pelayan itu malah mendesakku untuk memilih diantara kedua lauk itu, karena di warung ini tidak menjual nasi putih. Aku terus mendesak pelayan tersebut agar memberikanku pilihan lauk lain atau aku boleh memilih nasi putih saja. Si pelayan gigihnya meyakinkanku bahwa tiada lauk lain selain itu, sampai-sampai dia meyakinkanku bahwa kedua lauk itu akan aman untuk kesehatanku. Bagaimana dia bisa berkata bahwa lauk itu aman untukku? Sedangkan tubuhku tidak bisa berbohong, reaksi kedua jenis makanan itu akan berdampak buruk bagi kesehatanku, ini gila!

Seluruh ruangan memandangiku dengan nanar, bagaimana perdebatanku dengan si pelayan cukup keras dan dianggap mengganggu. Hingga pada akhirnya petugas keamanan datang dan langsung mengamankanku. Aku di anggap sebagai biang kericuhan. Aku berdebat dengan petugas keamanan itu, bagaimana mungkin aku tidak berhak meminta nasi putih,  jika mereka tak sanggup untuk menyediakan lauk yang baik bagiku. Sedangkan di daftar menunya jelas nasi putih tertulis secara terpisah dengan lauk. Petugas keamanan menggelandangku keluar dari warung makan itu, mendorongku hingga terjerembab di depan pintu.

Dengan gontai kulangkahkan kakiku menghampiri sepeda bututku yang terparkir di depan. Sembari tersenyum aku berfikir tidak masuk akalnya warung ini, ku tanyakan lagi dalam hati;

 “Apakah aku tidak berhak meminta nasi putih saja, jika warungnya tidak memberiku pilihan lauk lain?”

Sebelum aku pergi sejenak kupandangi warung tersebut, warung yang sederhana tapi menyimpan kemewahan tiada tara didalamnya, warung itu bernama Indonesia.

“Inilah aku, bagaimana dirimu? Apakah kamu akan memilih dan menyantap lauknya? Atau meminta nasi putih juga? Itu terserah dirimu, karena tubuhmu adalah kehendakmu.”  

***

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.